Day 14

19 4 0
                                    

Buat karya dengan kalimat awal: "Semua itu dimulai dengan sebuah kebohongan".

****

"Semua itu dimulai dengan sebuah kebohongan. Andai Ayah jujur dan lebih terbuka, segala hal buruk itu mungkin enggak perlu terjadi."

Aku diam, merasakan gelagat tidak menyenangkan.

"Jadi ... AKHIRNYA KAMU DATANG JUGA!"

Aku terpental saat sebilah tongkat berputar cepat di sampingku, menusuk pinggangku.

"Lawan aku sampe mampus hari ini!"

"Whoa whoa whoa!" Deha meloncat ke hadapanku sambil melambaikan tangan. "Tahan dirimu sedikit, Tora! Kamu enggak sopan ke tamu! Apalagi, kamu yang ngundang dia!"

"Aku ngundang dia buat ini, dia juga tahu!" Anak yang dipanggil Tora itu tampak amat gusar. Ia menghentakkan tongkat ke tanah. Tongkat yang bisa jadi senjata mematikan kalau di tangannya.

"Ha, ha, padahal dia pengin ketemu kamu dari kemarin-kemarin, lho," sahut Rehan yang sejak tadi hanya menyimak.

"Kamu enggak mau balas dendam, heh? Kamu tahu takdir macam apa yang dia gariskan buatmu, 'kan?" Tora kini mengacungkan tongkatnya ke arah Rehan. "Aku tidak terima. Masa kecilku yang bahagia amblas. Aku memang banyak ingat hal-hal bahagia, tapi kalau ditilik ulang, ada banyak penderitaan yang mau aku enyahkan aja!"

"Lupakan aja, ngapain diingat," jawabku santai.

"Aku sengaja ingat biar bisa emosi kalau ketemu kamu, tahu!" Tongkat itu kembali berputar. Berdesing begitu dekat ke telinga. Aku mundur beberapa langkah, sempat tersabet beberapa kali di muka.

"Deha ... aku mimisan!" seruku. "Hidungku enggak patah, 'kan?'

"Sudah kubilang, lawan aku sampe mam--"

"Kamu sungguhan mau aku melawanku?" tanyaku jengkel sambil mengusap sisa-sisa darah di hidungku. "Kamu yakin menang? Bisa-bisa, eksistensimu malah menghilang selamanya!"

"Sang pencipta dan otoritasnya," komentar Rehan.

"Yang adil, lah! Pakai tongkat juga! Tuh, ambil!" Tora menunjuk tongkat-tongkat di sudut ruangan.

Ah, apakah kali ini kami hanya akan membahas soal baku hantam?

Aku mengambil tongkat, lalu memasang kuda-kuda. Aku tidak bisa memainkan tongkat panjang atau senjata apa pun. Tidak adil, tapi tidak apa. Aku tidak akan kalah.

Semoga seri, batinku.

Hasilnya, kami sama-sama kelelahan. Deha pun, ia kewalahan melerai kami yang malah jadi adu jotos. Darah di hidungku tak kunjung mengering. Capek juga harus menyimpan hidung begini.

"Lain kali, aku bantu," ujar Rehan pada Tora. "Biar dia beneran kualat."

"Apa, sih?" Aku mendelik.

"Udah, udah." Deha dan Tora sama-sama melambai.

"Oke, kamu sudah kusambut dengan kekerasan, sekarang saatnya jamuan." Tora, dengan pakaian kerja lusuh sehari-harinya, berjalan santai ke belakang pondok kecil di tengah kebun itu. Ia kembali dengan membawa baki berisi lima gelas minuman entah apa.

"Teh doang," ujar Tora sebelum ditanya. "Aku tahu, kalian ke sini cuma mau mencegatku. Habis ini, mau ke Rumah Bukit atau ke Rumah Kota, terserah. Aku ikut. Jamuan lebih baik ada di sana."

"Kamu ikut?" Aku melonjak. "Sampai aku keluar dari sini, kamu bakal ikut terus?"

Tora mendengkus. "Ya, ya. Aku bosan. Lagian, selama kamu di sini, waktu seolah berhenti. Ya, 'kan? Kamu mengacaukan semua waktu di sini."

"Asyiiiik!" Aku melonjak, mengguncang bahu Tora.

"Pergi kamu," ujar Tora dingin.

Aku tak peduli. "Senangnya aku. Hari ini, To-re-han skuad sudah lengkap! Dan dua orang ini bakal membersamai perjalananku di Hayalan! Deha, kasih tanggapan!"

"Bagus," jawab Deha. "Kamu bakal diserang sepanjang jalan. Dari yang aku tahu, mereka berdua yang paling greget ingin membalas dendam padamu."

"Memang." Tora dan Rehan kompak menjawab.

"Enggak apa-apa. Yang penting, enggak sepi!"

Setelah teh habis, kami memutuskan ke Rumah Kota, lalu baru menjajah Rumah Bukit. Tidak seru kalau tidak ramai. Aku ingin membawa serombongan Keluarga Kekanakan jika kami ke Rumah Bukit.

"Tare, aku bilang dari awal, 'kan? Aku mengundangmu kalau-kalau ada cerita yang temanya terlalu aneh sampai bikin kehabisan ide." Tora membuka percakapan begitu kami beranjak.

"Ya, dan hal itu sudah terjadi berulang kali." Aku menyeringai.

"Katakan saja kalau butuh kisah. Nanti, kami semua bakal bantu bercerita."

"Hah?"

"Benar." Malah Deha yang menyahut. "Kalau kamu kehabisan stok, salah satu dari kami akan menceritakan apa pun yang kami tahu. Senang, 'kan, dibantu? Inilah gunanya kamu ke sini."

"Kalian ...." Aku mendadak terharu. "Terima kasih!"

Masih, yang membuatku paling girang adalah bertemu dengan dua anak laki-laki yang aku tidak rela mereka tumbuh dewasa, karena mereka teman seperbocilanku selama ini: Tora dan Rehan.

(Bersambung)

****

Gambar-gambar lawas di bawah ga ada hubungannya sama bab ini, tapi inilah To-re-han: Tora, Tare, dan Rehan. Ofkors karena Tare dan Tora adalah kembar jadi-jadian, kami lebih banyak kemiripan. Salah satunya: ngefans (berat) Joe Hisaishi!

PS.
Rehan emang anak bawang

Rehan emang anak bawang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JKT, 14/2/21AL

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JKT, 14/2/21
AL. TARE

Ah, siapa yang ultah? //Ga ada

Trapped in Hayalan (Again)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang