Day 23

17 4 0
                                    

Tema: potongan dialog tertentu

Genre: SoL

****

Sepertinya, aku dan Deha hanya akan jadi penonton selama di sini.

Rumah Bukit ramai sampai keesokan harinya. Eugeo bersama Liz dan Rio datang, membuat suasana tambah ceria. Liz dan Rio langsung menempel pada Lia sementara Eugeo langsung mencari Ray. Mungkin, dua pria itu akan sama-sama galau lagi. Dasar GGS.

"Sebenarnya, aku sama sekali tidak punya kesempatan, bukan?"

Aku dan Deha serempak menoleh, kaget. Di belakang kami, muncul satu sosok lain secara tiba-tiba. Hantu. Dia ... Master Bundo, ibu dari Lia dan Tora: Arin.

"Tidak, kau salah. Kau pernah punya, sekali." Aku langsung menyahut. "Kemarin, karena aku datang ke sini."

"Kesempatan buat?" tanya Deha.

"Buat ketemu dalam keadaan hidup sama mereka lagi." Arin duduk di samping kami. "Aku sudah bukan bagian dari mereka lagi, 'kan? Aku sudah termasuk kalian. Orang yang mengawasi Hayalan."

Aku mengangguk. "Tapi, kamu senang, 'kan, dengan kesempatan itu?"

"Tentu saja. Siapa yang enggak senang bisa ketemu keluarga lagi?" Mata Arin berkilat. "Aku pengin lihat kedua anakku tumbuh dewasa dan punya anak. Ah, aku bakal punya cucu!"

"Jadi, tujuanmu itu, ya?" tanyaku.

Arin mengangkat bahu. "Aku senang melihat mereka semua bahagia. Ah ... bahkan tanpa aku, mereka tetap bahagia."

"Jangan ngomong gitu!" seruku.

"Sudah, aku mau gentayangin mereka dulu." Arin tiba-tiba melompat dari atap tempat kami duduk-duduk sejak tadi. Aku dan Deha mengikuti, penasaran bagaimana hantu satu ini akan gentayangan.

Sudah kuduga, ia menghampiri Ray dan Eugeo yang kali ini tidak terlihat galau, justru antusias dengan selebaran yang dipegang Ray.

"Akui saja, kamu dulu punya, Ray." Ucapan Eugeo terdengar cukup keras.

"Punya apa?" Malah Arin yang menyahut, meski tak ada yang bisa mendengarnya selain aku dan Deha.

"Kalaupun aku punya itu dulu, sekarang sudah tidak ada. Apa gunanya?" sahut Ray.

"Apa yang tidak ada?" Kali ini, aku yang bertanya.

"Oh." Eugeo menoleh padaku. "Istri."

"Woi!"

Bahkan, meski yang satu sudah mati, dapat kulihat kekompakan Ray dan Arin. Keduanya sama-sama meninju wajah Eugeo sambil berseru keki.

"Ray! Bercanda! Ampun!" Eugeo mengusap wajahnya. "Tapi, kok aku merasa kena tinju di kanan-kiri?" Ia menatapku garang.

"Bukan aku." Aku mengangkat tangan.

"Haha, itu Arin, mau meninjumu juga," sahut Ray datar, tetapi membuat Arin melonjak.

"Dia bisa merasakanku! Ya, 'kan? Ray memang peka!"

Aku hanya menghela napas. "Jadi, apa yang dulu ada tapi sekarang enggak, selain Arin?"

"Oh, kemampuan unik Ray sebagai seorang Luthier. Dia pengrajin dan seniman, dulu, sebelum negara api menyerang," jawab Eugeo.

"Ya, aku punya itu, dulu, sekali. Sekarang, aku sudah bukan luthier lagi. Tanganku tremor, hitunganku kacau, bahkan mataku enggak bisa membedakan jarak dengan tepat." Ray menyentuh eyepatch di mata kirinya. Jika dibuka, akan tampak iris yang kelabu pudar, kentara sekali dengan cokelat madu di mata kanannya.

"Wah ... kalian ngomongin seniman, toh. Bukannya Ray sudah punya banyak bawahan yang juga seniman?" Deha menyahut.

"Ya, kita lagi bahas itu tadi. Toko mebel Ray perlu diperbesar karena permintaan naik. Karena itu, butuh karyawan baru. Aku ingat kalau Ray juga punya kemampuan seniman, tapi dia menolaknya," jawab Eugeo.

"Sudah kubilang, itu dulu!" sergah Ray.

"Sudah, kalian berdua!" Arin maju. Heran, keduanya terdiam. Sama-sama kaget dan memandang satu sama lain.

"Kalian merasakan Arin, ya?" tanyaku. "Bagiku, dia memang ada di sini, sekarang. Tapi, bagi kalian, Arin sudah meninggal. Jadi, ya, begitu." Aku mengangkat bahu.

"Tare!" Eugeo berseru. "Jangan bikin Ray galau lagi!"

"Enggak kok, enggak." Ray mengibaskan selebaran di tangannya. "Aku sudah tenang sejak menyepi semalam. Dah, pembicaraan ini lanjut lain kali saja. Sekarang, kita bakal jalan-jalan!"

"Jalan-jalan?" Eugeo melongo.

"Dengan hormat, saya mengundang bapak-bapak sekalian untuk ke rumah saya, Rumah Danau di Utara." Rehan tiba-tiba muncul dan membungkuk dengan begitu formal. "Semuanya diundang. Baik yang masih hidup maupun sudah mati. Baik manusia atau bukan. Bapak, anak, lansia, batita, semuanya."

"Kaget!" Ray melonjak dan terjatuh. Ia berdiri dibantu Eugeo. "Kembaranku masa kecil, enggak bisakah kamu permisi dengan lebih sopan?"

"Enggak." Rehan menyeringai.

"Jadi, kita semua diundang?" Eugeo memastikan. "Sampai rumput dan pohon-pohon juga?"

"Itu cuma pemanis," sungut Rehan.

"Nah, kita mau jalan-jalan ke rumah dia!" Ray menuding Rehan. "Geo, siapkan mobilmu. Biar Lia dan Tora naik mobil Radit, aku menumpang keluargamu. Dua makhluk ini, terserah, mereka 'kan mau naik kucing batu raksasa."

"Makhluk apa?" Aku berseru gusar.

"Kalian yakin bisa ke sana? Susah, lho, kalau enggak teleportasi," ujar Deha.

"Bisa, kok. 'Kan, sudah ada Tora." Rehan menyeringai, entah maksudnya apa. "Jadi, kita ke utara Catalyn sekarang, oke? Aku ikut kamu, Tare. Karena aku harus sampai duluan."

"Aku juga!" BZ muncul tiba-tiba.

Aku menghela napas, lalu nyengir. "Baguslah. Dua cerita ini akan benar-benar bersatu. Makasih sudah memfasilitasi, Reh!"

Rehan hanya mendengkus.

Persiapan keberangkatan tiba. Aku, Deha, Rehan, juga BZ, melaju lebih dulu di atas Terra.

"Aku merasa nostalgia," gumam Deha. "Seperti ... aku merasa ada di tahun aku seharusnya, 2015."

"Ya, karena kalian semua ada sejak 2015," sahutku. "Buang saja aku setelah ini. Enggak lama lagi, kok. Lima hari lagi."

Deha menyeringai. "Mereka yang mau merundungmu sudah ketemu. Sebaiknya, kamu manfaatkan waktumu di sini, selagi masih ada."

"Tentu saja."

(Bersambung)

****

Lima hari lagi, saya terdepak dari Hayalan.

Sedih, tapi sudahlah.

Jkt, 22/2/21
AL. Tare

Trapped in Hayalan (Again)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang