Day 9

32 7 3
                                    

Tema: Buat tema dengan setting Old West
Ok, buat "karya" mungkin maksudnya ya.

Genre: historical fanfiction (lol apa ini??)

****

Pa baru pulang dari kota. Beliau berkata soal orang Indian yang tiba-tiba masuk ke toko tempat orang-orang berkumpul dan bicara dengan isyarat. Pa masih ingat kata-katanya.

Di setiap tujuh kali musim dingin, akan ada satu musim dingin yang dahsyat. Dan setiap tiga kali musim dingin yang dahsyat, akan ada satu musim dingin yang paling berat. Tahun ini musim dingin ke-21 dan akan terjadi selama tujuh bulan.

"Kita tidak akan bisa melalui musim dingin di sini."

Satu ruangan menoleh.

"Kita akan mulai bersiap pindah ke kota, hari ini juga." Pa menunjuk ke arah pintu yang membingkai pemandangan padang rumput. "Laura, ingat soal sarang celurut yang kita lihat waktu itu? Itu sarang celurut paling tebal yang pernah kulihat seumur-umur. Bukan pertanda baik."

"Badai kemarin juga ... padahal, sekarang masih Oktober," gumam Carrie dengan wajah pucat.

"Tidak ada pilihan lain," tegas Pa. "Rumah ini belum rampung. Badai kemarin saja merobek kertas tar yang baru dipasang. Jarak dari sini ke tetangga terdekat bermil-mil. Andai ada yang di luar ketika badai tiba, jarak pandang menjadi pendek dan rawan hilang di tengah padang rumput."

Hening lagi.

"Mula-mula, kita harus memindahkan jerami." Pa sudah berlalu ke kandang kuda. Laura mengikutinya. Ia membantu Pa memadatkan jerami di gerobak. Setelah itu, Pa pergi ke kota, sendirian.

Laura tidak langsung kembali ke rumah. Ia memandang ke arah Rawa Besar di kejauhan. Menjelang musim dingin, bulan-bulan ini, mestinya, gerombolan burung yang bermigrasi akan berkumpul untuk bermalam di sekitar rawa dan danau. Namun, rombongan itu datang lebih cepat dari yang diduga. Saat Pa mengambil senapannya untuk berburu pada pagi harinya, gerombolan burung sudah menghilang.

Mereka bergegas menghindari sesuatu. Sama seperti insting celurut, burung pun mengetahui soal musim dingin yang akan tiba.

"Andai aku bisa terbang," gumam Laura. "Aku tidak akan mau tinggal di kota."

Sekian lama hidup berpindah-pindah dengan gerobak, Laura merasa asing dengan kehidupan kota. Yang ia lihat sejak dulu adalah hutan, padang rumput, langit luas tak bertepi, tanah pertanian Pa. Sesekali ia ke kota, tetapi tak pernah ia bayangkan ia harus tinggal di sana. Tempat dengan banyak orang berlalu-lalang, ramai dengan aneka suara. Kota, tempat bising yang menyebabkan burung migrasi musim dingin tahun lalu enggan singgah di Danau Perak. Tempat sibuk yang membuat dirinya merasa terasing.

Laura berjalan ke arah Rawa Besar sambil sibuk memikirkan alasan jika Ma menanyainya mengapa ia begitu lama. Laura ingin ke lingkaran peri, tempat ia menemukan Grace, adiknya, yang dulu sempat hilang pengawasan. Sebuah cekungan berbentuk lingkaran yang penuh bunga violet. Bukan apa-apa, Laura hanya ingin menikmati saat-saat sebelum ia dipaksa menyatu dengan hiruk-pikuk kota padang rumput.

"Aku benci keramaian," gumam Laura sambil merunduk, memetiki bunga violet. "Sama seperti hewan-hewan yang menjauh dengan kebisingan. Aku ingin tinggal sendirian saja, di tengah padang rumput luas ini."

Laura tahu diri. Itu hanya keinginannya belaka. Ia memahami ucapan Pa secara logis: mereka harus di kota. Badai dadakan kemarin sudah membuat pondok kecil mereka nyaris ambruk. Tinggal di kota akan lebih aman bagi mereka. Bangunan yang sudah jadi, akses ke toko, pertolongan tetangga ....

Tangan Laura menyentuh cahaya.

Aku benci kota ....

****
***
**
*

(Kembali ke Tare)

"Hei, buat apa bunga sebanyak itu?"

"Gelap, tahu!" Aku berlari sambil memeluk bunga-bunga. Satu di antaranya layu seiring ingatannya yang terbaca padaku. Ingatan ratusan tahun lalu yang bertempat di ... Barat.

Lah, kok bisa?

"Kamu apain Clara, kok dia jadi tantrum lagi?" Deha berseru sambil memimpin jalan bersama Terra.

"Aku ceramahin. Enggak apa-apa. Yang penting, pintunya terbuka."

Ujung lorong batu kali ini terlihat jelas. Ada cahaya jatuh dari atas. Dengan suka cita, Deha membopong Terra menaiki undakan di dinding.

"Kamu tetap bawa bunga-bunga itu?" seru Deha ketika ia sudah sampai di luar.

Aku menatap ragu. "Ya ... mungkin? Ini cadangan kalau gelap."

"Kita 'kan bisa memetiknya lagi, kalau main ke Danau Utara! Lagipula, ini di istana. Buat apa sumber cahaya lain?"

Aku akhirnya mengangguk. Kutinggalkan Bunga Kenangan yang kuraup sebelum kabur dari Clara tadi. Mereka tampak berkilauan ditimpa sinar matahari.

"Sudah sore, toh," gumamku begitu mencapai permukaan. Kupandang sekitar. Tempat ini mirip dengan yang kami datangi pada hari pertama. Tentu saja, sama-sama Kastel Catalyn.

"Menyenangkan, ya?"

Aku menoleh. "Apa?"

Deha tampak semringah. Ia memeluk Terra erat-erat.

"Akhirnya, kita bisa menikmati cahaya matahari lagi."

(Bersambung)

****

Setting: musim dingin tahun 1880-1881, teritori Dakota

Fanfiksi sejarah (mungkin) dari salah satu buku serial Rumah Kecil di Padang Rumput: Musim Dingin yang Panjang (The Long Winter)

Kenapa fanfiksi? Karena aku pakai tokoh yang udah ada. //menangos.

Temanya makin yahud, ya. Tapi lumayan bikin semangat naik. Meski, yah, semangatku buat hal lain masih ambles. Tolong semangatin aku TT

Semoga masuk ke temanya.

Jkt, 8/2/21
AL. TARE

Trapped in Hayalan (Again)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang