Aku tersenyum penuh kemenangan saat Wonwoo menghampiriku yang tengah duduk bersama Yerin dan Soonyoung untuk mengerjakan tugas Mr. Han. Wajahnya datar, agak masam karena buku yang ia inginkan sudah habis. Hanya tersisa satu, yakni buku yang ku pegang terlebih dahulu dari rak. Tanpa menyapa ia langsung saja duduk di sampingku, mengejutkan Soonyoung dan Yerin yang tidak tahu apa-apa. Kedua manusia itu saling bertatapan lalu mendelik padaku meminta penjelasan.
"Kalian sudah sampai mana?" Tanya Wonwoo tanpa basa-basi.
"Baru... bagi-bagi tugas. Aku ngerjain nomor 3, Soonyoung nomor 5, Ye--"
"Aku ngerjain dari awal." Wonwoo memotong penjelasanku.
"Terserah kau saja." Kataku sambil mengedikkan bahu. Kalau Wonwoo bukan orang yang ku suka, mungkin aku akan kesal dengannya dan menendangnya dari kursi sampingku dalam hitung detik. Sayangnya aku suka dengan pria itu. Malah merasa kesempatan ini diciptakan Tuhan agar kami bisa menjadi lebih dekat.
Setelah itu kami pun mengerjakan tugas dalam keheningan. Sesekali Soonyoung bertanya, Yerin kadang kesal dengan pertanyaan Soonyoung dan aku yang selalu mencari kesempatan untuk menatap siluet Wonwoo dari samping. Aku tidak tahu kalau pria itu ternyata lebih tampan apabila dilihat dari dekat. Anehnya aku merasa interaksiku dengan Wonwoo selama beberapa tahun ini tidak ada sama sekali. Aku tidak pernah satu kelompok tugas dengannya, tidak pernah menjadi rivalnya dalam diskusi kelas dan aku sering lupa kehadirannya di kelas karena aku tipikal orang yang cukup cuek, ditambah Wonwoo adalah orang yang pendiam.
"Sudah sampai mana?" Wonwoo mendelik padaku.
Eh, Wonwoo bertanya padaku?
Yerin menendang kakiku pelan, gadis itu memberi kode agar aku berhenti menatap Wonwoo seperti orang bodoh. Aku pun menendangnya balik.
"Sedikit lagi. Kau bagaimana?"
"Berhenti menatapku dan kerjakan cepat." Titah Wonwoo kembali fokus ke bukunya. Aku menelan ludah. Tidak. Aku tidak kesal atau takut. Aku hanya kagum kalau pria itu bisa ngomong juga kepadaku.
Soonyoung terkikik di kursinya. Ia berhadapan dengan Wonwoo. Aku pun menghujaninya dengan tatapan tajam, dan ternyata Wonwoo pun melakukan hal yang sama, membuat pria itu menggerakkan tangan di depan bibir seperti tengah menutup resleting khayalan di mulutnya. Yerin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, ia tampak overwhelmed dengan grup kelompok yang tiba-tiba tercipta ini.
Lalu titah Wonwoo aku laksanakan segera. Tidak sulit karena tugasnya bukan tugas yang membutuhkan konsentrasi tinggi seperti membuat karya tulis, hanya perlu menjawab beberapa pertanyaan mengenai dunia Public Relation, sesuai dengan jurusan perkuliahanku.
Tiba-tiba suara grasak grusuk menggangguku. Wonwoo, pria yang ku suka itu sedang memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Aku memandangnya penuh tanya, begitu pula Soonyoung dan Yerin.
"Sudah selesai?"
"Sudah." Jawab Wonwoo sambil mengenakan tas selempangnya.
"Tunggu." Kataku sambil menulis jawaban nomor terakhir. Wonwoo tampak tidak peduli, ia berdiri dari kursi siap beranjak sebelum aku menahan tangannya.
"Sedikit lagi."
Dengan cekatan aku menulis tapi begitu selesai tanganku dihentak Wonwoo dengan agak kasar sampai terkena kursi. Aku segera meringis, rasanya seperti tersengat listrik. Sakit sekali.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aku duluan." Kata Wonwoo dan pergi begitu saja tanpa mengucap maaf.
Gila. Tanganku sakit sekali. Aku hanya bisa memandang Wonwoo dari ekor mata lalu fokus pada tanganku yang mati rasa selama beberapa saat.
"Kau tidak apa-apa??" Yerin sudah berjongkok di sampingku, ia meraih tanganku dan memijitnya pelan. "Sakit sekali?"
"Sedikit."
"Tadi bunyinya kencang banget, loh, Yi Hyun. Gila. Kasar banget!" Soonyoung berseru di bangkunya, menatapku sambil meringis, mungkin ia membayangkan rasa sakit yang ku alami sekarang.
Ya, memang sakit, sih.
Yerin terlihat dongkol. Ia misuh-misuh sambil memijit tanganku. Meringis saat aku merasa agak kesakitan. Ah... yang begini sih akan baikan sebentar lagi. Yerin hanya sedikit overact karena tidak suka dengan Wonwoo. Aku juga sih yang salah sudah memegang tangannya tanpa izin. Mungkin lain kali aku harus lebih berhati-hati.
"Manusia ga punya hati!" Ucap Yerin kesal. Aku tertawa kecil melihatnya sampai gadis itu melotot padaku.
"Yi Hyun, kepalamu perlu diperiksa, deh."
"Dia beneran sudah gila!"
~~~
Lagu berkumandang dengan volume besar di loudspeaker-ku, berlomba dengan loudspeaker Ayah di ruang keluarga yang tengah memutar lagu Trot kesukaannya. Aku tidak peduli kalau rumah kami sekarang terdengar seperti toko musik yang memutar lagu apa pun untuk menarik pembeli. Tidak peduli dengan misuh-misuh Ibuku di dapur soal anak dan suaminya yang tidak pernah tenang di akhir pekan.
"Yi Hyun!! Kecilkan lagumu!" Ibu memekik dan aku tidak memperdulikannya. Malah aku ikutan bernyanyi, mengikuti suara vokalis Band Wetter menyanyikan lagu Who.
"Hwang Yi Hyun!!!"
"My body my music~ my tax my loving~ just fu--Yahhh Ibuuu..." aku merangut saat musikku dihentikan Ibu. Ia juga mematikan loudspeaker-ku meraihnya dalam pelukannya. "Ayo bantu Ibu masak!"
"Aku lagi nugas, Ibu."
"Nugas atau nyanyi!?" Kedua mata Ibu memelototiku tajam.
"Nugas sambil nyanyi, Bu. Katanya kalau kita nugas sambil mendengarkan musik, pelajaran akan mudah diserap. Aku akan mak--"
"Nggak pakai lagu rock juga, kan!?"
Aku meringis. Sebenarnya harus pakai musik klasik, sih. Harapannya Ibu nggak tahu, tapi ternyata ia meragukan pernyataanku juga karena musik yang ku putar berupa musik alternative pop rock yang tidak mungkin bikin aku fokus dengan pelajaran. Ya, daritadi aku memang lebih fokus nyanyi daripada mengerjakan tugas. Tapi, siapa sih yang mau nugas di akhir pekan?
"Ayo cepat! Ambilkan Ibu kentang sama tomat di kebun!" Seru Ibu lalu keluar dari kamar.
Dengan malas aku mengekorinya dari belakang. Kalau Ibu ke dapur, aku malah melanjutkan langkah keluar rumah, pergi ke kebun yang berada tidak jauh dari bangunan utama.
Ya, keluargaku punya rumah yang besar, tidak jauh dari Kota Seoul. Selain kebun dan bangunan tingkat dua yang menjadi bangunan utama, aku juga punya tempat barbeque-an di taman belakang, juga kolam ikan di halaman depan. Kalau bisa dibilang, aku ini anak sultan. Tapi yang tahu hanya Yerin dan Soonyoung karena mereka sudah mengenalku dari SMP. Sesuai, sih, dengan pekerjaan Ayahku yang tidak bisa ku sebut secara gamblang di sini. Pokoknya yang kaya Ayahku, kalau aku? Belum kaya, sih, tapi lumayan bisa menikmati kemegahan hidup dari kerja keras beliau.
Setelah mengambil beberapa kentang dan tomat di kebun, aku kembali ke rumah, menaruh sayur itu di dapur dan masuk ke kamar sebelum Ibu menyuruhku ini-itu. Aku memang paling malas memasak, berbeda dengan Kakakku yang sekarang tengah melanjutkan kuliah di Negeri Entah Berantah.
Di kamar, karena loudspeaker-ku ditahan, aku pun bermain ponsel. Melihat timeline media sosial yang penuh dengan postingan Soonyoung yang tergila-gila akan harimau. Hari ini pria itu sepertinya habis berbelanja. Baju, topi sampai tasnya harimau semua. Tampak baru karena aku belum pernah melihatnya.
Aku ingin memberi komentar di postingannya sampai sebuah pesan Kakaotalk masuk.
Jeon Wonwoo
Tanganmu bagaimana?
Kedua mataku melebar. Cepat-cepat aku membuka pesan itu, mencermati foto profil, menyamakan kontaknya dengan yang ada di grup kelas serta melihat nomor yang tertera di sana. Benar Jeon Wonwoo.
Woah! Keberuntungan apa yang akan menimpaku hari ini!?