PS - 19

9.8K 996 33
                                    


___

"Aku beneran nggak paham dengan jawaban kamu, Dri. Kamu membuat ini semakin rumit," Radell menggerutu sambil membuka pintu apartemennya dan membiarkan Adrian masuk. 

Adrian tidak menanggapi perkataan Radell. Ia malah dengan santainya mengedarkan pandangan —mengamati ruangan apartemen Radell. Ia kemudian berkomentar, "Lama nggak ke sini. Nggak banyak yang berubah ya..."

"What?" Radell mengerutkan dahi, "Kamu ngomong apa sih, Dri?" tanyanya.

"Apartemen kamu, Radellia," jawab Adrian dengan senyum lebar yang tercetak di wajahnya—senyum yang sangat bisa membius kaum hawa.

"Dri, aku bicara tentang jawaban kamu sama wartawan, bukan mau denger pendapat kamu tentang apartemen aku. Maksud kamu bicara seperti itu apa?" Radell mengulang pertanyaannya.

"Ya nggak ada motif apa-apa. It was spontaneous, kebetulan cuma itu jawaban yang ada di otak aku," Adrian menjelaskan jawabannya.

"You're unbelievable, Adrian. How could you do this? We got a divorce..."

"Divorce, ya, we got a divorce," timpal Adrian, "Terus... kamu pikir orang yang sudah bercerai nggak bisa nikah lagi?" tanyanya—tanpa merasa berdosa sama sekali.

"Ya... bi-sa. But, it's impossible, Adrian. Antara kamu dan aku itu nggak mungkin disatukan kembali. It's hard. I'm more than glad that we ended this relationship a bit earlier. Kita sudah selesai—"

Adrian memajukan tubuhnya dan menahan tubuh Radell. Ia memegang bahu wanita itu dengan kedua tangan dan berkata, "Bagiku, kita belum selesai—"

"Bagiku, sudah," sahut Radell dengan berat hati. You're such a liar, Radellia. Come on! It's not even finished yet.

"Ra..." Adrian menatap mata Radell dengan serius, "dengerin ucapan aku baik-baik. We can fix this. Pemberitaan ini bisa jadi hal positif buat hubungan kita—"

"What?!" Radell terkejut dengan perkataan Adrian, "Hal positif apa yang bisa diambil dari hubungan yang nggak pernah kita inginkan, Adrian? It's ridiculous. I married a man who didn't love me. Now he wants me back? It doesn't make any sense.

"No, Ra. I want you..."

"Want me? For sure?" tanya Radell sambil mendengus.

"Yes!" jawab Adrian dengan percaya diri.

"No, Dri. You didn't want me, kamu terpaksa—"

Adrian frustasi mendengar jawaban Radell, namun tetap menimpali wanita itu, "Okay... okay... awalnya terpaksa, tapi akhirnya nggak, Ra—"

Radell mengembuskan nafas kasar dan membalas, "Nggak terpaksa, tapi menyesal? Ya, kan?"

"Nggak, Ra, bukan itu maksud aku. I didn't even say 'regret'. Let's make it clear..." menarik nafas, "awalnya mungkin aku terpaksa menikah sama kamu karena permintaan orang tua kita. Tapi seperjalanan waktu—ketika aku berusaha kenal kamu, akhirnya aku bisa menerima pernikahan kita. And yes, I wouldn't say that it worked cause it had to end. At least I tried, Ra."

"Well, okay. ButI'm not that good, Dri. Kamu tau sendiri kan kita cerai gara-gara apa? I made a mistake, you hated me, and we ended up like this."

"I made mistake too, Ra. Not only you. We can fix this, Ra. Let's try"

"I can't. Aku nggak mau coba-coba lagi, Dri. Pernikahan itu bukan sebuah permainan. Aku nggak mau jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya."

Prefix-SuffixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang