Day 21

19 4 0
                                    

Buat cerita dengan tema: Semalam di kamar motel di pinggir kota

Genre: SoL

****

Dari semua anggota Keluarga Kekanakan, yang paling memusingkan adalah mereka yang sok sibuk berbisnis sampai seolah melupakan segalanya, merasa berhak atas kesendirian setelah penat bekerja. Yah, jarang-jarang ada yang seperti itu. Namun, sekalinya Ray, Eugeo, atau bahkan Tora kumat galaunya, mereka akan memilih menyepi entah di mana.

"Di mana Ayah?" tanya Lia.

Aku menghitung-hitung orang. Apa yang kualami hari-hari terakhir cukup memusingkan. Lompatan waktu, takdir yang berubah, dimensi yang bercampur baur dalam satu waktu ... tampaknya, sekarang, masa sudah kembali normal. Kembali ke tahun 2021 sebagaimana mestinya. Ada Lia, Radit, dan Tora, ketiganya masih libur kuliah. Rehan, meski tak berpendidikan, ia tampak baik-baik saja, sesekali mengobrol bahkan bercanda dengan Tora dan Radit, juga berbalas kata dengan Lia. Ada Liz dan anaknya, Rio, hanya menumpang mengobrol, tidak ikut ke Rumah Bukit. Tidak ada Arin, karena memang ia sudah tiada. Kalau begitu ....

"Lizzy, kamu tahu di mana Eugeo berada?" tanyaku pada Liz.

"Aku tahu, kamu lebih tahu." Liz tersenyum simpul. "Jelas-jelas ia mencari rekan kriminalnya. Kak Ray galau akhir-akhir ini, apalagi sejak ...."

Sejak konser itu. Ya, aku tahu. Konser yang tak akan pernah bisa terjadi di kenyataan. Konser yang tak terucap dengan kata-kata.

"Dua GGS itu memang enggak terpisahkan," gumamku. "Aku akan tarik mereka."

"Ya, tolong lakukan. Kak Ray galau kalau ingat istrinya. Dan Kak Geo galau kalau Kak Ray galau." Liz tertawa kecil. "Aku enggak bisa mencegah Kak Geo supaya tidak ikut gelisah. Mereka berdua tak terpisahkan."

Kukatakan pada Deha, mereka bisa lebih dulu ke Rumah Bukit tanpaku. Aku ingin mencari dua GGS itu. GGS, singkatan dari Ganteng-Ganteng Sableng. Karena mereka memang begitu.

Kalau sedang galau, Ray akan berusaha tenggelam dengan bisnisnya. Tumpukan pamflet untuk inspirasi, kertas-kertas rancangan, aneka dokumen akan ia teliti satu-satu. Ia belum bisa menemukan pengalihan kesedihan yang lebih tepat daripada berbuat sok produktif begitu. Lalu, ia akan menghubungi koleganya di luar pulau dan segera mengadakan perjalanan bisnis.

Selalu seperti itu.

"Jadi, kamu tahu kalau makhluk satu itu ada di sini?" Sosok berkupluk dan berkacamata hitam itu buka mulut.

"Ya, dia berencana mau berlayar besok." Aku mengangkat bahu. "Padahal, anak-anaknya sedang mengharapkan kehadirannya."

"Dia 'kan sudah hadir kemarin?"

Aku menyeringai. "Akui saja, Geo, kamu juga ingin berkumpul dengan semuanya, lengkap."

Eugeo menghela napas. "Enggak ada Arin, enggak bisa lengkap."

Sudah nyaris tengah malam. Kami berdiri di depan bangunan sebuah motel, tak jauh dari terminal pinggir Kota Gunung. Dasar Ray ini. Jelas-jelas, di kota ini, ada tiga rumah yang terbuka untuknya: Rumah Kota, Rumah Bukit, dan Rumah Hutan. Ia malah sengaja menyepi sendirian di motel sederhana begini.

Eugeo mengetuk pintu. Sejurus kemudian, wajah kuyu pria yang memasuki usia paruh baya muncul setelah membukakan pintu.

"Sudah kuduga, kamu akan mencariku, Geo," ujar pria itu serak. "Dan makhluk jadi-jadian di sebelahmu itu juga."

"Makhluk jadi-jadian?!" Aku mendelik.

"Sudahlah, kalau mau ngomong, masuk sini. Tapi sempit. Kalau enggak mau, pulang sana."

Trapped in Hayalan (Again)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang