Sequential Love - 5 - Loteng 1/2

5.5K 949 107
                                    

Tawa pria itu tidak kunjung reda meskipun diomeli oleh wanita tua tadi. Ia mengaduh kesakitan karena terlalu banyak tertawa.

"Bentar, Bibi Minah ku sayang." Ganendra menarik napas panjang, "Aku itu bukannya mau nakutin, tapi tombol buat bukanya macet. Tadinya mau minta tolong buat pencet yang di belakang, eh, kok kayaknya asyik dikerjain bentar."

Nadira hanya dapat mendengar dua kata seperti 'tua' dan 'iseng' karena ia sibuk menenangkan jantungnya sendiri. Tangannya benar-benar dingin dan gemetar. Rasanya jantungnya jatuh ke lantai bersamaan dengan tubuhnya tadi. Ia mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan-lahan dengan mata tertutup. Berusaha tenang meskipun suara berisik jantungnya terdengar hingga gendang telinganya sendiri.

"Halo!" Nadira tidak tahu kapan pria itu keluar dari kostum robot sialannya dan sudah berjongkok di hadapannya dengan cengiran lebar. "Kakinya lemas, ya?" Kerlingan mata nakal dan nada mengejek yang jeluar saat bertanya membuat Nadira keki sendiri.

Ia enggan menjawab, karena selain masih lemas, ia juga masih terlalu kesal. Bibi Minah membantunya berdiri dan duduk di sofa kemudian perli ke dapur.

Sisa-sisa tawa kencang masih melekat di wajah Ganendra yang tidak dapat berhenti tersenyum untuk menahan tawanya agar tidak meledak. Nadira tahu itu, dari bagaimana Ganendra tidak dapat berhenti tersenyum dengan bodoh dan menyebalkan lalu menutup mulut dengan kepalan tangan saat tatapan mereka bertemu.

Bi Minah kembali dengan minuman di tangan kanannya dengan terburu-buru, "Ini teh manis, Non. Diminum dulu ya." Nadira menerimanya dengan senang hati kemudian menghabiskan teh itu dalam tiga kali tenggak.

"Haus apa lemes, sih?" Komentar Ganendra membuat Bi Minah langsung menghardiknya, "Bang Gan! Jangan diusilin dulu tamunya!" yang langsung membuat Ganendra melipat kedua bibirnya ke dalam dengan rapat.

Saat tenaganya sudah kembali, Nadira langsung ke inti pekerjaannya. Ogah berlama-lama berada di sini dan melihat orang menyebalkan itu. Tidak profesional, ia tahu. Tapi rasa profesional dan sopan santunnya sudah menguap semenjak jatuh terduduk di lantai tadi. "Jadi, di mana gudang yang harus saya perbaiki?"

"Kaki kamu sudah kuat memangnya?" Nada mengejek itu lagi, namun Nadira hanya dapat menarik napas lalu mengembuskannya dengan perlahan. Nadira melihat pria itu, masih dengan kerlingan nakal. Kali ini ditambah dengan seringai di bibirnya.

"Sudah, Pak. Jadi, bisa langsung ke intinya?"

Ganendra berdiri dari duduknya, "Kalau begitu ikut saya. Dan omong-omong, saya belum bapak-bapak jadi santai saja. Bisa pakai nama Ganendra."

Nadira berdiri dan mengikuti pria itu yang sudah berjalan lebih dulu ke tangga yang berada di ujung ruangan. "Tidak sopan, Pak."

"I insist." putusnya. Mereka menuju ke lorong lalu pria itu menarik tali yang menggantung tinggi di langit-langit. Baru ini Nadira menyadari kalau kliennya sangat tinggi. Langit-langit itu lebih dari dua meter dan Ganendra dapat menjangkau tali yang terjuntai hingga terbuka dan memperlihatkan tangga lipat dari kayu yang menempel di langit-langit yang terbuka tadi.

"Wow." ujarnya tanpa sadar.

"Keren kan?" Kata Ganendra bangga. Ia mengeluarkan tangga lipat hingga menyentuh ke lantai kayu. "Papa saya tukang kayu dan suka dengan rumah-rumah lama di luar jadi beliau buat loteng seperti ini."

Tebakannya di awal tadi benar. Tidak sepenuhnya juga, sih. Karena Ganendra tampak bangga sekali dengan rumah ini.

Ganendra memanjat lebih dulu lalu diikuti olehnya. Hidung Nadira yang sensitif dengan debu langsung mengirim sinyal ke otaknya untuk bersin berkali-kali begitu kepalanya melongok ke loteng. Dengan cepat ia mengambil masker di dalam tas yang dibawanya.

"Debu banget memang di sini. Lama tidak dibereskan dan sejujurnya saya dan Bi Minah pun sudah bertahun-tahun tidak ke sini." mata Nadira mengikuti Ganendra yang berjalan ke sisi di mana ada tempat tidur dengan seprei yang sudah amat kusam dengan begitu banyak boneka yang berada di atasnya. "Nah, saya tinggalkan kamu dengan benda-benda ini. Untuk semua barang di sini, tidak ada yang mau dibuang. Jadi, harus memaksimalkan space-nya."

Ganendra lalu turun dan meninggalkannya dengan begitu banyak barang yang menimbun satu sama lain. Jelas sekali pria itu jenis apa.

Dari begitu banyak orang, jenis yang paling dibencinya adalah hoarder.

16/1/21

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)

Thank you :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sequential Love [FIN] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang