Day 27

14 3 0
                                    

Tema:
[ Masuk ke web https://www.generatormix.com/random-genre-generator masukkan angka 5 lalu klik generate. Buat cerita dari genre ke-3 yang muncul. ]

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****

Genre: Apocalyptic (anggap post-apo, tapi tbh aku gatau aku ngetik apa)

Judul: Albaroya dan Lavender

*Sebenernya cukup nyambung dengan konteks senryu kemarin, tapi saya tetep kasih react patah hati 💔

****

Dua anak itu belum lahir ketika Perang Terakhir pecah. Dunia rata, meninggalkan padang tandus tak berpenghuni, di mana pancaran radiasi menembus kulit, mengevolusi makhluk hidup—terutama manusia, mematikan seluruh tumbuhan hijau. Kadar oksigen menipis, meski masih di batas normal. Namun, dengan memperkirakan "perebutan oksigen" yang entah akan terjadi atau tidak, pemerintah negara adikuasa mengeluarkan regulasi kontroversial: mengurangi populasi dunia yang sebenarnya sudah tinggal sedikit, dan hanya menyisakan sepersekian yang sudah diseleksi dengan embel-embel "bibit unggul."

Perang Terakhir menghancurkan segalanya. Hutan tempat bernaung aneka satwa, mata air sumber kehidupan. Daratan terkikis abrasi. Manusia meronta mencari pertolongan yang berujung seleksi.

Apa kriteria lolos seleksi? Entahlah. Yang jelas, mereka yang "beruntung" itu akan memasuki pesawat-pesawat yang akan membawa mereka ke sebuah tempat harapan. Kubah Kemakmuran.

Dua anak itu juga masih belum lahir ketika seluruh manusia terseleksi sudah berkumpul dalam naungan kubah seluas 10000 km² dan mendengarkan aneka peraturan yang mengikat. Pembagian jatah makanan sintetis dan sumber energi, sandang, serta tempat tinggal.

Sebuah negara baru sudah terbentuk.

****

Seperti semua hal yang berada dalam kontrol penguasa, bayi yang baru lahir pun begitu pula. Lebih ke belakang, pernikahan pun diatur dengan ketat. Tiap-tiap persilangan harus menghasilkan keturunan yang unggul, tahan banting, cerdas, serta tidak cacat sedikit pun.

Alba dan Ven merupakan generasi pertama yang lahir dalam kubah. Mereka bukan saudara, namun mereka ditakdirkan untuk bersama—oleh penguasa. Apa mungkin mereka mempelajari genetik dan kemungkinan persilangan mereka?

"Kalian akan melihat banyak hal, karena kami berusaha hidup berpindah-pindah demi mengacaukan sistem. Mungkin, suatu saat nanti, kami akan lenyap. Kalian harus tetap berdua—ingat! Berkawanlah dengan siapa saja, tapi kalian jangan sampai terpisah."

Jangan sampai terpisah.

Mengapa larangan itu begitu kuat?

****

Suatu hari, orang tua mereka pergi ... dan tak pernah kembali.

Mereka tetap hidup berpindah-pindah tanpa ada masalah. Mereka berkawan dengan anak-anak lain. Mereka menonton hiburan, lewat layar kaca ataupun langsung. Mereka bermain-main, saling berebut makanan, dan hal-hal lumrah lainnya.

"Ven, aku punya keinginan."

"Aku juga," sahut Ven, tanpa bertanya lebih jauh apa keinginan kawannya.

"Kalau begitu, ayo kita kejar."

"Tapi agak mustahil," ungkap Ven.

"Enggak papa. Simpan saja dulu, siapa tahu ada keajaiban."

Mereka lagi-lagi pergi melihat perlombaan. Saat itu, Alba tiba-tiba menghilang. Ven kelabakan mencarinya. Mereka tak pernah saling berpisah, maka Ven amat panik dibuatnya.

Namun, esoknya, Alba sudah kembali. Dengan sorot mata yang jauh lebih muram.

"Aku sudah enggak punya keinginan."

****

Beberapa tahun kemudian, suara jeritan memecah heningnya malam, disambung suara berderak keras dan desingan pesawat raksasa.

Pertahanan di belantara tanpa kehidupan dimulai. Hantu-hantu padang pasir entah itu apa, senyawa kimia beracun dari pembuangan limbah tak terawat, besi-besi korosif bekas kehidupan di dalam kubah ... siapakah yang mampu bertahan?

Yang jelas, Alba dan kelemahan fisiknya–entah sejak kapan ia dapatkan, tiba-tiba saja kakinya sulit digerakkan–tak bisa berkelana untuk mengais kehidupan. Ven yang menemukan segala-galanya. Orang-orang prihatin yang berusaha memberi ransum entah dari dunia mana, juga mesin-mesin aneh tempat ia terakhir kali melihat beberapa kawan mereka. Aneka rumor soal dunia baru, eksperimen (lagi), dan segala-galanya ... sudah cukup. Ven hanya ingin hidup, dengan Alba, meski itu berarti ia harus berjuang keras.

Dan mematahkan takdir yang, katanya, sudah tergurat.

****
****
****
****

"Jadi, kalian sudah memutuskan?"

Alba dan Ven mengangguk semangat.

"Mau bangun rumah sendiri?"

"Itu perkara gampang!" seru Ven. Ia terlalu semangat.

"Gampang atau enggak, nanti aku bantu." Rehan memelotot galak. Ia tampaknya kesal dengan kepedean Ven.

"Oke, makasih." Alba buru-buru menyahut sambil menahan Ven yang sudah siap menyemprotkan kata-kata.

"Aduh, baru sampai jangan ribut, dong." Lia muncul tiba-tiba, cengar-cengir tanpa dosa. "Kayak Tora aja, baru sampai langsung ngebet jadi koki."

"Dia 'kan tuan rumah!" sahut Rehan.

"Baik, para tamu terhormat sekalian, silakan diminum dulu." Lia meletakkan baki berisi bergelas-gelas minuman dingin, lalu berdiri dan mengencangkan celemeknya. "Aku senang kalau bisa masak buat banyak orang begini."

Kami baru sampai di Rumah Kota beberapa jam lalu. Sebelumnya, kami melalui sebuah area yang ... ingatannya direkam oleh Bunga Kenangan. Membuat Alba dan Ven bisa bercerita macam-macam, dan membuat semua tercengang-cengang.

"Tahun 2200-an, Hayalan sudah enggak ada," itu komentar BZ. "Dan itulah yang terjadi, kayaknya. Perang Terakhir."

"Udahlah, jangan menerka-nerka," gerutuku. Aku sendiri akan sangat tersiksa kalau hidup sampai 300 tahun lamanya–kecuali kalau dengan itu aku bisa dijamin masuk surga.

Pokoknya, di sini kami sekarang. Berkumpul dengan dua keluarga yang berbeda kehidupan, juga dengan bintang tamu Alba dan Ven. Lia dengan senang hati melayani para tamu. Tora sibuk di dapur bersama pamannya. Zele dan Azh sedang beramah tamah dengan Ray ... dan Arin. Kakak dan Rehan asyik menginterogasi Alba dan Ven. Deha meringkuk di sudut ruangan, bersama Terra versi mini. Aku duduk diam di salah satu kursi baca, dengan BZ dan RI di sisiku.

"Ini cuma imajinasi," ucap RI tiba-tiba.

"Apa?"

"Ini bahkan bukan jiwamu. Ini cuma alam pikiranmu, bukankah begitu?" sahut RI. "Aku enggak bisa memaksamu untuk kembali ke kenyataan seperti tahun lalu karena kamu sedang enggak begitu baik. Tapi ... ayolah. Semangat."

"Aku semangat," gumamku.

"Jangan stres, nanti tambah sakit. Buat sekarang, apa pun yang bikin kamu lebih bahagia, selama enggak melanggar koridor, akan kudukung."

Aku nyengir. Kapan lagi RI mendukungku dalam zona nyaman?

"Tapi, mau enggak mau, aku harus kembali ... besok, atau nanti."

"Ya, selamat menempuh realitas."

*****

Day 27 - done

Maafkan hamba karena enggak ss full, tapi beneran yang ketiga apocalyptic. Meski, mungkin, ini lebih ke post-apo.

Jaga kesehatan, gais, meski di rumah saja

Jkt, 27/2/22
zzztare

Trapped in Hayalan (Again)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang