PS - TUJUH

14.1K 1.5K 31
                                        


____

"Lepasin tangan aku, Dri," kata Radell ketika ia berusaha melepaskan cekalan tangan Adrian pada pergelangan tangannya, "Mau kamu apa sih?"

"Talk... We need to talk about you and Arnaka," timpal Adrian sambil terus berjalan-menyeret Radell dari lobi hotel tempat mereka menginap ke arah lift.

"Like I care?" Radell menjawab Adrian dengan ketus.

"Yes..." kata Adrian sambil terus menarik tangan Radell.

Radell melanjutkan kata-katanya, "Kita sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi, Dri. Ingat itu!"

Adrian tampak tidak peduli dan tidak punya keinginan untuk menanggapi Radell. Ia berusaha masuk ke inti pembicaraan mereka, "Aku nggak suka lihat kamu dengan Naka. Paham?"

Radell yang jengkel dengan jawaban Adrian pun hanya bisa membalas pria itu dengan perlakuan impulsif. Ia mendorong tubuh besar Adrian dengan tangan kirinya agar cekalan tangan Adrian pada tangannya bisa terlepas. Akan tetapi, Adrian terlalu kuat. Bukannya berhasil lepas, ia malah berakhir terpojok dalam lift-berdua dengan Adrian.

Sesaat setelah pintu lift tertutup. Radell yang masih dipenuhi amarah berkata pada Adrian, "Aku nggak paham dengan perlakuan kamu ke aku, Dri. Ini sudah keterlaluan dan di luar batas normal. Kamu harusnya sadar kalau kita SUDAH-TIDAK-ADA-HUBUNGAN-APA-APA-LAGI. Kamu nggak bisa seperti ini. Kamu nggak berhak mengatur hidup aku!"

Adrian mendebat Radell dan melepaskan cekalan tangannya pada tangan Radell , "Aku itu nggak suka lihat kamu dekat-dekat dengan Arnaka, Radellia. Kenapa sih kamu nggak bisa memahami kata-kata aku-"

"Dan kenapa kamu harus peduli sama kehidupan pribadi aku, Adrian Jusuf Hamzari?" tanya Radell sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Ia menatap Adrian yang sedang melonggarkan dasinya.

Adrian menghela nafas panjang, menegakkan badan lalu berkata, "Karena kamu pantas dapat yang lebih baik. Aku tau Arnaka dan bagaimana dia di luar sana. Dia bukan pria yang baik. Come on!"

Radell yang gemas dengan tingkah Adrian yang sedari tadi sibuk melonggarkan dasi, secara tiba-tiba memajukan tubuhnya-lebih dekat-dan menarik dasi yang dikenakan Adrian. "Lalu, apa kamu merasa bahwa diri kamu lebih baik daripada Naka?" Radell bertanya serius.

Adrian menjawab, "Yang bisa menilai aku baik atau tidak adalah orang lain, Ra. Bukan diri aku sendiri."

Radell memundurkan langkahnya karena lift akan segera sampai di lantai kamar tempat Adrian menginap. "Memang. Dan menurut aku, Naka lebih baik dari kamu. Kamu judged orang lain dan kamu nggak berkaca pada diri kamu sendiri."

Adrian melangkahkan kaki lebih dulu saat lift terbuka. "Ikut aku!"ajaknya.

"Aku mau tidur di kamar aku, Dri. I paid my own room-"

"Aku ganti!" jawab Adrian cepat. "Kamu bisa kan berhenti keras kepala dan membantah aku?"

Radell memutar bola matanya malas. "As always. Dictator!"

Adrian berkata dengan congkak, "Kalau kamu masih keras kepala, aku bakal beli hotel ini sekarang juga. And you can't go anywhere. Now, or-"

Radell mengeram dan segera keluar dari lift mengikuti kemauan Adrian. Sialan! Gue kenapa harus nurut sama Adrian sih?

"Jalannya lihat ke depan, Ra, bukan ke bawah. Kalau kamu jatuh, belum tentu aku bisa bantuin kamu. Kali ini kamu waras, kalau kamu jatuh tandanya kamu yang nggak awas," Adrian memperingatkan Radell yang sedari tadi jalan menunduk.

Radell mengangkat kepala dan menimpali Adrian, "Aku juga nggak berharap bantuan kamu, Dri. Terima kasih sudah mengingatkan."

Adrian tersenyum pada Radell saat wajah perempuan itu terlihat sangat tidak ramah. "Lama nggak ketemu, kamu tambah galak, ya?" Lagi-lagi Adrian berkomentar.

Ya. Galak dan nggak ramahnya cuma sama lo!

"Kamu peduli?"

"Kamu pikir aku minta kamu tidur di kamar aku karena apa, Ra?"

Radell menghentikan langkah di tengah koridor dan menjawab, "Lonely. You're alone. You need a friend, Adrian. Apa lagi?"

Adrian mendekat dan mensejajarkan tubuhnya dengan Radell. "Pardon me," kata Adrian. "Coba kamu ulangi kata-kata kamu?"

"Kesepian," Radell mengulang perkataannya.

Adrian yang mendengar perkataan tersebut dari Radell hanya bisa diam dan membatin. Am I?

"Diam? Am I right?" tanya Radell.

...

...

...

"Lebih baik kita segera masuk ke kamar. Bet, you're tired," kata Adrian sembari berlalu.

*

Adrian membuka pintu kamar hotel yang ia inapi dan mempersilakan Radell masuk.

"Kamu bawa baju ganti kan, Ra?" Adrian bertanya.

Radell menjawab Adrian dengan sinis, "Koper aku ketinggalan di lobi. Aku nggak punya daya upaya untuk mengambil koper aku sendiri gara-gara aku harus ikuti semua kemauan kamu."

Adrian berdehem dan berkata dengan suara lemah, "Maaf," membuka koper, "kamu nggak keberatan kan salin pakai baju aku sementara aku ambilkan koper kamu?"

"Adrian mau ambilkan koper seorang Radellia?" Radell tersenyum sinis, "Seperti bukan Adrian yang aku kenal. You usually request to the bellboy, don't you?"

Adrian mengabaikan ucapan Radell dan fokus memilih pakaian yang akan ia pinjamkan pada Radell. "You can wear my t-shirt," kata Adrian sambil menyerahkan kaos putih Champion miliknya.

Radell mengambil kaos milik Adrian lalu duduk di pinggir ranjang lalu berkata, "I'll patiently wait kalau kamu memang berniat untuk ambil koper aku sekarang, Dri."

Adrian menegakkan tubuhnya dan membalas perkataan Radell, "Aku akan ke bawah besok pagi. Tidak malam ini. I'm tired, tentunya kamu juga."

What?

"Aku mandi duluan, Ra." Adrian berjalan menuju kamar mandi kamar hotel meninggalkan Radell yang sedang bingung menatapnya.

Radell mendesah dan berkata, "Unbelievable, Dri."

Sembari menunggu Adrian selesai mandi, Radell pergi ke balkon kamar hotel tempat mereka menginap. Ia duduk di salah satu kursi dan membaca buku puisi favoritnya yang berjudul "She Felt Like Feel Nothing" karya R.H Sin, seorang pengarang berkebangsaan Amerika. R.H Sin terkenal lewat buku puisinya yang berjudul "Whiskey Words & a Shovel I" yang mampu menginpirasi pembacanya untuk senantiasa mencintai diri sendiri dan tidak terjebak dalam patah hati.

Radell cukup serius membaca buku dan tanpa sadar mendapati Adrian berdiri di sampingnya. Pria itu berkata dalam keheningan mereka, "Scene two: Do you even know how beautiful you are? How the stars envy you? Full of a light that shines through darkness. Full of life in the dead of night..."

Radell mengangkat wajahnya dan mendapati Adrian sedang menatap ke arah balkon-bukan dirinya. Terlihat dagu pria itu dipenuhi rambut-rambut halus, namun rambut itu tidak mengurangi ketampanannya sama sekali. Sudah berapa lama Adrian tidak bercukur? pikir Radell. Ia kehilangan fokusnya seketika. Padahal ia bermaksud untuk mengomentari perkataan Adrian-yang mengutip isi buku yang sedang ia baca.

Adrian melanjutkan kata-katanya, "Scene five: She lives with it, your secret, your lies. The things you've kept hidden. She knows every hiding place and yet she says nothing. She sits silently watching you play losing game with her heart..."

Radell beranjak dari duduknya dan menyambung kata-kata Adrian, "One day she'll let you know what she knows. And that'll be that day that she's ready to let go." Menghela nafas, "I hate those lines."

Adrian memandangi wajah Radell yang sedang fokus menatap langit malam Singapura. Ia menimpali Radell, "Me too, Ra."

***

Prefix-SuffixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang