Ganendra berdecih, ia membawa seluruh lauk dan menatanya di kitchen island. "Makan di sini atau mau di meja makan?" tanyanya setelah sadar akan keberadaan Nadira.
"Di sini saja." Nadira menaiki salah satu stool dan membiarkan pria itu yang menyiapkan makanan serta menata peralatan makan mereka. Satu mangkok besar berisikan nasi yang masih mengepul sudah berada di depannya beserta lauk pauk yang membuat berutnya tidak berhenti bergemuruh dan para penghuni perutnya berteriak kelaparan saat aroma itu terendus di hidungnya.
Tangannya baru saja memegang centong nasi saat Ganendra memukul punggung tangannya dengan pelan. Seperti pukulan seorang ibu yang melarang anaknya untuk mengambil makanan karena tangannya masih kotor. "Doa dulu. Kamu yang pimpin." Ujar pria itu membuat Nadira mengeryit. "Doa, bilang terima kasih ke Tu-"
"Saya tahu itu." Potongnya lalu memutar bola mata dengan malas.
"Saya lihat kalung salib kamu dan di sana..." Ganendra menunjuk pada salib dari kayu yang berada di dekat tembok yang berada di belakangnya. "ada salib juga. Dan karena saya sudah menyiapkan makanan, kamu harus pimpin doanya."
Nadira menggerutu dengan pelan dan berdoa dengan lancar lalu mulai mengganyang makanan di depannya. Ia tidak merasa lapar hingga melihat makanan dengan mata kepalanya langsung. Ia makan dalam diam, begitu pun dengan Ganendra yang tampak sama lahapnya dengan dirinya.
"Terima kasih, saya kenyang banget." Ujarnya setelah menenggak air mineral. "Masakan Bi Sum enak banget. Bi Sum ke mana ya?" ia melongok ke sana sini, mencari bayangan wanita tua itu di setiap sudut tapi tak kunjung juga melihatnya."Lagi main sama Hime. Bi Sum punya cucu di kampung, jadi paling suka kalau ada anak kecil di sini. Kangen cucunya terobati katanya." Terang pria itu yang mendapatkan anggukan kepala dari Nadira.
"Kerjaan saya kayaknya akan selesai paling lama pukul delapan. Gak masalah atau saya harus berhenti sekarang dan kembali besok?""Sekarang saja bagaimana? Saya rencana mau minta kamu beresin dapur dan garasi." Pria yang duudk di sampingnya itu berujar.
"Backstock?" Satu anggukan kepala dari pria itu menjawab pertanyaannya. Pria itu membuka mulutnya, "Saya menyimpan hadiah-hadiah buat keponakan kalau main ke sini. Dan juga hadiah buat beberapa teman kalau datang atau berulang tahun." Terangnya.
Nadira mulai membayangkan semengerikan apa backstock pria itu kalau lotengnya saja sudah semengerikan itu. Tanpa disadarinya ia mengerang dan membuat Ganendra tertawa. "Hei, tidak semengerikan itu! Hanya penuh dengan beberapa barang aja. Tambahan beberapa bahan makanan kering yang bisa disimpan lama, serta cemilan anak-anak. Lalu ada juga ce-"
"Listnya tidak berhenti sampai di sana ya?" Nadira memotong ucapan pria itu dengan nada sebal.
"Hei, saya bayar sesuai dengan usaha kamu nanti." Pria itu bergurau, namun membuat Nadira sadar kalau selama ini cara bicaranya tidak seperti kepada klien-kliennya. Ia berdeham, "Baik, Pak Ganendra." Jawabnya, mencoba kembali formal.
"Kembali lagi ke panggilan Pak? Saya pikir panggilan Pak kalau kamu lagi marah aja." Ganendra meletakkan piringnya di dishwasher lalu mengisi gelas kosongnya dengan jus jeruk yang baru diambilnya dari kulkas. Pertanyaan Ganendra membuat Nadira kembali merasa tidak enak. "Maaf tadi siang saya tiba-tiba tidak sopan." Ujarnya.
"Gak apa-apa, saya terlalu mengatur padahal itu bukan ranah saya. Saya benar-benar terbiasa mengatur keponakan saya saat dititipkan di sini."
"Tapi seharusnya saya tidak berteriak."
Ganendra mengibaskan tangannya dengan santai. "Saya gak masalah sama teriakan. Kakak saya sering berteriak dengan lebih kencang dibanding kamu tadi. Saya mau main lempar bola dengan Boo dan Giant dulu." Nadira terburu-buru berdiri dan meletakkan piring kotornya di tempat yang sama dengan Ganendra, "Saya juga mau balik kerja. Terima kasih untuk makan siangnya."
10/3/21
Target selanjutnya di chapter 11 1/2 & 2/2 @300 komen yaaww
KAMU SEDANG MEMBACA
Sequential Love [FIN]
Любовные романыTrigger warning and may contain some mature convos. Bercerai tidak pernah ada di dalam kamus Nadira. Sebagai seorang yang hopelessly romantic, Nadira selalu berharap cinta pertamanya akan menjadi yang terakhir, yang berarti seperti janji pernikaha...