44

1.2K 170 9
                                    

Soonyoung menyumpitkan daging ke dalam mulutnya saat aku bercerita dengan suara kecil tentang kejadian di malam Wonwoo mencium bibirku. Wajahnya polos sekali, mengangguk-angguk paham, tapi aku yakin ia tengah fokus mengunyah daging. Berbeda dengan Yerin, ia bahkan tidak bisa makan. Sumpitnya terangkat di udara, mendengarkanku dengan khidmat.

"Terus terus? Dia pergi begitu saja?"

"Nggak." Kataku sambil nyengir. "Dia janji bakal nungguin aku balik dari Jerman."

"Yakin? Janji cowok nggak bisa dipegang, loh." Dengan sinis Yerin berkata.

"Nggak semua, ya." Kali ini Soonyoung berseru tidak terima.

"Yah... pokoknya aku dan dia sudah berjanji."

Yerin mendengus. Sumpit yang daritadi dipegangnya akhirnya begerak mengambil japchae. Ia memakannya dengan kedua mata yang menerkamku tajam. "Kau polos sekali, sih!!"

"Terpantau bucin." Balas Soonyoung.

Aku mengedikkan bahu, tidak peduli dengan sambatan kedua sahabatku itu. Aku percaya dengan Wonwoo. Apalagi kalau melihat sifat pria itu. Bayangkan saja aku berhasil menembus dinding hatinya selama berbulan-bulan! Itu pula harus membuang rasa malu!

"Terus kau beneran cuti semester, nih?" Kali ini Soonyoung bertanya.

"Ya... aku sudah punya suratnya. Mau lihat?"

"Ga penting." Yerin memutar kedua bola matanya. "Yang penting adalah kami kesal kau beneran harus ke Jerman. Tapi... yah... mau bagaimana lagi?"

"Aku dengar kemarin komplotan itu hampir membuntuti mobil Ayahku."

"Hah?"

Napasku terhela panjang. "Iya. Sudah separah itu."

Perlahan tangan Yerin meraih tanganku. Ia menggenggamnya erat. Diikuti Soonyoung yang menepuk-nepuk puncak kepalaku. Aku tahu, mereka bersimpati dengan keadaanku sekarang.

"Bukan hanya Wonwoo yang bisa menunggumu. Kami juga bisa." Soonyoung berkelakar dan aku tertawa karenanya.

"Soonyoung benar. Lihat? Siapa yang selama ini selalu setia denganmu?"

Tawaku makin kencang dan tanpa basa-basi aku memeluk mereka dengan erat. Tidak peduli dengan Soonyoung yang merasa tercekik padahal masih mengunyah, begitu pula dengan Yerin. Aku pasti sangat merindukan mereka.

~~~

"Yi Hyun!!"

Aku baru saja ingin menutup pagar saat seseorang memanggil namaku dengan lantang. Kedua mataku menajam, mengarah pada sumber suara. Tapi aku tidak melihat siapa pun. Perasaan, mobil Soonyoung sudah melaju dari depan rumah. Dua sahabatku itu sudah pulang dari acara perpisahanku.

"Yi Hyun!"

Kali ini jantungku berdegup kencang. Suara itu tidak asing di telinga dan aku buru-buru melangkah masuk ke dalam pekarangan rumah. Sayangnya sebelum pagar tertutup, sebuah tangan menahannya.

"Yaa!! Lepasin!!"

"Yi Hyun!! Yi Hyun!! Ini aku Kang Daniel!!"

"IYA LEPASIN!!!"

Napasku memburu dan rasa takut itu menyelimutiku. Tangan Daniel kuat sekali ia mendorong pagar rumahku dengan sekuat tenaga dan air mataku luruh.

"AYAH!!! IBU!!! TOLONG!!!"

"Yaa!! Yi Hyun!!"

"LEPASIN BODOH!!! TOLONGG!!!"

"Yi Hyun!!"

"TOL--"

Mulutku terbekap saat pagar rumah terbuka dengan lebar. Bunyi besi beradu dengan dinding pagar dan aku berharap kedua orangtuaku bisa mendengarnya. Aku pun tidak diam meski sudah dibekap, berusaha aku meronta melepas diri dari sergapan Daniel yang memelukku dari belakang dan menyeretku keluar rumah. Saat aku melihat seberkas harapan dari pintu rumah yang terbuka, tiba-tiba semuanya gelap.

~~~

"Yaa! Kau berhasil! Bagus! Bagus!"

"Sekarang sisa mengurusi si Tua bangka itu!"

"Dia harus menghancurkan file itu sebelum sidang pertama dimulai!"

Suara-suara itu membuatku terbangun. Di sekitar hidungku tercium bau alkohol yang menyengat, tidak akan heran kalau misalnya kesadaranku kembali hilang karena aku yakin itu sisa bau obat bius yang tersebar di penutup kepala yang membuatku tidak bisa melihat apa-apa sekarang.

Air mataku kembali luruh, bersamaan dengan degup jantung yang abnormal. Rasa takut itu makin membesar dan aku tidak berani melakukan pergerakan apa pun. Apalagi mulutku disekap menggunakan lakban sedangkan kaki dan tanganku terikat tali yang sangat kuat. Aku takut sekali.

"Yaa! Daniel! Kenapa kau harus buat keributan, sih!?"

Suara pria itu berlomba dengan bunyi deru mobil, aku yakin kami masih di jalan entah menuju ke mana. Dan tidak lama, Daniel, manusia sialan itu menjawab.

"Dia tahu kita siapa, Kak! Aku harus mendorong pagar rumah karena ia mengelak!"

"Iya memang. Ayahnya, kan, sudah mencoba menggunakan polisi untuk menangkap kita."

"Terus kita tidak akan dikejar polisi, kan!?"

"Santai." Pria itu terkekeh dengan suara menyebalkan. Aku bisa membayangkan orang itu pasti memiliki badan yang besar, memiliki tato dengan tampilan garang bak preman kelas kakap. "Kita hanya meminjam anaknya saja, terus kita lepaskan setelah file itu hilang."

"Bagaimana kalau tidak?"

"Ya, dia mati."

Aku terkesiap. Air mataku makin banyak dan aku terisak dibalik lakban yang menyebalkan.

"Tapi kau tidak perlu takut. Polisi-polisi itu tidak bisa mengejar kita."

"K-kenapa?" Tanya Daniel dengan suara yang terdengar ragu.

"Busan wilayah kita. Kau tahu, kan, berapa banyak polisi yang bekerjasama dengan kita?"

Gila. Dadaku makin sesak mendengarnya. Ternyata aku akan dibawa ke Busan. Tapi yang lebih mengejutkan adalah fakta yang disebutkan orang yang ku bayangkan seperti preman itu.

"Kenapa kepolisian Busan bisa mengamankan kita?" Kali ini bukan suara Daniel atau pun pria preman itu, entah siapa tapi suaranya lebih cempreng.

"Yaa! Kau pikir mereka tidak butuh duit tambahan!? Kita selalu menyetor ke kepolisan setiap bulan, kau tahu!? Kalau bangunan kita digusur, uang tambahan mereka ke mana? Ya hilang, tolol!"

"Berarti kita beneran aman, ya?" Tanya suara cempreng itu lagi dengan sedikit kekehan di akhir.

"Aman, bodoh!! Cepat bawa mobilnya! Ngebut!"

Sebelum aku puas menangis, lagi-lagi mataku terasa berat. Aroma obat bius terasa lebih kencang dan pandanganku kembali mengabur.

Ya Tuhan... selamatkan aku!


End of Yi Hyun's POV



P.s

☹☹

Catch You Until I Can [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang