....
Tema: Ambil buku yang berada paling dekat dengan kalian. Buka halaman 41. Searching kata pertama di halaman tersebut menggunakan Google Image. Lalu, buat tulisan berdasarkan gambar ke-9 yang muncul.
Intinya itu ya "Bisa".
Keterangan ada di bawah.*****
Judul: ga ada judul dah ah
*****
Pagi di Rumah Bukit.
Ada yang luar biasa hari ini. Terra muncul dengan wujud sebenarnya; sebongkah batu raksasa bediameter 120 m. Setelah aneka drama tidak jelas, akhirnya kami akan bertolak juga.
" 'Met jalan," ucap Lia. "Enggak usah balik enggak papa."
"Kak!" Tora muntab.
Yang akan pergi adalah aku, Deha, R.I., Ivy, dan Tora. Ivy si anak supel sudah dengan akrabnya mengobrol dengan Tora. Aku tahu apa yang ia pikirkan.
"Enggak semua laki-laki bisa temenan sama perempuan tanpa perasaan, tahu!" ujarnya.
"Tora emang enggak berperasaan," kilahku.
"Setuju."
"Mohon maaf?" Tora menyela.
Pada akhirnya, Tora memilih menyendiri di belakang sambil tidur-tidur ayam, meminjam bunga raksasa Deha sebagai payung supaya tidak kesilauan. Sisanya di depan, melihat pemandangan dari ketinggian.
Terra bukan kendaraan biasa. Deha sudah cukup sering berceloteh tentang bagamana ia "tercebur" ke Hayalan. Ia diselamatkan para raksasa dan dibawa ke ... sebongkah batu besar, yang mengejutkannya, bisa bergerak. Itulah Terra; leluhur pertama yang mendiami Hayalan dan tidak bisa mati–ia itu batu. Ia malah menghormati dan menghambakan diri pada Deha dan jadi kendaraannya.
Absurd sekali.
"Tora, apa yang kaubawa buat Rehan?" Aku memilih menemani anak laki-laki penggalau itu di belakang.
"Diri sendiri. Mau apa lagi? Kalau ketemu, hal pertama yang kami lakukan adalah baku hantam." Tora mengangkat bahu. Ia melirikku. "Kamu emang senang merepotkan diri sendiri, ya."
"Maksudnya?"
"Kenapa enggak teleportasi aja?"
Aku terkekeh. "Aku suka menikmati perjalanan. Di dunia nyata, kalau mudik, dibanding lewat tol Transjawa yang bisa sampai tujuan dalam sekejap, aku lebih suka lewat pantura."
" 'Kan, aneh."
"Udahlah. Yang penting bisa menikmati hidup." Aku rebahan. Batu ini, bisa dibilang, panas, tetapi aku tidak peduli. Panasnya tidak membakar, justru menghangatkan.
"Yakin?"
"Yakin apa?"
"Bisa menikmati hidup," sahut Tora. "Kamu selalu tertekan."
"Itu ... alasan aku membuat karakter kayak kamu, tahu."
Diam beberapa saat.
"Tetap bisa menikmati hidup meski banyak tekanan." Aku menghela napas. "Kamu selalu bisa menemukan alasan untuk bahagia padahal masalah datang bertubi-tubi."
"Itu caraku buat survive, tahu," sahut Tora.
"Ya, itu makanya, aku kadang meminjam topengmu." Aku melirik Tora. "Aku butuh kemampuan itu."
"Ya ... ya."
"Oh, ya. Kamu ingat untold ambition itu?" Aku mengalihkan topik karena tiba-tiba teringat konser yang kutonton semalam.
"Jadi komponis? Atau pengaba?" sahut Tora.
"Ya. Kita udah sama-sama melupakannya, bukan?" Aku nyengir lebar. "Meski begitu, kita masih punya hobi sama."
"Konser siapa?" Tora langsung menegak.
"Bukan Maestro, sih." Aku mengeluarkan ponsel dan earphone. "Tapi, kita bisa dengerin konser beliau sekarang! Udah lama enggak menggila bareng kamu."
"Hei, ada sinyal emang?" Tora mengintip layar ponselku.
"Selow, di sini mah, selama ada aku, bakal ada apa pun yang kumau!" Aku mengulurkan sebelah earphone pada Tora. Tak butuh waktu lama sampai kami berdua asyik sendiri.
"Dasar," gumam R.I. "Dua anak itu bisa menggila di mana aja."
*****
Day 5 - done!
Agak tidak berkonteks karena gambar yang nongol di Google enggak jelas–logo bertuliskan BISA yang kalau diklik merupakan artikel dari sebuah blog jasa ekspedisi tentang ... bisa.
Ya, apaan?!
Itung aja, ada berapa kata "bisa" di sini.
Jkt, 5/2/22
zzztare*Nunggu pulang ke rumah biar ada buku terdekat, lol saya ke Bandung enggak bawa buku xD
Tumben baru ngetik sore. Ehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped in Hayalan (Again)
Random[Dalam rangka Daily Writing Challenge NPC] *Mungkin mengandung spoiler dari semua cerita Tare* Untuk memenuhi tuntutan tema, Tare bermain ke Hayalan, dunia imajiner buatannya. Niat hanya bertandang sebentar, ternyata ia harus melalui misi untuk bisa...