PS - 28

5K 552 69
                                    


______________

Ting-tong, bunyi bel mengagetkan Radell yang sedang berdandan di kamar. "Alaf!" ujarnya spontan. Buru-buru ia keluar kamar dan menghampiri Adrian yang sedang menyesap jus jeruknya. "Adrian, move! Alaf dateng..."

Adrian mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan menatap Radell aneh. "Alaf? Mana?" Ia bertanya sambil memainkan alisnya.

Radell geram dengan respon Adrian, ia pun menarik tangan Adrian agar bangun dari duduknya. "Kamu di luar dan nggak dengar bunyi bel sama sekali?!" tanyanya sekali lagi.

Adrian menyeringai, "Terlalu fokus makan dan menikmati pagiku, Ra," jawabnya santai dan terus memakan sarapannya. Ingin rasanya Radell memukul-mukul tubuhnya karena kesal dengan jawaban yang ia berikan. Adrian, argh?!

"Adrian, aku nggak sedang bercanda, ya. Ada Alaf di luar. You have to hide! Aku nggak mau ada gosip di antara kita. Please kalau kamu nggak mau nama baik kita rusak!"

Adrian berdiri dan segera menarik pinggul Radell—mendekatkan tubuh wanita itu ke tubuhnya. Ia menatap mata Radell dalam-dalam dan berkata, "Kenapa harus takut nama aku rusak. We did nothing, Radellia..." tersenyum jahil.

"Yes, you are not, but me..." jawab Radell cepat. Ia benar-benar tak bisa berpikir jernih karena berada dalam dekapan Adrian. Damn, those eyes!

Adrian tersenyum puas melihat tingkah canggung Radell berada di dekatnya. Bukannya melonggarkan dekapannya, ia malah semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Radell. "Kamu nggak perlu khawatir, aku yang akan tanggung jawab," jelasnya sembari memindai setiap inci wajah wanita yang membuat jantungnya berdebar kencang. "Alaf... nggak akan berani macam-macam, Ra," coba menenangkan Radell.

"Dri... ini nggak bener... kita bahkan bukan—"

Cup, belum sempat Radell menyelesaikan ucapannya, Adrian secara spontan mengecup bibirnya dan membuat tubuh dan netra cokelat keduanya membeku selama beberapa detik.

Sungguh, Adrian tidak paham dengan jalan pikirannya sendiri—kenapa ia berlaku impulsif—mencium Radell—seperti itu. Ia bahkan tak mengindahkan keberadaan Alaf yang tengah menunggu di luar.

Adrian terbawa suasana. Ia tak bisa menahan dirinya sendiri. Estrogen seakan-akan mendominasi tubuhnya. Shit! What the hell am I doing? Umpatnya dalam hati. Dengan cepat ia menjauhkan bibirnya dari bibir Radell dan membuat jarak di antara mereka berdua.

Keduanya menampakkan ekspresi bingung karena kejadian spontan tersebut.

Lo kayak singa yang baru dilepas di hutan Afrika, Adrian! Kelakuan lo yang barbar kayak gini bikin Radell eneg. Bego, bego, bego!

"Ra, aku—"

"Kamu bisa masuk kamar aku," potong Radell cepat. Ia berkata acak karena tak bisa memikirkan apapun. "Jangan keluar sampai aku kasih kode. Aku mau ketemu Alaf dulu," jelasnya sambil berusaha mengatur nafas.

"Tapi, Ra—"

"Adrian, please... I need your cooperation," tegas Radell.

"Oke, aku akan masuk kamar kamu sekarang," kata Adrian, "aku mau mandi..."

"Iya..." Radell mendorong tubuh besar Adrian menuju kamarnya, "...ayo cepat masuk, Alaf sampe berlumut nungguin di luar. Kamu kebanyakan drama!"

Adrian hanya bisa cengir mendengar ucapan Radell, "Kamu aneh banget, sih. Aku ini atasannya Alaf, tapi kamu lebih takut sama dia," komentarnya.

Prefix-SuffixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang