[1] Who Are You?

3.2K 331 45
                                    

Busan, 2018

Bangunan yang berdiri kokoh di seberang sana adalah sekolah mereka ketujuh remaja lelaki yang tampan juga cerdas, rapi dan menawan, bahkan lembut dan periang. Sekolah Menengah Atas yang megah berdindingkan batu bagshot menjadikan visualnya bagai istana tua abad ke-19. Dengan beragam ruangan kelas serta ruang peminatan yang sungguh banyak membuat mereka terkadang tersesat meski sudah berjalan tiga tahun mengabdi di sekolah ini.

Melangkah cepat menggunakan sepatu hitam bertali putih, menuruni tangga dengan gesit dan masuk kelas yang bertandakan 3-A, Hae Jin, Ra Joon, dan Jae No tengah membawa setumpuk buku berjudul Sejarah Korea di tangannya usai mengobrak-abrik perpustakaan.

“Hei, Jae Hyuk! Tugas Sejarah sudah selesai?” tanya Hae Jin dari ambang pintu.

“Ini, sedang aku kerjakan,” jawabnya seraya mengangguk tersenyum, sementara tangannya terus mencatat di atas kertas.

“Nih, aku habis ambil buku-buku Sejarah, siapa tahu kamu butuh,” ujar Hae Jin, lalu menyimpan satu buku pada meja Jae Hyuk yang sebagiannya kosong. Pandangan Jae Hyuk lantas meninggi pada Hae Jin yang telah melangkah pergi ke bangku di belakangnya.

“Makasih.” Lalu ia tersenyum.

Setelah membagikan buku-buku pada teman-teman di kelasnya, Hae Jin kini kembali duduk bersama Jae Hyuk di kursi paling depan, kemudian mulai membaca buku tersebut dan mengerjakan tugasnya.

“Ssst, Hae Jin-ah!” Ra Joon berbisik.

“Ehm?” Si pemilik nama membalikkan tubuh ke belakang, di mana Ra Joon duduk bersama Jae No.

“Siang nanti mampir ke kelas Arlie sama Jeje yuk, ibuku menitipkan bekal makan mereka padaku,” pintanya dengan rona wajah yang berseri.

Hae Jin di depannya mengangguk cepat. “Ayo! Bareng sama yang lain, sekalian makan sama-sama di kantin,” ucapnya semangat.

“Okay, kajja!” balas Ra Joon antusias, mengepalkan tangannya ke udara.
Kelas kembali dimulai saat setelah guru mereka, Hanna, memasuki ruang kelas yang temaram itu usai menyelesaikan kepentingan di ruang Kepala Sekolah. Ia masuk tanpa menutup pintunya kembali dan membiarkannya terbuka. Kemudian ia berdiri tepat di depan kelas sembari menautkan kedua tangan di belakang, lalu memeriksa seluruh murid tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ukiran senyuman lantas terpampang di wajahnya ketika mengetahui betapa fokus murid-murid di depannya tengah mengerjakan tugas darinya tiga puluh menit lalu.

Hingga tiba-tiba, embusan angin lembut memasuki ruang kelas melalui jendela-jendela yang terbuka, membuat pintu yang terbuka lebar itu sedikit demi sedikit menutup dengan sendirinya. Sang guru menoleh pada pintu karena suara decitnya yang mengganggu. Namun, setelah itu, pandangannya kini malah terkunci pada salah satu murid lelakinya yang terlihat begitu diam membatu dengan tatapan kosong melihat pergerakkan pintu yang sedikit demi sedikit hendak menutup.

Jae Hyuk, semenjak sang guru masuk ke dalam kelas, ia mendadak mematung kaku, melamun menatap ke arah pintu kelas dengan tatapan kosong. Bahkan pena yang ia pakai sedari tadi pun masih terhimpit di jari-jarinya, ia benar-benar diam tanpa gerakan. Hae Jin yang menyadari itu pun menepuk-nepuk pundak temannya perlahan.

“Jae Hyuk, kamu tidak apa-apa?” tanyanya cemas dengan bola mata ikut melirik ke arah pintu. Hae Jin meremang begitu heran, mengetahui pupil kawannya yang sama sekali tak ada pergerakkan.

“Murid Hae Jin, kenapa Jae Hyuk?”

Ssaem, saya … tidak tahu,” jawabnya bingung.

“Hei, Jae Hyuk! Jangan bercanda,” bisiknya sembari menepuk pundak Jae Hyuk lebih keras. Namun, lagi-lagi Jae Hyuk tak acuh. Ia benar-benar begitu terpaku layaknya patung lilin. Tatapannya masih mengarah pada pintu kelas di depan sana. Entah apa yang dilihatnya, semua murid kini merinding kengerian.

The Doors: Survive | TERBIT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang