⚠️Trigger warning⚠️
Man teman, bagian ini ada kekerasannya ya.
Hanya butuh lima detik hingga seluruh memori berhamburan di kepalanya. Berusaha menjejali diri mereka ke setiap sisi otak dan permukaan kulitnya. Membuatnya mau tidak mau mengingat kenangan-kenangan yang tidak hanya membekas di otaknya, tetapi juga di seluruh tubuhnya yang kini tanpa disadarinya gemetar.
Satu ingatannya memperlihatkan bagimana tangan pria itu melayang ke bagian kiri kepalanya, mengenai tidak hanya pipi dengan sudut bibir yang membuat lidahnya dapat mencecap besi, juga telinga yang tidak berhenti berdengung. Meninggalkannya dengan berdiam diri di dalam kamar sambil menangis. Mata bulat Himeka yang kala itu masih terlalu kecil untuk paham bahwa dirinya menangis menatapnya penuh perhatian. "Ayah cuma emosi, Hime. Bubu juga yang salah." ulangnya terus menerus. Entah untuk meyakinkan bayi yang bahkan tidak mengerti ucapannya atau lebih kepada dirinya sendiri.
Atau ingatan bagaimana satu tangan pria itu berada di lehernya hingga paru-parunya terasa panas akibat jalur oksigen yang dihentikan secara paksa. Kulitnya yang berwarna biru dan hitam atau lambat laun berwarna hijau dan merah yang semakin pudar dari hari ke hari. Membuatnya mau tidak mau lebih banyak menggunakan lengan panjang meskipun di cuaca yang sangat terik. Satu-satunya yang dipercayainya hanyalah ucapan mantan suaminya yang selalu mengatakan, "Aku gak bakalan marah kalau kamu gak bikin aku emosi." ucapan yang membuatnya yakin bahwa semuanya adalah kesalahannya. Bahwa ia harus melakukan semuanya lebih baik lagi. Bahwa ia adalah posisi orang yang bersalah di sini.
Lalu ada ingatan lain yang muncul membuat kedua matanya tertutup dengan rapat. Bahkan untuk membicarakannya sajan Nadira tidak bisa. Ia mengerih saat seluruh ketakutan dan mimpi buruknya kembali terasa memeluknya dengan erat, membuat pasokan oksigennya terhenti secara tiba-tiba. Terlalu erat dan berat. Nadira sendiri tidak tahu rasa sakit mana yang lebih parah, tubuhnya yang lebam atau hatinya yang remuk redam. Karena yang disadarinya terlambat adalah pria dapat memohon maaf sambil berlinang air mata, bahkan berlutut sambil bersumpah tidak akan memukulnya lagi, namun tetap melakukan kesalahan yang sama setelahnya.
Dan kini setelah semua usahanya untuk melupakan kepingan-kepingan masa lalu itu, dengan mudahnya Gerald, mantan suaminya, datang dan mengembalikan segalanya ke tempat semula.
Keberadaan pria itu di apartemennya yang kecil membuatnya merasa amat kerdil. Gerald menatapnya yang membiarkan pintu terbuka lebar, "Tutup pintunya, Nadira." titahnya.
Rasa takut yang melingkupinya membuat Nadira hampir saja menutup pintu, namun akal sehatnya mengambil alih lebih cepat. "Tidak, biarkan saja terbuka. Ada apa, Gerald?" Tanyanya, tangan kirinya meremas tangan lain. Sedangkan matanya tidka berhenti melirik ke pintu kamar yang tertutup dan juga pintu unitnya yang terbuka lebar. Ke mana saja asal tidak melihat pria itu.
"Kita akan rujuk." tukas pria itu mantap, tanpa memberikan ruang untuk diskusi atau menanyakan apa maunya. Segala hal harus desuai apa yang pria itu mau. "Kalau kamu tidak mau, aku akan menghentikan tunjangan untuk Himeka." ancaman yang pria itu sudah lakukan beberapa bulan terakhir. Meskipun tidak pernah dikatakannya secara langsung seperti sekarang, Nadira tahu betul bahwa penolakannya melalui sambungan telepon dulu membuat Gerald menutup keran tunjangan yang selama ini dikucurkannya.
Nadira menggigit bibirnya. Menolak melalui telepon lebih mudah ketimbang berhadapan secara langsung seperti sekarang. Nyalinya yang hanya biji kacang hijau kini sudah tergerus.
"Jawabanku masih sama, Gerald. Aku tidak mau." cicitnya.
14/6/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Sequential Love [FIN]
RomanceTrigger warning and may contain some mature convos. Bercerai tidak pernah ada di dalam kamus Nadira. Sebagai seorang yang hopelessly romantic, Nadira selalu berharap cinta pertamanya akan menjadi yang terakhir, yang berarti seperti janji pernikaha...