[22] Painful Reality

663 141 13
                                    

Gulungan awan putih kini makin tampak jelas edarannya. Matahari perlahan makin meninggi, sinarnya masuk melewati bibir jendela dan menghangatkan atmosfer yang menaungi mereka. Usai perdebatan panas antara ketujuh anak itu, Ra Joon menuntun mereka untuk duduk bersila di karpet di tengah-tengah kamar mereka. Ra Joon membantu mereka untuk saling mengakui kesalahan, membantunya untuk tenang, dan meredakan masing-masing amarahnya.

“Hae Jin, aku minta tanganmu,” titah Ra Joon, tangannya menengadah pada Hae Jin.

“Hah, maksudnya?”

“Kemarikan tangan kamu, yang kiri saja,” pintanya. “Minta maaf sama Martin, tangan kamu sudah memukulnya,” sambungnya tegas.

Hae Jin mengerjapkan matanya berulang, berdeham kecil, merasa canggung.
Martin berinisiatif. “Eh, tidak, tidak. Aku yang salah, Ra Joon. Aku minta maaf,” ucap Martin mengulurkan tangannya lebih dulu pada Hae Jin.

Lelaki itu hanya melongo menatap tangan dan wajah Martin bergantian. Ra Joon mengangguk pada Hae Jin, memintanya untuk menerima uluran tangan itu. Hae Jin lalu menerima jabatan tangannya, Martin tersenyum simpul, sedangkan Hae Jin tersenyum begitu tipis tak menatap mata kawannya.

“Sorry ya … pukulan tanganku mungkin sakitnya tidak seberapa, tapi pasti bikin hatimu sakit juga, ‘kan? Maaf,” ujarnya sembari menggaruk-garuk lehernya dengan canggung.

It’s okay, Hae Jin. Lagi pula aku berhak mendapatkannya,” jawabnya tersenyum lantas saling berpelukan dan menepuk pundak masing-masing.

“Begini kan, enak lihatnya. Sekarang kamu, Jae Hyuk, Jae No, semuanya, kalian juga,” titah Ra Joon kembali.

Mereka pun satu per satu berjabat tangan, tersenyum manis, saling berpelukan dan saling menyadari kesalahannya. Terlihat lebih sejuk dari biasanya, perasaan mereka perlahan kembali menghangat, rasanya mereka akan memulainya lagi dari awal tanpa ada rasa benci yang bersisa.

“Ehm, sekarang … apa?” tanya Hae Jin gugup.

Semua saling bertatapan.
“Martin,” panggil Jae Hyuk.

Martin sedikit meremang, menoleh padanya.

“Sekarang tolong jelaskan apa yang terjadi dengan Yuri, dan semua yang kamu tahu tentang Ibu, rumah putih itu, apa pun, yang bikin kita semua hampir mati,” sambung Jae Hyuk tenang.

Martin menghela napas. “Oke, pertama, aku minta maaf pada kalian, banyak yang aku sembunyikan yang kupikir itu semua bakal menyelamatkan kalian dari kesengsaraan, tapi nyatanya tidak. Semua bertolak belakang dari apa yang kupikirkan … aku bingung harus mulai dari mana.” Martin menundukkan kepala, mengusap wajahnya kasar.

“Pelan-pelan saja, Martin,” balas Ra Joon.
Yang lain menunggu.

“Aku bertemu Papa hari itu. Saat aku buntu, dan tidak tahu harus apa di saat kalian sudah terlanjur membenciku. Rasanya seperti mimpi. Aku senang, tapi di satu sisi ternyata pedih. Memori belasan tahun yang aku terima datang menghantuiku lagi. Dari situ awalnya,” jelas Martin terjeda, lalu membuka sedikit kaus yang dipakainya dan menunjukkan bekas luka besar di perutnya. Semua tentu terkejut, menganga, dan keningnya berkerut. Sepuluh tahun mengenalnya, mereka sama sekali tidak tahu soal luka itu.

“Benar kata Hae Jin. Semua ini karena ritual sesat yang pernah terjadi belasan tahun lalu. Saat kita semua masih kecil. Luka yang Mama buat ketika aku masih sangat kecil. Di dalam rumah putih, di atas meja kayu besar, ruang bawah tanah. Tangan dan kakiku diikat oleh sekumpulan wanita bertudung putih, dibawa dengan paksa, hingga tangisanku bahkan Mama abaikan demi ritual busuk itu. Aku diseret kemudian dicambuk ketika berusaha kabur.

The Doors: Survive | TERBIT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang