Buku The Girl on The Train punya Wonwoo ku letakkan di atas meja, berdampingan dengan laptop yang ku biarkan menyala untuk memutar lagu kesukaannku di platform musik yang berhubungan dengan bluetooth speaker. Kamarku sekarang penuh dengan suara Wonbin, vokalis band Wetter yang khas sekali dan cocok dengan warna musik Wetter yang pop rock. Sesekali aku mengecek ponsel, melihat apakah Wonwoo membalas pesanku atau tidak.
Wonwoo
Apa aku bisa mengambilnya sekarang di rumahmu?
Aku memekik kegirangan saat pesan itu masuk, apalagi Wonwoo langsung ingin mengambil buku yang sudah selesai ku baca seakan tidak ada hari esok.
Yi Hyun
Bisa. Bisa banget!
~~~
Wonwoo berdiri, memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana kain yang ia kenakan. Seperti biasa, ia tampak keren, selalu tampan dan mempesona dibandingkan aku yang hanya mengenakan piyama plus sweater merah muda agar tidak terlihat begitu 'rumahan'. Pria itu menatapku dengan dua matanya yang tajam, yang sudah menghunus dadaku daritadi.
"Mau masuk ke dalam?" Tanyaku sambil membuka sedikir pagar rumah.
"Nggak. Aku harus jemput adikku di akademi."
Mataku melebar, "kau punya adik?"
Ia menganggukkan kepala lalu menjulurkan tangannya di hadapanku. "Mana bukunya?"
"T-tunggu... adikmu perempuan atau laki-laki? Masih sekolah? Kau berapa bersaudara?" Cecarku sembari memeluk buku milik Wonwoo, enggan mengembalikannya hingga pria itu menghela napas panjang. "Yi Hyun..."
"Aku ingin tahu." Kataku gemas.
"Laki-laki. Aku hanya punya satu adik." Jawabnya malas.
Selama beberapa saat Wonwoo terdiam sampai tangannya yang terjulur jatuh ke samping badannya. Ia membasahi bibir, menatapku lama sampai aku kikuk dibuatnya.
"B-bagaimana?" Tanyaku lagi.
"Masih aku pikirkan." Jawabnya kemudian. Lalu tangannya itu kembali terjulur ke hadapanku. "Yi Hyun..."
Aku mengerucutkan bibir, menyerahkan buku itu pada Wonwoo. "Aku harap kau bisa ikut."
"Memangnya temanmu suka kalau aku ikut?"
Segera ku tatap Wonwoo yang menaikkan salah satu alisnya. Tubuhnya sedikit menunduk, menyamakan tinggiku yang tidak semampai. Jujur saja, asupan oksigen di sekitarku terasa menipis, aku sedikit menunduk karena takut terhisap matanya yang tajam itu.
"Kau tahu, sendiri, kan? Dua sahabatmu itu tidak suka kalau aku ada di sekitarmu. Bagaimana bisa aku ikut ke Busan kalau kehadiranku tidak diharapkan?"
"Aku berharap." Ucapku cepat. Kedua tanganku terpaut, saling memijit jari yang terasa dingin tiba-tiba.
Perlahan aku mengangkat muka, menatap Wonwoo yang masih menatapku diam. Tidak ada tatapan tajam sekarang, hanya wajah datar yang tidak bisa ku terka maksudnya. "A-aku... aku berharap kau ikut, Wonwoo."
"Kau." Wonwoo mendecakkan lidah. "Selain kau."
"Aku yakin Jun, Jihoon, Doyoung juga mengharapkan hal yang sama. Oh iya, Soonyoung! Soonyoung juga mau kau ikut!!"
Wonwoo menghela napas panjang. Ia kelihatan tidak percaya dengan apa yang ku katakan dan entah mendapat keberanian dari mana, aku meraih pergelangan tangannya yang menggenggam buku The Girl on The Train. Ia terkesiap, hampir menepis tanganku.
"Kalau kau memang mau ikut, mengapa tidak ikut saja? Kau, kan, pernah bilang kalau kita tidak perlu mengikuti ekspetasi orang-orang. Jangan sampai kau membuang kesempatan untuk berlibur dengan sahabat-sahabatmu, Wonwoo. Semester depan kita akan lebih sibuk lagi."
Genggamanku melemah, membiarkan Wonwoo menarik tangannya dengan pelan. Pria itu sempat tertegun, tapi ia kembali bersikap normal--menatapku tajam dan meluruskan punggungnya. Ia berdehem. "Nanti ku pikirkan." Katanya lalu berbalik, melangkahkan kaki menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari rumahku.
"Terima kasih, bukunya!!" Pekikku padanya yang masuk ke dalam mobil. Ia sempat mengangkat tangan, melambai padaku.
"Hati-hati di jalan!" Lagi, aku memekik, ikut melambaikan tangan sampai mobil Wonwoo bergerak menghilang dari komplek perumahanku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
~~~
"Kau akan pergi ke Busan dengan adik sepupunya Moon Taeil, ya, Yi Hyun?" Ayah bertanya saat aku membantunya membersihkan kebun sore-sore.
Aku bahkan tidak tahu kalau nama Kakak sepupunya Jun adalah Moon Taeil. Tapi aku tahu marga Jun, jadi tidak sulit menerka siapa yang dimaksud Ayah. Sembari mengemburkan tanah pohon cabai, aku pun menganggukkan kepala. "Iya, Ayah."
"Cuma berdua?"
"Ayahhh..." aku mendelik. "Soonyoung dan Yerin juga ikut! Ramai, kok. Ada 7 orang termasuk aku."
Ayahku terkekeh. "Berdua juga tidak apa-apa."
"Ayah!"
Kali ini Ayah sudah tertawa geli sedangkan aku mengerucutkan bibir, menghentikan kegiatan sambil memperhatikan Ayah yang jahilnya datang. Heran mengapa orang seperti Ayah bisa bekerja di bidang yang super serius. Aku bahkan tidak bisa membayangkan sosoknya di kantor, apalagi aku tidak pernah ke sana karena Ayah tidak suka keluarganya menghampirinya selama bekerja. Kata Ayah, pekerjaan dan urusan rumah tidak boleh disatukan. Memang benar, sih.
"Ke mana anak itu? Kenapa tidak datang lagi ke rumah?" Setelah puas tertawa, Ayah kembali bertanya. Ia tampak penasaran sekali dengan Jun.
"Sibuk, mungkin."
"Sesekali ajak ke rumah! Nanti Ayah bakar daging sapi untuknya."
"Kenapa Ayah semangat sekali, sih? Bakar daging sapi tanpanya juga aku senang." Kataku merangut dan Ayah terkekeh kembali.
"Soalnya Ayah senang melihat Jun, apalagi Kakaknya itu yah... hmm... favorit Ayah di kantor."
"Dia memang tampan, sih."
"Makanya kau ajak ke rumah."
Aku mendengus. "Nggak, ah. Aku mau ajak cowok lain yang lebih keren."
"Memangnya ada?"
"Ada!" Aku berseru. "Ada, Ayah!! Keren, tampan, dan cerdas!"