PS - SATU

24.6K 2K 18
                                        

"Beneran deh, sampai kapan pun gue nggak akan pernah bisa terima perlakuan suami lo-mantan maksudnya. Bisa-bisanya dia ngatain lo 'whore' setelah apa yang dia lakuin sama lo."

"Bukan whore, Vi. Dia nggak ngomong gitu. Cuma nuduh," Radell meluruskan ucapan sahabatnya itu.

"Apapun lah. Intinya sama. Kalau gue jadi lo, gue nggak cuma kasih tamparan, tapi kebiri! Enak aja habis manis sepah dibuang. Mau enak doang, nggak mau berjuang. Hih! Berengsek!"

Radell hanya tersenyum kecut melihat sahabatnya-Vio yang marah atas perlakuan mantan suaminya itu.

"Ternyata laki yang mulutnya kek lambe instagram itu beneran ada, ya?" lanjut Vio.

Radell tertawa kecil. "Kan atas nama kesetaraan gender."

"Kesetaraan gender bokap lo?!" Vio marah pada Radell. "Sebel gue. Pokoknya kelakuan mantan suami lo itu nggak akan pernah masuk di logika gue."

"Udah Vi. Nggak perlu dibahas. Lupain. Gue udah maafin dia kok. Dia kayak gitu mungkin karena ada masalah di kantor. Dia nggak ada maksud ngatain gue begitu."

"Bela terus, bela terus si Berengsek yang main ceraiin lo dengan alasan konyol itu. Si berengsek yang tiba-tiba hilang di telan bumi selama lebih dari setahun terakhir."

"Ehhmm... gue nggak divorce sama dia, Vi. Berapa kali gue harus jelasin sama lo sih? Antara gue sama Adrian itu nggak cerai. Dia nggak pernah ngomong talak sama gue. Surat ceraipun nggak ada sampai sekarang."

Vio tertawa miris. "Eh, Sasongko. Gue kasih tau sama lo ya biar nggak halu. Dengerin gue baik-baik! Please, mulai saat ini lo harus legawa dan sadar diri kalau status lo sama Adrian itu adalah c-e-r-a-i. Open your eyes! Dia bilang selesai ya tandanya hubungan kalian bubar. Dia juga ngajakin lo divorce, kan?"

"Tapi sampai sekarang surat cerai gue nggak ada tuh." Radell keukuh membela diri.

Vio bergidik ngeri. Ia kemudian melanjutkan kata-katanya. "Ngomongin tentang surat cerai. Saran gue, coba lo fungsikan neuron yang ada di otak lo buat berpikir sedikit. Gunakan logika selama lo kuliah. Ya macam mana dia mau kasih surat cerai kalau kalian nikahnya aja siri. Ada-ada aja lo!"

"Gue belum cerai sama dia, Vio! Kan belum ada kesepakatan dari kedua belah pihak. Kita sama-sama emosi-"

"Pede banget lo! Dia itu nggak anggep lo istri dari zaman behula. Zaman di mana lo dengan ceroboh dan begonya mabuk dan secara random cium laki-laki lain. Tolong dipakai otaknya ya, Bu?" sindir Vio.

Radell menaikkan bahunya, "Terserah lo dah. Bebas! Hujat deh hujat."

"Janda Hamzari yang mengharap suami kembali?"

*

Radell kembali dari makan siang bersama Vio. Ia pulang ke rumah orang tuanya yang ada di salah satu perumahan elit Ibukota.

"Halo, Tia," ujarnya ketika pintu utama dibuka oleh salah satu ART keluarga mereka. "Ti, Papa dan Mama ada nggak?" tanyanya.

Tia-ART keluarga Sasongko menjawab, "Maaf Non, Tuan sama Nyonya baru saja berangkat ke rumah Nenek, Non Fara. Kemungkinan pulang nanti malam sekali."

Radell mengerutkan dahi, "Emang ada acara apa di rumah Eyang? Kok saya nggak tau?"

Tia menggaruk kepalanya. "Itu Non, sepupunya Non, Mas Bima baru datang dari Jerman. Cuma acara makan malam biasa kok."

"Oh... Oke. Saya mau ke atas dulu. Kamar saya sudah bersih kan, Ti?"

"Sudah, Non."

"Oke thank you! Kalau Papa dan Mama datang kabari, ya. Saya mau istirahat.

Tia menjawab, "Baik, Non."

**

Sesampai di kamar, Radell merebahkan tubuhnya di atas ranjang berukuran besar dengan ukiran khas Jepara. Perempuan itu mengeluarkan handphone dari clutch hitam miliknya. Radell kemudian memencet panggilan video kepada sahabat prianya, Biru.

"Hay..." sapa Radell lebih dulu.

"Halo Radellia Sasongko. Lo tumben ajakin gue video call, ada apa?" tanyanya.

Radell menjawab, "Gue kangen sama lo Bi. Gue lagi di Indo nih. Catch up yuk!"

"Gue sibuk, nggak bisa ninggalin kerjaan nih. Lagi handle project nikahan Hardian Wida dan Tantri Ratih nih-"

"Hardian siapa?" potong Adel.

"Widagda. Itu lho anaknya Menteri PU."

"Keren juga. Anaknya Harjadi Widagda pakai vendor lo."

"Iya, dari engagement sudah make vendor gue."

"Congarts ya, Bi!" Radell mengucapkan selamat pada Biru. "Tambah berjaya aja nih lo. Belum setahun klien lo orang penting semua."

"Bisa aja, Del. Ya gini ini namanya merintis. Gue kan beda sama lo. Anaknya Gideon Sasongko mah nggak perlu merintis. Langsung jalanin yang ada," sindir Biru namun dengan senyum ejekan di wajahnya.

Radell memutar bola matanya. "Mulai deh lo. Gue biasa aja kali."

"Biasanya orang yang nggak biasa itu yang sering merendah ya..." kata Biru.

"Udah ah, Bi. Ini serius lo nggak bisa ketemu gue? Gue balik ke KL seminggu lagi. Setelah acara resepsinya Raya. Lo diundang, kan?"

"Nggak diundang lagi, Del. Gue yang jadi vendornya Raya dan Fabian."

"Wah! Coincidence banget ya," kata Radell dengan semangat. "Kita bisa ketemu dong?"

Biru menjulurkan lidahnya dan berkata, "Lo kayak ketemu siapa aja deh. Sampai bahagia banget. Gue bukan anak Jenderal ataupun Presiden, Faradellia!"

"Gue senang lah Bi, kan gue kangen sama sahabat gue yang paling ganteng sedunia."

"Kangen kalau nggak ada temennya. Coba kalau ada, pasti lupa-"

Radell memotong ucapan Biru, "Nggak dong. Mana mungkin gue lupa lo," tersenyum, "Eh anyway, Vio dateng ke acaranya Raya lho. Bisa rumpi deh kalian berdua."

Biru tersenyum lebar dari balik panggilan videonya. "Ini berita yang gue suka. Oke deh, see you there, ya Del!"

"See you, Bi!"

Prefix-SuffixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang