[8] Everything has Gone - Jae No

868 163 9
                                    

Semua milikku … hilang, tepat ketika menginjak usia lima. Di dalam bus besar, aku dan keluarga besar pergi bertamasya ke pegunungan Jeju untuk merayakan hari ulang tahunku. Sebelum itu, mereka saling melempar antusias akan keindahan alam di sana. Tentu aku pun tak kalah antusiasnya menantikan liburan itu, apalagi di hari ulang tahunku.

Di perjalanan, kami begitu ceria menikmati indahnya kelokan jalan di setiap sisinya. Kami saling bercengkerama dan bergurau bersama hingga menimbulkan gelak tawa. Paman dan Bibi saat itu bergantian menggendongku sambil sesekali mencubit pipiku yang tambun. Dengan senang hati aku menerima tawaran gendongan dan cubitan itu. Ya, walau cubitannya sedikit sakit sih, haha.

Aku terus tertawa ketika Paman dan Bibi berusaha terlihat lucu di depanku, sedangkan Ayah dan Ibu melihatku penuh dengan senyuman di wajahnya. Aku masih bisa melihat senyuman itu, hangat sekali.
Di dalam bus yang panjang, sesekali aku berlarian dan melompat ke sana kemari ditemani saudara jauh yang kebetulan seumuran denganku. Ia lelaki juga sama sepertiku.

Aku terbahak-bahak bersamanya entah menertawakan apa. Kami hanya berlarian dari kursi depan ke kursi belakang bersama-sama hingga sesekali kami tersungkur karena terguncang oleh jalannya bus. Namun, kami tak menangis atau mengadu, kami malah makin tertawa sampai suara kami tak terdengar.

Hingga akhirnya, aku ternyata tak begitu kuat lagi untuk berlarian mondar mandir di dalam bus yang tengah berjalan berkelok. Aku langsung mengeluarkan sisa makanan dalam perutku dari mulut tiba-tiba. Perutku mendadak mual saat itu, mungkin karena terlalu banyak bergerak.

Kemudian, dengan sigap Ayah menggendongku sambil mengusap punggung dan perutku dengan minyak angin agar perutku kembali terasa nyaman. Ibuku juga lantas memberiku air putih agar perut dan mulutku bersih kembali, katanya.

Namun, sedari dulu aku anak yang tak mengenal kata jera. Aku lagi-lagi berlarian dengan saudaraku itu dan tertawa girang walau sekadar melihatnya sedang menghentak-hentakkan kaki di alas bus. Aku mengikutinya, menghentakkan kaki di alas bus pula.

Lucu, entah mengapa aku masih ingat wajahnya saat tertawa. Ia tampan saat kecil, aku masih mengingat bentuk wajahnya. Dan … mungkin, jika aku bisa melihatnya sekali lagi, saat ini mungkin ia akan tumbuh tampan sama sepertiku. Haha, bercanda.

Berjam-jam di dalam bus dengan tanpa kata lelah, sedangkan orang tuaku saat itu mungkin merasa sedikit kesal melihatku yang sulit diam. Mereka lagi-lagi dengan sigap membawaku ke pangkuannya. Meski sesekali aku memberontak, tapi Ayah tak pantang menyerah untuk mendekapku dengan erat dan hangat. Aku spontan terdiam, merasa nyaman. Setelah itu, Ayah kemudian melepaskan pelukannya dan membiarkanku duduk di antara mereka. Ibu menyuapiku sepotong biskuit dan Ayah menggenggam botol susuku. Aku seperti raja saat itu, banyak yang melayaniku.

Lalu, ketika langit berubah gelap. Karaoke malam dimulai. Semua paman dan bibi, kakek dan nenek, serta kerabat yang lain dengan semangat menyanyikan lagu-lagu yang terdengar unik. Mereka terlihat begitu menikmati nyanyian di tengah perjalanan. Dengan tarian kecil dan lampu kelap-kelip menghiasi suasana malam itu. Aku pun tak segan untuk ikut berjoget ria hanya dengan menganggukan kepala dan mengayunkan tangan melambai acak. Ayah dan Ibu tertawa riang.

Hingga tiba-tiba jantungku mendadak bergetar tak karuan kala sopir bus tiba-tiba berteriak diikuti suara decitan rem yang begitu melengking menusuk telinga.

BRAK!

Bus jatuh terbalik, menabrak pembatas jalan, dan menerobos tanpa henti. Suara dentuman yang keras, suara daun-daun dari pepohonan yang tersuruk-suruk badan bus, serta jeritan keluargaku yang saat itu tengah bersenang-senang berubah menjadi mengerikan.

The Doors: Survive | TERBIT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang