Day 12

16 3 0
                                    

Prompt: Buka buku terdekatmu di halaman 83. Kalimat lengkap pertamanya adalah kalimat pembuka di karyamu hari ini.

Genre: Religi. Fix no debat.
Lalu dilanjut fantasi.

Sejatinya, cerita ini adalah soal aku jalan-jalan keliling Hayalan. Jadi, jangan heran.

****

"Masih kuingat jejak langkah kecilku saat memutuskan untuk membersamai Quran sepenuh hati. Banyak keraguan, terutama pikiran bahwa aku bukan siapa-siapa, aku tidak ditakdirkan untuk sempurna. Oh, bukan hanya itu. Aku jelas berbuat kesalahan besar. Aku bahkan takut aku tidak bisa kembali normal. Tapi, ya ... aku tahu. Ada Yang Maha Pengampun. Karena itulah, aku coba mendekati-Nya. Pertama, dengan mendalami kalam-Nya."

Kami semua terpana, mengangguk-angguk mendengar penjelasan Zele.

"Ya, itu pun setelah bertemu ayahmu." Zele menoel hidung Kakak. "Kami sama-sama berubah. Dia sempat kabur dari pesantren, haha, tapi kembali dan menuntaskan pendidikannya."

"Apa dosa yang pernah Ummi lakukan dulu ... begitu besar?" Kakak bertanya pelan.

"Hehe, mungkin? Yang jelas, semua sudah berlalu dan kalian aman di sini ...." Zele memeluk, atau lebih tepatnya, mencekik Kakak. "Reh! Kamu kenapa bengong di situ?"

"Takut," jawab Rehan langsung. Ia memilih bertengger di atas pohon. Tampak ada yang aneh di sebelahnya, bayangan yang bisa berdiri tegak tanpa medium.

"Di sana lebih serem, Dek. Ada Bayangan," panggil Kakak. "Turun sini!"

"Enggak mau. Cewek semua!"

Aku, Deha, Kakak, dan Zele langsung tertawa.

"Udah mau sore. Aku duluan ke rumah, ya. Makan malam harus diurus. Kalian nyusul aja. Kak, Reh, jangan keliaran habis magrib. Ngaji!" Zele beranjak diiringi petuah panjang lebar.

"Yaaa ...." Terdengar sahutan dari kakak-adik itu.

"Apa kita mampir atau lanjut pergi?" tanyaku pada Deha. Ia malah mengangkat bahu.

"Sudah mau malam dan aku lapar."

"Dih, kode!" Rehan berseru dari atas pohon.

Aku berpaling ke Kakak. "Adikmu peka sekali. Ngeri."

Kakak tertawa. "Hati-hati, dia sensitif dalam semua hal. Nalar, perasaan, sampai fisiknya ...."

Suara itu mengandung kegetiran. Aku tidak lanjut bertanya dan memilih ikut masuk ke dalam rumah.

"Kok kamu bisa tiba-tiba manggil dia?" Deha menunjuk Bayangan Hitam yang kini melayang-layang tak jelas--setelah dibentak Rehan.

"Entah. Aku cuma membayangkan. Hei ... Bayangan? Mana wujudmu?"

Bayangan yang sejak tadi beterbangan tak jelas akhirnya mewujud di hadapanku. Wajah nakal itu. Seringai itu. Aku mengenali semuanya.

"Kok aku bisa terpanggil? Kukira, aku sudah lenyap."

"Soalnya, itu aku," jawabku.

"Hah ... ya sudah. Aku yakin, kamu kesepian cuma ditemani dia selama ini, 'kan?" Sosok perwujudan bayangan itu menunjuk Deha. "Aku akan ikut kalian mulai sekarang. Mau keliling Hayalan? Ayo!"

"Em, Tare, kenapa aku merasa waswas dengan sosok ini?" tanya Deha.

"Dia memang setan."

"Bukan!" Sosok itu melonjak. "Kakak memberiku nama. BZ! Entah singkatan apa, aku BZ!"

"Kakak? Aku?" Kakak yang membantu Zele di dapur berseru.

"Iya, kamu!"

"Aku enggak ingat sama sekali pernah memberimu nama. Aku juga lupa pernah bertemu denganmu, tapi rasanya aku tahu kamu!" Kakak muncul tiba-tiba. "Dek, apa kamu tahu sesuatu?"

Rehan, yang sejak tadi diam di kursi makan, melirik sejenak. "Ya ... mungkin? Dia manggil aku 'Master'. Rasanya, aku ingat sesuatu."

"Apa yang kamu ingat?" serbu Kakak.

Rehan tepekur. ".... Perpisahan?"

"Sudah!" Sang Ibu, Zele, muncul tiba-tiba sambil menyentak nampan di meja makan. "Jangan dipikirkan lagi. Bukan hal bagus untuk diingat."

"Ummi, aku boleh pergi?"

Satu ruangan hening, menyisakan suara Rehan.

"Ke mana?" sahut Zele.

"Ikut mereka." Rehan menunjukku.

"Oh, jadi kamu mau mencari Tora bersamaku!" Aku melonjak girang.

"Izin ayahmu nanti," jawab Zele. "Kak, bawa semua orang itu ke kamarmu. Dan kamu, Bayangan, atau BZ, entahlah, tolong jangan macam-macam. Atau ...." Ia mengangkat kacamata yang sejak tadi dikenakan. Sinar merah yang menyorot tajam membuatku kontan menutup mata.

"Iya, Zele! Aku enggak akan macam-macam!" Kudengar BZ berseru panik.

"Baiklah!" Zele berbalik ke dapur dan kembali membawa panci. "Ini hanya satu dari sekian takdir yang digariskan. Apa pun yang terjadi saat ini, itulah yang memang harus terjadi. Tapi ... kemunculan kalian jelas mengacaukan sesuatu."

"Maaf." Aku dan Deha langsung membungkuk.

"Enggak apa-apa. Yang jelas, hiduplah sesuai takdir, sesuai zaman. Lakukan apa yang harus dilakukan. Rangkaian peristiwa akan mengarah ke satu kesimpulan yang mengandung pelajaran indah."

Malam itu, akhirnya, aku dan Deha bermalam di sebuah rumah normal, bukan di atas Terra ataupun lorong batu. Dan esoknya, skuad jalan-jalan keliling Hayalan kami bertambah.

"Ayo kita cari Tora!"

(Bersambung)

****

Character Unlocked!(?)

Rehan dan BZ bergabung dengan tim.

Tora udah tak mention dari awal, ya. Dia kembaran rese Tare yang mengundangku ke Hayalan tanpa bilang-bilang kalau aku dijebak.

Yha, apa sih.

Selamat hari kedua belas, masih ada enam belas hari lagi.

Jkt, 12/2/21
AL. TARE

BTW, buku terdekatku adalah Mahasiswa-Mahasiswa Penghafal Quran yang merupakan kompilasi kisah dari mahasantri IQF (Indonesia Quran Foundation), asrama quran mahasiswa di Depok. <3

 <3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Trapped in Hayalan (Again)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang