Ini, cerita tentangku, Lee Hae Jin.
Cerita bagaimana aku dilahirkan, ditelantarkan, dan diabaikan. Sekitar sebelas tahun yang lalu, tepatnya saat usiaku baru menginjak tujuh tahun, aku sudah berada di sini, di asrama ini.
Asrama ini ajaib menurutku. Kenapa? Karena anak-anak yang sendirian, sebatang kara, dan kesepian, bisa merasakan kebahagiaan di sini. Aku bersyukur bisa berada di sini bersama teman yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Ada Ibu dan para bibi yang selalu merawat kami, juga barang-barang yang kami sukai pun melimpah di sini. Bisa dibilang, asrama ini serbalengkap, sungguh menyenangkan.Hidupku terasa lebih berwarna.
Oh, iya. Mungkin ini saatnya aku menceritakan pada kalian yang sebenarnya. Agak perih untuk diingat, tetapi aku harus. Jadi ... dahulu, ketika usiaku berjalan tujuh tahun, aku sedang bercengkerama manis bersama ayah dan ibuku di kamar sederhana berdindingkan papan kayu. Aku duduk di pangkuan Ibu yang tengah bercerita tentang bagaimana Ayah dan Ibu bertemu saat itu. Selagi mendengarnya, aku tersenyum tiada henti sembari mengisap jempol mungilku.
Sampai aku bertanya, bagaimana aku bisa ada di dunia dan bertemu dengan Ayah dan Ibu, juga Kakak. Mereka terdiam sejenak. Raut wajahnya berubah, senyumnya terhapus. Sampai Ayah memberiku tiga kertas foto usang yang dicetak dari kamera tuanya. Ah, tidak, hanya dua, satunya sepucuk surat.
Aku ingat, dan masih menyimpannya hingga kini. Foto pertama, foto di mana kakak lelakiku, ayah, dan ibu sedang duduk bersama di teras rumah, tanpa diriku. Foto kedua, bayi yang berbalut sehelai kain tengah menangis dengan mulutnya yang terbuka, juga rambut berantakan yang basah. Terakhir, sepucuk surat, akan kuberitahu isinya nanti.
Saat itu Ayah bilang untuk tetap menyimpannya hingga aku dewasa. Aku sempat mengamati kedua foto usang itu, entah apa yang ada di pikiranku, aku tak bertanya mengapa aku tak ada di dalamnya. Dan surat itu … haha, sayangnya, saat itu aku belum bisa membaca. Jadi, aku hanya menganggukkan kepala dan menyimpan barang-barang itu di tas ransel kecilku. Bahkan tas itu masih kusimpan di nakas kamar, tak pernah aku buang. Sekalipun berdebu, aku akan mencucinya.
Sejak itu, selama setahun penuh aku selalu bersama mereka. Aku tak berani bertemu siapa pun kecuali mereka, aku tak berani bermain dengan siapa pun kecuali mereka. Aku bagai ekor dan mereka kepalanya, aku selalu membuntuti kemana pun mereka pergi. Sejauh apa pun, aku tetap di belakang mereka.
Hingga di mana hari ulang tahunku datang. Mereka berjanji akan mengajakku jalan menyusuri istana megah. Tentu, aku begitu semringah mengetahuinya. Aku sampai tak bisa tidur untuk menunggu hari esok. Dan tibalah hari di mana aku akan menemukan istana yang selalu aku dambakan. Kami akhirnya pergi dengan berjalan santai. Namun, kakakku saat itu ....
“Tugas sekolahku menumpuk, pergi saja, bersenang-senanglah,” ucapnya waktu itu.
Dan ternyata, itu adalah terakhir kalinya aku melambaikan tangan padanya.Saat itu aku berjalan, sesekali berlari, menggunakan tas ranselku tadi, ransel cokelat berbulu bergambarkan boneka beruang, favoritku. Juga ayahku yang menenteng tas kulit besar di tangannya. Begitu gembira saat itu, senyumku tak pernah pudar, tawaku terus menggelegar, dengan tanganku digenggam erat oleh mereka, aku berada di tengah-tengah mereka. Sangat kecil aku dahulu, mungkin setinggi paha mereka? Aku sesekali meloncati genangan air dengan diangkatnya tanganku oleh mereka, aku tertawa riang walau hanya sekedar meloncat. Mereka pun ikut tertawa saat mendengar tawaanku yang begitu menggemaskan.
Dan pada akhirnya, sekitar tiga puluh meter jauhnya, istana yang orang tuaku bilang, terlihat. Bangunannya besar, seperti istana zaman kuno. Aku bahkan tak percaya ini ada di Busan. Intinya, aku bahagia, karena istana dalam dongeng yang Ayah selalu bacakan padaku terpampang jelas di depan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doors: Survive | TERBIT ✓
Mystery / ThrillerEND COMPLETE, BUT PLANNED TO REVISE - 𝐒𝐢𝐧𝐨𝐩𝐬𝐢𝐬 : 𝐏𝐚𝐧𝐭𝐢 𝐀𝐬𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐝𝐢𝐫𝐢 𝐦𝐞𝐠𝐚𝐡 𝐝𝐢 𝐁𝐮𝐬𝐚𝐧, 𝐬𝐞𝐧𝐠𝐚𝐣𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐮𝐦𝐩𝐮𝐥𝐤𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐢𝐣𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐬𝐞𝐦𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐩...