Martin berjalan cepat menuju toilet asrama seorang diri. Ia marah pada dirinya sendiri, sangat marah. Penyesalan yang ia duga akan terjadi usai tragedi dua belas tahun yang lalu ternyata benar. Penyesalan itu nyatanya muncul hari ini. Ia membuka pintu kamar mandi dengan kasar membantingnya, lalu masuk dan menutupnya dengan bantingan kasar pula. Ia lantas terduduk perlahan bersandar di pintu, menutupi wajahnya yang mulai memerah.
“Ma, can you stoping that shit ritual, huh?” geram Martin di dalam sana memukul lututnya sendiri yang menempel ke dadanya.
Ia kacau, rambutnya berantakan, ingin menangis, tapi air matanya enggan keluar. Kepalan tangannya terus memukul-mukul kepala dan kakinya bergantian, berulang. Hingga napasnya melemah. Ia berusaha bangkit mendekati cermin di depannya. Mencuci wajahnya berulang, berkumur-kumur hingga wajahnya mendingin. Menghela napas dan mencoba tenang.
“Sampai kapan aku harus merahasiakan ini semua?” lirihnya. “Aku sayang mereka, tapi aku juga tidak bisa memberi tahu yang sebenarnya. Kukira Mama sudah berubah, ternyata tidak. Dia sama saja. Sama busuknya!”
Batinnya menjerit. Dengan kuat ia memukul wastafel. Bulir bening itu mulai menetes dari pelupuk matanya.
“Aku salah. Bodoh! Bodoh! Bodoh, sialan!”
Kepalan tangannya di pinggir wastafel menguat, gemetar, wajahnya kembali memerah. Sejenak ia terdiam menahan semua amarahnya, napasnya begitu sesak memompa. Sampai ia teringat akan sesuatu, ia membuka kaus yang dipakainya dan melemparnya asal. Menghadap pada cermin, lalu menatap bekas luka besar di perut bagian kirinya. Bekas luka sayatan panjang yang timbul. Luka penuh memori pedih yang sulit untuk dilupakan.Martin begitu mengingat jelas masa lalunya di rumah putih tua tersebut. Ia menangis kembali. Takut jika saudaranya yang akan merasakan pedihnya tusukan itu. Tidak, ia tidak mau. Sambil melihat pantulan dirinya di cermin, mata merah yang berair itu memohon. “Papa, tolong Martin,” lirihnya seraya menunduk dalam. Dan seketika ....
“Martin.”
Suara tiba-tiba muncul menggema. Martin mencari sumbernya, melihat ke sekeliling dengan panik.
“Martin.”
Suara itu lagi.“Siapa?!” teriaknya sambil memutar kepala memindai tempat.
“Di cermin, Nak.”
Menengok gesit ke arah cermin. Matanya membelalak penuh air yang menggenang.
“Papa?” panggilnya ragu.
Sosok gelap berkabut hitam itu mengangguk dan seketika kabut yang menghalangi wajahnya perlahan menghilang. Sosok itu tak lagi hitam, melainkan putih cerah dengan cahaya emas mengitarinya. Martin termangu, menelan ludah, tangannya berusaha menggapai cermin.
“No, you can’t touch me, Dear,” ujar sosok itu.
Martin diam, menurunkan tangannya.
“Tutup matamu,” titah sosok itu lembut.Martin menggeleng, meneteskan setetes air di matanya. “Martin masih ingin lihat Papa,” lirihnya.
“Waktu kita tidak banyak, Nak. Tutup matamu.”
Tak ada pilihan, Martin lantas menutup matanya perlahan hingga kelopaknya bergetar. Entah selanjutnya apa, Martin yang tengah memejamkan mata tiba-tiba merasakan sinar terang menerpa. Hingga suara sosok itu kembali terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doors: Survive | TERBIT ✓
Mystery / ThrillerEND COMPLETE, BUT PLANNED TO REVISE - 𝐒𝐢𝐧𝐨𝐩𝐬𝐢𝐬 : 𝐏𝐚𝐧𝐭𝐢 𝐀𝐬𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐝𝐢𝐫𝐢 𝐦𝐞𝐠𝐚𝐡 𝐝𝐢 𝐁𝐮𝐬𝐚𝐧, 𝐬𝐞𝐧𝐠𝐚𝐣𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐮𝐦𝐩𝐮𝐥𝐤𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐢𝐣𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐬𝐞𝐦𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐩...