Write a Post on notetoadamandeve.wordpress.com
Hi, Eve.
Rasanya udah lama aku nggak cerita.
Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Mungkin dari kata "hancur". Ya, pertahananku hancur. Pertahanan yang aku bangun bertahun-tahun lamanya akhirnya roboh juga. Aku nggak tahan sama sikapnya, Eve. It hurt me to the extent I didn't fear losing him. Perempuan mana yang betah diperlakukan seperti itu? Silent treatment? Gaslighting? He didn't even care about my feeling. We lived in the same roof, but we didn't even talk. Hubungan apa yang sebenarnya kami jalani? I had no idea.
I was his backup plan. Really? After she turned his life down, he chased me. Tell me, it was a joke, Eve?
Sejak pertemuan kami di acaranya Raya, aku merasa hidupku kembali nggak tenang, padahal aku sudah jalani sesi terapi dengan profesional selama berbulan-bulan untuk berdamai dengan semuanya.
Ain't gonna lie, satu sisi hatiku berbunga-bunga karena dipertemukan lagi. Namun, sisi yang lain cemas. Tiap malam, sekelebat bayangan masa lalu itu datang menghantuiku, tapi coba kutahan. Bahkan, aku menahan diri untuk nggak cerita ke Vio, sahabatku.
Kenapa? Karena Vio selalu bilang ke aku kalau hubungan kami terlalu toksik untuk dilanjutkan. Kalau aku nyerah sama dia, berarti aku nggak menghargai diriku sendiri. Ibarat membuka luka yang sudah mengering—yang berusaha keras untuk kusembuhkan.
Aku memikirkan ucapan Vio itu hampir tiap hari sampai aku terkena gangguan tidur—insomnia—yang cukup parah. Psikiaterku bahkan meresepkan obat tidur dan anti cemas agar aku lebih tenang.
Aku seperti mengalami ketakutan untuk melupakan dia—kehilangan memori indah bersamanya—padahal dia sudah mencabik-cabik hatiku sebegitunya. Dia bahkan menghancurkan kepercayaan diriku. Apakah aku bodoh, Eve? Aku bahkan nggak tahu alasan kenapa aku jatuh cinta dengan pria sepertinya.
Hari ini, ketika melihat wajahnya di depan apartemenku—entah bagaimana ceritanya—memori lalu berputar dan mengingatkanku dengan ucapan-ucapan menyakitkan yang terlontar dari mulutnya. Aku benci perasaan itu, perasaan direndahkan dan tidak dihargai.
Secinta apapun aku, jika diperlakukan semena-mena, maka aku memilih mundur. Aku nggak menafikkan kalau rasa itu masih ada, tetapi tiga perempat jiwaku menolak hadirnya. Rasa cintaku sama besar dengan ketakutan menjalin hubungan dengannya.
Aku hanya takut kecewa ketika meletakkan harapan dan kepercayaan lagi padanya. Mungkin, kisah kita cukup sampai di sini. Selesai.
I have to bury all those sweet memories. Kali ini aku harus berani dan tegas dengan diriku jika tak ingin hancur lagi. Terlalu sakit.
Sikap, ucapan, dan ketidakmampuannya menghargaiku seharusnya membuatku sadar kalau aku nggak sepenting itu. Namun, aku cukup bebal. I neglected all those red flags in the name of love. Bodohnya aku, aku selalu percaya kalau orang bisa berubah, padahal berubah itu kata yang paling berat penerapannya. Why? Because we can't change people. Orang akan berubah jika dia ingin atau ketika menemukan orang yang tepat—benar-benar dicintainya.
Kasus kami? I didn't see that.
Aku pernah membaca suatu kutipan, "Perempuan tidak bisa mengubah laki-laki yang dicintainya. Laki-laki akan berubah jika mencintai perempuannya". Kutipan itu terasa nyata dan mengerikan dalam satu waktu.
Dia berhasil memanipulasiku.
He said he loved me, but where was he when I needed him most?
Aku sebenarnya bukan perempuan yang gampang menyerah, tetapi jika itu satu-satunya pilihan, I will do it. He hurt me to the extent I wanna let him go.

KAMU SEDANG MEMBACA
Prefix-Suffix
RomantikFaradellia Puti Sasongko, seorang model, publik figur dan internet personality harus menerima pil pahit hubungannya kandas di tengah jalan. Radell, nama panggilan perempuan itu benar-benar tidak menyangka kalau pria yang sangat ia cintai, Adrian Jus...