Pria itu kini tertawa dengan kedua tangan berada di dadanya. Tawa yag mengalirkan ketakutan ke setiap sendi Nadira dan membuat lututnya lemas. "Kamu pikir kamu bisa membodohiku? Kamu tidak mau karena sudah ada pria itu kan?" Tanya Gerald setelah tawanya reda.
"Pria apa?"
"Sudah aku duga kamu akan berpura-pura bodoh." Gerald merogoh kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan menunjukkan layar yang sepertinya dudah dipersiapkan oleh pria itu sebelum datang ke sini. "Siapa namanya? Gan--" tangannya menjentik saat ia menemukan nama yang tepat. "Ah, right, Ganendra. Setelah lepas dariku kamu dengan cepat bisa melompat ke pelukan pria kaya lainnya, ya?"
"Di-dia klien. Aku sedang mengerjakan rumahnya." Nadira mundur satu langkah hingga mencapai batas pintu keluar saat Gerald mendekatinya.
"Tapi, kamu membawa Hime ke sana? Klien macam apa yang menggendong Hime? Kamu bodoh atau tolol? Atau kombinasi keduanya? Apa, sih, yang bisa kamu lakukan dengan benar? Kamu pikir dengan perilaku seperti ini usahamu yang kampungan itu akan berjalan dengan lancar? Kamu bahkan tidak mungkin bisa memberi makan dirimu sendiri, terlebih Hime." suara Gerald lambat laun meninggi hingga matanya kembali terarah ke pintu kamar. "Bisa tolong pelankan suaramu? Hime sedang tidur." suaranya kali ini lebih besar, namun masih terdengar seperti cicitan di telinganya sendiri.
Gerald mendengkus, "Kalau kamu memang perhatian dengan Hime, kamu tidak akan membuatnya susah dengan harus dititipkan pada kedua orangtuamu setiap kamu bekerja. Atau malah lebih parahnya pada orang lain yang kamu tidak kenal. Memangnya apa yang kamu tahu mengenai pria ini? Tidak ada. Kamu menitipkannya pada orang asing, ibu macam apa kamu?" perkataan Gerald menusuk tepat di hatinya. Dan tidak berhenti sampai di sana, pria itu menghujaminya dengan berbagai macam ucapan menohok lainnya.
"Kamu pikir dengan uang yang kamu dapatkan dapat mencukupi Hime? Kalau untuk makan saja sulit, apa kamu sudah memikirkan untuk sekolah dan masa depannya? Kamu tidak memiliki apa pun sebagai jaminan hidupnya, bahkan tidak ada untuk dirimu sendiri. Pria mana yang mau menerima beban sepertimu, janda dengan satu anak?" Tanyanya dengan mengejek. Kali ini mata Nadira tidak dapat melihat dengan jelas karena sudah diselubungi oleh air yang siap terjatuh kapan saja jika ia berkedip. "Berhenti bersikap bodoh dan kembali padaku." Gerald mengakhiri parade ucapan menohoknya dengan air mata yang tidak dapat ditahan oleh Nadira.
"Nadi, pintu kok kebu-- ada apa?" Ia mendengar suara Damayanti sebelum dapat merasakan tangan yang tersampir di pundaknya. Kepalanya tidak lagi terangkat, yang dapat dilihatnya hanyalah lantai yang buram dan rasa sesak yang merajai dada.
Tawa mengejek Gerald kembali mengudara, membuat Nadira mau tidak mau melihat ke arah pria itu. "Ini makanya aku tidak mau kamu berteman dengan mereka. Mereka bawa pengaruh buruk buat kamu, Nadi. Kamu tau kan peribahasa 'berteman dengan tukang minyak wangi kita akan ikut wangi, berteman dengan tukang minyak kita akan ikut bau minyak'?"
Pegangan Damayanti yang tersampir di pundaknya mengerat sedangkan tangan kirinya menari di atas layar ponselnya selama beberapa saat sebelum menempel di telinganya. "Halo, Pak. Datang ke tower dan lantai yang saya kirim melalui pesan singkat, ya. Ada gangguan dan tolong pastikan orangnya tidak dapat naik ke lantai ini lagi. Baik, sambungannya jangan ditutup ya, Pak. Terima kasih."
Damayanti kemudian menyalakan pengeras suara ponselnya. Memastikan suaranya cukup kencang sehingga dapat didengar oleh Gerald.
15/6/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Sequential Love [FIN]
RomanceTrigger warning and may contain some mature convos. Bercerai tidak pernah ada di dalam kamus Nadira. Sebagai seorang yang hopelessly romantic, Nadira selalu berharap cinta pertamanya akan menjadi yang terakhir, yang berarti seperti janji pernikaha...