Tema: Cari arti namamu dan jadikan itu tema hari ini.
"Tunjukkan kepadaku jalan yang lurus"Genre: Fantasi (dan spiritual mungkin? Karena spiritual sejatinya adalah pengembangan diri, bukan agama/religi)
****
"Jadi, apa kamu mau mengembalikan salah satu kepingan mawarku?"
Aku dan Deha berpandangan. Keterkejutan kami sudah mereda.
"Ya, buat apa aku simpan?" Deha maju dan melepas topinya. "Maaf aku simpan di sini, takutnya jatuh kalau aku pegang." Ia menyerahkan hiasan bunga mawar pada sosok di hadapannya.
"Ah! Terima kasih." Senyum perempuan tinggi dengan harum mawar itu merekah. Entah perasaanku atau bukan, tetapi suasana tidak sedingin tadi.
"Kamu Clara, 'kan?"
Malah aku yang tersentak. Deha ini, sekalinya berani, malah jadi kurang ajar. Aku juga, sih.
Perempuan itu tertawa. "Kamu mau melihatku yang seperti apa? Begini atau yang dingin?"
"Dingin?"
Lagi, hawa dingin yang kami rasakan beberapa saat lalu kembali terasa. Tampak sosok di hadapan kami ... tidak, ia tidak berubah wujud. Namun, auranya terasa begitu aneh. Herannya, rasa takut yang tadi sempat ada kini lenyap semua.
"Kamu," ia menunjukku, "kita pernah mengobrol, dulu. Soal motifku mengganggu anak bernama Zahir itu ...."
"Iya. Intinya, kamu jahat," jawabku langsung.
Hawa dingin berangsur menghilang. Aura ganjil tadi juga. Clara kini tersenyum. Sungguh, ia adalah perempuan yang cantik. Rambutnya panjang dan halus, matanya berkilauan. Senyumnya memikat. Sayang, semasa hidupnya, ia dipenuhi kebencian.
"Ya. Aku tidak punya tendensi selain berbuat jahat." Clara tampak santai. "Aku suka mengacaukan hidup orang, termasuk kalian. Makanya, pintunya kututup."
"Itu bukan alasanmu," jawabku datar.
Clara mengibaskan tangannya. "Biar Laila enggak masuk."
"Kenapa?"
Clara tidak menjawabnya. Ia malah menatap lorong di belakangnya begitu lama, sampai aku dan Deha keheranan.
"Ada yang mengejarmu?" tanyaku.
Clara menggeleng. Ia menunduk. "Eksistensiku hilang sejak Kakak mengalahkanku karena iblis yang menjanjikan keabadian meninggalkanku, tapi aku tidak akan meninggalkan ... Hayalan. "
"Dan kamu masih hidup? Menyedihkan," komentar Deha.
"Ya, aku tinggal di lorong batu purba ini. Karena sejak dulu aku harus menyerap kebencian dan kecemburuan untuk hidup, sedangkan aku tidak punya siapa-siapa lagi yang membantuku, jadi aku terpaksa menyerap kenangan orang-orang yang penuh kebencian di sini."
"Aku enggak benci siapa-siapa!" seruku.
Clara hanya tertawa. "Pernah, satu kali. Tapi, energi yang kudapat darimu memang enggak seberapa. Buktinya, bunga yang menyimpan kenanganmu langsung layu begitu kamu menyentuhnya."
Tidak ada yang bisa kami lakukan, maka kami membuntuti Clara menuju ruangan bunga cahaya (lagi).
"Aku tunggu di luar. Aku enggak kuat di sana," seru Deha. "Sekalian suruh Clara cepat-cepat bukakan pintunya."
Memang, aku ke sini untuk bicara empat mata dengannya? Pikiranku ke mana-mana. Cerita macam apa lagi yang akan kudapat darinya?
"Kata-kata dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped in Hayalan (Again)
Random[Dalam rangka Daily Writing Challenge NPC] *Mungkin mengandung spoiler dari semua cerita Tare* Untuk memenuhi tuntutan tema, Tare bermain ke Hayalan, dunia imajiner buatannya. Niat hanya bertandang sebentar, ternyata ia harus melalui misi untuk bisa...