Aku tidak bisa melepas pandanganku dari Wonwoo yang tengah duduk memperbaiki catatannya di sampingku. Tidak lama lagi kami akan bertemu minggu UAS, cukup mengejutkan karena rasanya baru kemarin aku melihat nilai UTS ku di website kampus. Seperti biasa, Wonwoo selalu terlihat tampan meski hari ini ia hanya mengenakan kaos hitam. Matanya yang tajam pun menyoroti catatannya, ia fokus sekali sampai aku sangsi pria itu menyadari kehadiranku di sampingnya.
"Hm... kau tidak mau menyerah?" Tanya Wonwoo tiba-tiba. Ia tidak mengalihkan tatapannya dari buku yang ia catat, membuat jantungku berdegup kencang karena sikapnya yang santai.
"N-nggak... ya... nggak."
Wonwoo menghentikan kegiatannya. Ia menatapku intens, memperhatikanku dari bawah hingga kepala. "Kenapa tidak menyerah saja? Kau, kan, tidak ingin mendekati pria yang membuat sahabatmu sedih."
"Aku harus tahu alasannya baru bisa memutuskan."
"Ck. Berarti perasaan bisa kau ubah dengan mudah, ya." Kata Wonwoo sambil menyeringai. Aku menggeleng, menahannya yang hampir fokus kembali dengan catatannya dan ia menepis tanganku cepat.
"Nggak. Susah." Kataku sembari memijit telapak tangan. Dadaku sesak sebenarnya, ingin memekik kalau perasaanku padanya tidak akan berubah dan kalau pun aku berhenti mendekatinya, perasaan ini pasti berusaha ku tahan sampai diriku bisa move on, meski itu harus memakan waktu lama.
"Yi Hyun." Panggil Wonwoo, kedua matanya masih menyorotiku dengan tajam. Takut-takut aku membalas tatapannya.
"Kalau kau tidak serius dengan perasaanmu, berhentilah. Lagipula aku sudah pernah bilang kalau aku tidak akan pernah menyukaimu."
"Aku serius, Wonwoo. Aku sudah janji akan membuatmu menyukaiku, kan?"
"Oh ya? Terus hanya karena Yerin kau katanya ingin menyerah."
"N-nggak."
"Kalau begitu berhenti memikirkan hal yang tidak penting. Sekali-kali kau harus mementingkan dirimu, Yi Hyun. Kau tidak harus memenuhi ekspetasi orang lain. Kau adalah kau. Bukan mereka atau Yerin, sahabatmu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
~~~
Ku pandang Soonyoung dan Yerin bergantian. Kedua manusia itu tampak kikuk saat aku menghampiri mereka di kantin kampus. Membuatku ikut merasa kikuk padahal mereka sahabatku, bukan orang yang baru ku kenal hari ini atau kemarin. Rasanya ingin beranjak, tapi kalau begitu hubungan kami tidak akan membaik jadi ku paksa saja diriku duduk berhadapan dengan Yerin sedangkan Soonyoung di sampingku, tiba-tiba menyantap makan siangnya dengan lahap.
"Yerin." Panggilku sambil menunduk. Yerin tidak menjawab, tapi aku yakin gadis itu sedang melirikku. "Aku nggak tahu apa masalahmu dengan Wonwoo, tapi... aku tidak berhenti mendekatinya. Aku... aku menyukai Wonwoo."
Lagi-lagi Yerin tidak menjawab dan ku beranikan diri menatapnya yang tengah fokus dengan makanan di atas tray. Malah Soonyoung yang kini memberi perhatian kepadaku sepenuhnya.
"Apakah... apakah kita masih menjadi sahabat?"
Yerin mendecakkan lidah. "Memangnya aku anak kecil yang dengan mudahnya memutuskan persahabatan karena alasan seperti ini?"
Pertanyaan retoris itu membuatku tersenyum kecil. "Yerinnnnnn...." panggilku manja.
"Yaa! Kau lebay sekali, sih! Aku memang membenci pria es itu tapi aku nggak sampai membencimu karena menyukainya!"
"Terus kenapa kau menghindar terus!?"
"Aku butuh waktu." Katanya sambil berdehem. Ia menggaruk tengkuknya, memaksa tersenyum kepadaku. "Pokoknya... sekarang aku baik-baik saja."
"Kau serius?"
Yerin mengangguk. "Kau tidak perlu mengkhawatirkanku, Yi Hyun. Fokuslah dengan dirimu sendiri."
"Nggak bisa." Kilahku dan Yerin mendelik. Sebelum ia berkomentar tajam, aku segera berkata. "Kau sahabatku! Aku nggak mungkin egois memikirkan diri sendiri!"
Tiba-tiba suara sumpit terjatuh terdengar dari telingaku. Asal suaranya dari Soonyoung. Pria itu menutup mulutnya, menatapku dan Yerin bergantian. "M-maaf... aku kaget." Ucapnya lalu membungkuk meraih sumpit yang jatuh dan membawanya ke penjaga kantin sekalian meminta sumpit baru.
"Yi Hyun." Panggil Yerin lirih. Ia meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat. "Jangan khawatir, oke? Aku tidak apa-apa."
"Serius? Kau tidak menghindariku lagi, kan? Jujur... aku takut kau tidak mau berteman denganku lagi, Yerin."
"Nggak." Ucap Yerin sambil menggelengkan kepala. Ia tersenyum tipis, menghela napas panjang lalu melanjutkan apa yang ingin ia katakan kepadaku. "Aku mungkin terlalu membenci Wonwoo sampai tidak memikirkan perasaanmu sendiri. Aku minta maaf sudah membuatmu bimbang dan kalang kabut. Tapi, masalahku dan Wonwoo bukan masalahmu... jadi, kau tidak perlu khawatir."
"Tapi Wonwoo tidak menyakitimu, kan!?"
Yerin tertawa kecil. "Tidak."
"Benar?"
"Sedikit." Katanya menahan tawa. "Aku harus magang sambil kuliah karena matkul Filsafat Komunikasi sialan itu."
"Oh iya... maaf, ya."
"Kenapa kau harus minta maaf!?"
"Soalnya catatanku hilang di bawah lemari. Aku tel--"
"Yi Hyun... aku tahu catatan itu terselip di buku Wonwoo. Kau tidak perlu menutupi kenyataan itu." Potong Yerin sambil menyeringai. "Tapi aku tidak bisa menyalahkannya sepenuhnya. Ini tetap salahku yang tidak memperhatikan dosen dengan serius."
"Yerin..."
"Santai. Aku tahu, aku salah. Pokoknya setelah liburan kau harus mengajariku, ya, Yi Hyun?"
"Siap! Kau tinggal di rumahku setiap hari pun aku tidak masalah!"
Yerin tertawa. "Maaf, Yi Hyun... aku terlalu egois kepadamu."
"Nggak! Siapa bilang!?"
"Ada... manusia esmu."
"Hah?"
Dan Yerin hanya bisa mengedikkan bahu. Ia mengedipkan salah satu matanya kepadaku dan melanjutkan makan siang tanpa menjelaskan apa maksudnya.