Tema: [ Buat cerita yang mengandung tiga kata ini: Gantungan Kunci, Mimpi Buruk, Pulau. ]
Judul: Misi
Genre: gatau, SoL?
****
"Kaget!"
Ia kaget, aku juga. Tak kusangka Rumah Danau sedang ramai, seolah sengaja menyambut kami.
"Selamat datang!" Zele muncul, mendorong Kakak yang masih saja terpaku. "Kami sudah menunggu. Ayo, masuk. Bukankah perjalanan kalian masih panjang?"
Perjalanan panjang? Aku saja tak tahu apa tujuan pastiku kemari.
Tunggu.
Aku melirik Alba. Tampaknya, tujuanku jelas sudah.
Kembalikan Alba ke masa hidupnya.
"Udah lama enggak cerita." Zele menatapku. "Ayo. Kamu bisa menemui Ratu nanti. Sekarang, istirahat dulu di sini."
Kulihat, Tora mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Aku menegurnya. "Hei, katanya cuma bawa diri!"
"Dan ini." Tora tak peduli, ia menunjukkan bungkusan yang baru ia keluarkan tadi.
"Ini apa?"
"Salah satu benda yang paling lumrah dijadikan cendera mata, barang yang dijual di toko pamanku dan sentra oleh-oleh kampung, buatan Ayah." Tora menghela napas. "Gantungan kunci ... bentuk biola."
"He, Ray masih membuat benda ini?" Aku takjub melihatnya. Gantungan kunci biola itu dibuat dengan sangat presisi, tetapi bunyinya tidak sama dengan biola asli. Wajar, ukuran sangat memengaruhi.
"Masih. Diproduksi di pabrik mebel." Tora menyeringai. "Sekarang ... mana Rehan?"
"Tora!"
Itu Rehan. Dua anak itu langsung mengobrol santai. Aku melihat Tora menyerahkan gantungan kunci itu pada Rehan. Hei, anak itu benar-benar menghargai pertemanannya yang beda semesta ini.
"Tare, aku dan Kakak mau ke belakang dulu," ucap Deha.
"Mau ngapain?"
"Meraup Bunga Kenangan." Kakak mengedip. "Kamu bakal butuh banyak sepanjang perjalanan nanti, 'kan?"
Hei, sungguh, aku pun enggak tahu tujuan asliku.
Namun, yah, Bunga Kenangan banyak membantuku melalui tema-tema aneh tahun lalu. Tahun ini, siapa tahu?
"Ayo, kamu ikut aku saja," ucap Zele. "Dan ini ... siapa?"
"Oh, ini Ivy," ujarku. "Dan anak laki-laki ini ... Alba."
"Alba!" Tora tiba-tiba memanggil. "Dia sama kami aja. Ada yang harus dia lihat."
"Harus aku lihat?" Alba membeo.
Anak itu berlalu, tinggallah aku, Ivy, dan R.I..
"Tenang, nanti kalian bakal ngumpul lagi, kok. Siapa yang bakal menolak makan?" Zele terkekeh, aku ikutan.
"Mau ngobrol apa?" tanya R.I..
"Ah." Zele tampak salah tingkah. "Ratu ... Zahir. Terakhir bertemu, ia bilang, sudah beberapa hari mimpi buruk."
"Mimpi buruk?" sahut R.I. "Jangan diceritakan."
"Ya, dia enggak menceritakannya, kok. Cuma lapor begitu ke aku. Apa ... sesuatu yang buruk kembali?* Zele menghela napas. "Dulu, mimpi buruknya membuatnya melakukan hal-hal mengerikan."
"Itu dulu, 'kan?" ucapku. "Dulu, dia enggak ada teman, enggak ada pegangan, enggak bisa cerita. Sekarang? Dia punya kamu, teman ceritanya, sahabatnya."
"Apa kamu minta solusi?" sahut R.I.. "Tetaplah jadi teman baiknya."
"Ratu bermimpi buruk?" tanya Ivy. "Apakah bakal berefek buruk ke ... orang-orang di sekitarnya?"
"Oh, begini, Ivy." Zele tampak agak ragu. "Dulu, mimpi buruk Zahir berkaitan langsung dengan sosok kebencian. Sosok yang seperti mencuci otaknya lewat mimpi. Dia parno sekarang. Intinya, Zahir takut lagi-lagi ada sesuatu yang mau memengaruhinya. Karena mimpinya sama, berulang."
".... Seram," komentar Ivy. "Apa yang sudah Anda coba lakukan?"
"Aku hanya bisa menenangkannya," jawab Zele pelan. "Tare, kalau kamu sempat, mampirlah ke istana. Kamu kayaknya lebih tahu apa yang terjadi pada Zahir."
"Em ... yah?" Aku hanya menggaruk kepala. Hei, aku mengemban misi baru. Haruskah aku cari jejak Clara lagi?
"Tare, apa tujuanmu ke Hayalan sekarang ini? Enggak ada yang mengundangmu, bukan?"
Aku tersentak. Benar. Aku datang atas kemauanku sendiri. Aku menelan ludah. "Cuma ... cari ide."
"Lalu, enggak ada misi?"
Misiku hanya melalui 28 hari dengan selamat tanpa bolong satu pun, mendulang ide-ide absurd dari tempat yang abstrak ini. Aku tidak punya tujuan pasti yang lain. Yah, lari dari kenyataan, mungkin.
"Sebenarnya ... enggak. Tapi, dari kemarin, tiba-tiba ...." Aku melirik ke tempat terakhir aku melihat tiga laki-laki tadi. "Aku harus mengembalikan Alba ke masanya semula. Seseorang menunggunya. Dan sekarang, kamu memberiku misi lain. Aku harus memastikan keadaan Zahir baik-baik saja." Aku menghela napas. "Lalu ... entahlah. Apa misinya bakal bertambah? Atau cukup itu aja? Siapa yang tahu, tema apa yang akan keluar besok."
"Halooo!" Deha dan Kakak sudah kembali. Mereka terlihat bahagia.
Tunggu, ada tambahan satu orang.
"Di mana Master? Kenapa dia menghindariku dari tadi?"
Aku geleng-geleng kepala. BZ. Ya ampun, akan pecah perang antara R.I. dan BZ kah?
"Diam," sahut R.I. dingin.
BZ langsung bungkam.
"Kami menemukan hal yang menarik di danau!" lapor Deha. "Ada formasi yang baru muncul di tengah danau."
"Formasi?"
"Ya, formasi yang membentuk ... pulau es."
Es?
"Es?" Itu suara Rehan, entah muncul dari mana ia.
"Master!"
Terlambat bagi Rehan, BZ sudah memelesat dan menangkring di pundaknya dengan santai.
"Kamu bilang tadi es?" Rehan menatap Deha.
"Iya, es," sahut Kakak. "Aku pun enggak yakin dari mana datangnya, tapi sepertinya es itu enggak mengapung. Dia punya akar jauh di dalam, bahkan bisa jadi menempel langsung dengan ruang batu."
"Ruang batu?"
"Makan dulu, semuanya!" Zele tiba-tiba bertepuk tangan. "Azh dan Edi udah menunggu dari tadi. Mereka laki-laki rumah tangga. Ayo!"
Bisa kurasakan tatapan Zele padaku.
Hei, sepertinya, misteri kali ini berhubungan.
****
Jkt, 7/2/22
zzztare
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped in Hayalan (Again)
Random[Dalam rangka Daily Writing Challenge NPC] *Mungkin mengandung spoiler dari semua cerita Tare* Untuk memenuhi tuntutan tema, Tare bermain ke Hayalan, dunia imajiner buatannya. Niat hanya bertandang sebentar, ternyata ia harus melalui misi untuk bisa...