Tema: Memalsukan kematian
Genre: Fantasi
****
Siapa yang sangka, perjalanan menuju Catalyn--lebih tepatnya, Danau Utara--jauh lebih cepat daripada waktu kami bertolak dari sini ke Kota Gunung.
"Deeeeek!"
Sudah kuduga, reaksi Kakak akan sebelas dua belas seperti Lia yang baru bertemu Tora setelah sekian lama terpisah.
"Kaaaaak!"
Ternyata, Rehan sama saja. Adik kakak itu sudah berpelukan ketika aku baru turun dari Terra.
"Ada berapa tamu yang bakal datang?" tanya Kakak, seolah tahu bahwa kami membawa rombongan.
"Banyak," jawabku. "Tujuh, mungkin."
Kakak manggut-manggut. "Masuk dulu, yuk. Ditunggu Ummi dan Abi."
Kakak memimpin jalan masuk ke Rumah Danau. Di sana, Zele sedang sibuk di dapur, sementara Azhari menggelesor di sofa, tampak sangat gabut.
"Eh! Kok enggak bilang kalau tamunya udah sampe?!" Azhari melonjak sambil menuding Kakak.
Kakak hanya cengengesan. "Aku cuma mendeteksi Rehan."
"Halah!" seruku.
Kakak mengabaikanku. "Abi mestinya tahu juga, lho, kalau ada tamu."
Azhari melambai semangat. Aku merasa beruntung tidak melihat matanya yang tertutup kacamata yang memantulkan sinar entah dari mana. Entah mengapa, membayangkan menatap mata orang itu membuatku merinding.
"Hayo, Tare! Kamu pasti mau gibah!"
"Astagfirullah, fitnah dari mana?!" seruku sengit.
"Et dah ... dateng-dateng langsung gelut," gerutu Rehan. "Sana, katanya Abi mau ngomongin sesuatu soal ganti dunia, masa lalu, dimensi, dan lainnya."
"Ikut!" BZ tiba-tiba menyela. "Bro Azh! Kamu enggak lupa aku, 'kan?!"
"Ah ... iblis!" Azhari menyilangkan tangannya.
"Bukan iblis!" BZ mencak-mencak. "Aku kembaran dari ... itu ... pengawal ...."
"Aku?" Suara dingin tiba-tiba terdengar. "Yah, kita bertemu lagi. Berarti, kita akan menjadi satu lagi?"
"Ah, QY?" Aku menoleh sambil nyengir. "Hebat sekali formasi lengkap kita saat ini."
"Nah, Ummi sama Abi nungguin kalian," ujar Kakak. "Katanya, mau bicara hal yang bikin aku dan Rehan pusing. Jadi, sana ngobrol! Aku dan Rehan bakal siapin semua buat menjamu yang lain."
"Bahannya sudah siap, Kak." Zele tiba-tiba muncul. "Kamu dan Rehan bisa mulai saja. Boleh undang keluarga istana atau bahkan Edi juga."
"Wih, asyik!" Wajah Kakak bersemu. "Rehan, ayo hubungi Edi sekarang, koki kita!"
"Kalau Tora datang, dia pasti mau masak," gumam Rehan.
"Eeh, dia 'kan tamu!"
"Edi juga jadi tamu dong?"
Adik-kakak itu ribut, aku dan Deha melipir bersama kedua orang tua mereka, menuju halaman belakang, tepi danau ... sumur tua.
Kenapa aku tegang?
"Karena kalian datang, waktu terdistorsi, 'kan?" Azhari langsung menusuk dengan pertanyaannya. "Ada yang kembali, bukankah begitu?"
"Ta-tapi, kalau aku pergi, kalian semua kembali normal, kok." Aku melambai panik.
"Hush." Zele menjitak Azhari dengan santainya. "Kita, juga Zahir, juga pernah mengacaukan waktu, kok."
Azhari menunduk. "Tapi, itu semua sudah berakhir ...."
"Berkat Kakak. Dan itu terjadi di waktu kita ...."
Hening sesaat.
"Memalsukan kematian ...."
Aku tahu, mereka berdua kembali tertekan teringat waktu itu.
"Andai Kakak dan Rehan tahu kebenarannya, kita pasti akan dikira berbohong," bisik Zele. "Bukan andai lagi. Kakak, ketika tahu bahwa kita sebenarnya belum mati, dia sangat terguncang."
"Bukannya mestinya ia lebih terguncang kalau kita sungguhan mati?" gumam Azhari.
"Masalahnya, mereka baru tahu bertahun-tahun setelah kejadian itu ...."
"Sudah, sudah! Kalian mau ngomongin apa sama kami?" Deha menghentikan kesenduan dua orang itu.
"Cuma mau memastikan kalau keberadaan dia enggak benar." Azhari menunjuk sumur.
"Enggak, kok." QY yang menyahut. "Kali ini, kami yang anomali. Sama seperti Tare. Kami, termasuk Clara, akan hilang begitu Tare kembali ke dunianya."
"Ya, aku memalsukan kehidupan berkali-kali." Aku nyengir, merasa bersalah sebenarnya.
"Apa kamu mau bilang kalau Zahir penyebab kami mati waktu itu?" tanya Azhari. Pada Zele, sebenarnya, tapi malah aku yang melonjak.
"Enggak! Ini bukan salah siapa-siapa!"
Zele tergelak melihatku panik. "Sudahlah. Azh lagi kumat ngerinya. Kamu tahu, kan, aku terlahir bahagia? Biar dia enggak suram-suram amat."
Aku nyengir.
"Karena ... aku enggak mau kejadian seperti itu terjadi lagi. Susah-susah menjauh dari orang, mencap diri sendiri gila, ujung-ujungnya malah bertemu di pusaran yang sama ...."
"Sudah!" Zele menyenggol Azhari.
"Kalian tahu? Aku jadi terpikir sesuatu," ujarku, membuat semuanya menoleh.
"Apa?"
"Kalian bilang tadi, memalsukan kematian," gumamku. "Maukah kalian kalau aku ... memalsukan kehidupan lagi?"
"Maksudnya?" Alis Azhari bertaut. Masih tidak apa-apa, selama matanya tidak terlihat.
"Dua teman kalian." Aku bersedekap. "Aku bisa memunculkan mereka dan membuat mereka ikut jamuan hari ini, mempertemukan Rehan dengan kedua orang tua aslinya ...."
"Yan dan Vio?" Zele berbisik.
Suasana mendung tiba-tiba. Angin bersemilir dingin.
"Kamu manggil mereka, sekarang juga?" Azhari bertanya tajam, hampir sama dinginnya dengan angin.
"E-enggak!" Aku tergagap.
Azhari tiba-tiba menyambar tangan Zele. Aku tahu, mereka mendengar apa yang kami dengar.
Azhari, Zelenna, kematian kami bukan kematian yang dipalsukan, bukan kematian pura-pura. Kematian kami tidak termasuk di dalam buku itu. Kalaupun kalian semua mengulang masa lalu, tidak demikian dengan kami. Kami sudah mati ... kami tidak akan bisa kembali, karena garis hidup kami tidak bersinggungan dengan buku itu ....
Kami semua terdiam.
Sore ini, waktu tampaknya terhenti sementara. Entah apa yang terjadi sebenarnya. Namun, meski aku tak melihatnya, aku yakin, mata Azhari dan Zelenna berkaca-kaca.
(Bersambung)
****
Empat hari lagi!
Kok jadi panjang ya.
Jkt, 23/2/21
AL. TARE
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped in Hayalan (Again)
Random[Dalam rangka Daily Writing Challenge NPC] *Mungkin mengandung spoiler dari semua cerita Tare* Untuk memenuhi tuntutan tema, Tare bermain ke Hayalan, dunia imajiner buatannya. Niat hanya bertandang sebentar, ternyata ia harus melalui misi untuk bisa...