[3] Don't Leave Me Alone

1.5K 226 9
                                    

Pagi menjelang, keenam remaja itu baru saja bangun dari lelapnya. Mata mereka sedikit sembab dengan kantung mata yang menghitam, raut wajah lelah, rasa nyeri dan pegal menjalar ke seluruh tubuhnya. Mereka menguap dan sesekali meregangkan tubuh yang agak kaku. Mungkin karena kelelahan tadi malam.

Kecuali Jae Hyuk, ia masih tak sadarkan diri di kasurnya dengan posisi tidur yang tak berubah sedikit pun semenjak ia dipindahkan ke kamar fajar tadi. Ia tetap berbaring lurus dengan lengan kanannya yang tersampai di atas perut. Jae No dan Hae Jin yang masih duduk berbalut selimut putih memandang Jae Hyuk penuh rasa bersalah. Kedua anak itu lantas saling menatap, lalu mengangguk bersamaan.

“Jae Hyuk-ah?” panggil Hae Jin lirih.
Mereka berdua kini mendekati ranjang Jae Hyuk. Jae No menyentuh pundak sahabatnya itu lembut dengan raut wajah penuh kesedihan dan rasa menyesal.

“Kami minta maaf, Jae,” lirih Jae No menurunkan dua sudut bibirnya. Matanya yang sayu itu kini mengamati memar dan luka di leher, wajah, juga pergelangan tangan Jae Hyuk.

“Jae No-ya,” panggil Hae Jin. Jae No menoleh. “Apa hantu bisa sekuat ini? Lingkar tangan Jae Hyuk luka, lehernya, dan darah keluar banyak dari mulutnya … apa dia melukai diri sendiri? Atau–”

“Kekuatan iblis tidak bisa kita pikir melalui nalar, Hae Jin.” Martin memotong seraya melipat selimut di kasurnya. Mereka semua serentak tertuju padanya. “Iblis yang berani membuat kontak fisik dengan manusia … bisa jadi ia iblis yang murka.”

Deg!

“Tapi salah dia apa? Kenapa setan itu bisa semurka itu padanya?” timpal Hae Jin.

Martin mengangkat kedua bahunya serta menggelengkan kepala. “No one knows,” jawabnya sembari mendekat pada kasur Jae Hyuk. “Mungkin, daerah itu memang rawan? Setiap ruangan pasti ada penghuni. Dan, mungkin ‘mereka’ tidak suka kalau ada manusia yang memasuki wilayahnya,” tambahnya lagi.

Lalu ia memandang sahabat sekaligus saudaranya yang sedang terkapar lemah itu dari kaki hingga kepala, kemudian menyatukan kedua tangan untuk merapalkan doa. Anak yang lain lantas menunduk mengikuti.

“Kita berdoa saja supaya Jae Hyuk cepat sembuh. Cuma itu kan, yang bisa kita lakukan?” sahut Ra Joon seraya merangkul pundak kedua anak yang penuh rasa bersalah itu.

Senyum tipis dari Hae Jin pun terlukis diikuti oleh senyum manis dari Jae No.
“Aku minta maaf sudah membentak kalian,” ucap Martin.

Jae No di sampingnya memukul kecil dada kanan Martin seraya tersenyum padanya.
“Itu kami juga salah. Kami minta maaf,” jawab Jae No tulus sambil memeluk Martin dan menepuk-nepuk punggungnya.

Tindakannya pun kini diikuti oleh Ra Joon dan Hae Jin di sampingnya, bahkan Kim bersaudara yang tubuhnya lebih kecil itu pun tersenyum lebar, lalu berlari dari kasurnya menghampiri mereka, serta ikut memeluk kakak-kakaknya dari belakang.

Tak lama ....

Ekhem!” Suara seorang wanita datang tiba-tiba, diikuti oleh ketukan pintu yang lembut. Semua mata lantas berpaling.

“Ma?”

“Ibu?!” sahut mereka serentak.

“Selamat pagi, Anak-anak!”

Lee Martha, sang ibu pemilik asrama termegah di Busan, juga ibu kandung Martin yang selalu memanggilnya mama. Ia baru saja mendapati anak-anaknya tengah berpelukan erat saat membuka pintu kamar.

The Doors: Survive | TERBIT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang