Day 6

32 4 0
                                    

Tema: Buat cerita dengan setting tahun 2301

*****

Judul: Anak Laki-Laki yang Muncul dari Langit

Genre: semacam post-apo

*****
*****
*****

Awan tidak tampak. Langit memerah. Radiasi matahari tumpah ruah.

Entah berapa lama tak turun hujan. Semuanya tandus, gersang. Gelombang panas naik dari permukaan, bergulung-gulung terbawa angin, mengembuskan debu.

Berita-berita sudah tak penting lagi. Siang-malam nyaris tak ada bedanya.

Penduduk Bumi hanya tahu satu hal: tetaplah bertahan hidup, meski harus merenggut kehidupan orang lain.

"Besok tahun baru 2301, tetapi apa yang akan terjadi? Semua juga tahu, setiap hari di sini adalah sama."

"Aku mau mati."

Anak itu menoleh cepat ke sumber suara. "Apa-apaan? Kamu harus tetap hidup!"

"Lebih baik mati. Enggak akan ada yang kerepotan lagi. Aku enggak akan jadi beban, aku juga akan berhenti mengeluh dan pergi dengan tenang."

Siapa mereka? Entahlah. Hanya segelintir yang tersisa dari semua makhluk hidup di Bumi.

"Jangan! Jangan mati!" Anak perempuan itu histeris. "Aku akan pakai opsi terakhir, asal kamu enggak mati ...!"

"Opsi terakhir?"

Anak itu mengajak si putus asa tadi pergi, mengarungi lautan debu dan panas, ke sebuah tempat yang dipenuhi besi tua aneka bentuk. Ada apa di sana? Ada sebuah proyek rahasia yang kabarnya bocor ke telinga si anak perempuan, yang ia bagikan infonya pada si anak laki-laki.

Sebuah alat yang tampak seperti rongsokan tampak dingin menyambut. Si Anak Perempuan yang sejak tadi histeris menggandeng si Anak Laki-laki yang terlihat lemah.

"Realitas virtual ...." Anak perempuan itu menggumam. "Kamu akan tetap hidup di sana ... asal kamu enggak mati ...."

"Apa-apaan? Ini namanya memaksaku untuk masuk ke dalam khayalan semu! Aku akan lupa ingatan dan dibodohi dengan utopia, padahal kenyataannya ...."

"Karena kamu harus tetap hidup." Si Anak Perempuan mencengkeram lengan laki-laki itu. "Aku akan rutin mengunjungimu. Aku akan melihat ekspresi bahagiamu, meski itu palsu."

"Hei, jangan memaksakan kehendakmu! Aku yang akan kena akibatnya, bukan kamu!"

"Aku enggak pernah mengeluh ingin mati. Kamu yang putus asa. Karena itu, kamu yang akan masuk ke sana. Ke dunia imajiner yang jauh lebih baik dari sekarang."

Anak laki-laki itu terlalu lemah. Ia tak bisa melawan ketika tubuhnya didorong memasuki mesin aneh itu. Mesin yang langsung melalapnya ....

Aku justru malah akan mati di sini, bukan?

Gimana mungkin dia bisa menemuiku lagi? Dia memang mau aku mati. Dia bosan denganku, orang yang hanya bisa mengeluh!

****

Aku bisa membacanya.

Dari sorot mata penuh kebingungan anak itu ... ia sama herannya dengan kami, kenapa bisa tiba-tiba ada di sini.

Bukan hanya itu, aku juga bisa melihat "masa lalunya" ... yang sepertinya justru jauh melampaui masa sekarang.

"Besok bukan tahun baru?"

"Tahun baru udah lama lewat, Dek," ungkap Tora.

"A-aku bisa gerak?" Anak laki-laki itu gelagapan. "Aku di mana?"

Siapa yang tidak heran ketika ada anak laki-laki tiba-tiba turun dari langit dan mendarat di atas Terra? Beruntung Tora sempat melihatnya. Ia yang menyambut anak itu--menangkap tubuhnya yang berangsur turun.

Deha tampak berpikir. "Kamu di ... Hayalan? Tapi kok bisa masuk?"

Anak laki-laki itu memegangi kepalanya. "Aku sungguhan masuk realitas virtual?"

"Realitas virtual? Masuk?" tanyaku. "Kamu dari tahun berapa?"

"Besok itu tahun baru 2301 ...."

Kami semua terpana.

"Deha, tahun segitu 'kan, pasti ...." Aku menoleh ke Deha.

"Pasti Hayalan sudah tidak ada." Deha tampak pucat. "Aku, kamu, enggak bakal bisa hidup sampai sana."

"Ini kapan?" tanya anak lelaki itu.

"Ini ... tahun 2022," gumamku.

"Apa? Aku mundur berapa tahun?!" Anak itu langsung menegang. "Tunggu, ini hanya semu, 'kan? Kalian enggak nyata?!"

"Kamu ... masuk ke dalam dunia imajiner, yang membawamu jauh ke masa sebelum kamu hidup," jawabku akhirnya. "Apa kamu masuk ke sebuah gerbang? Atau ... suatu alat?" Padahal aku sudah tahu.

"Alat ... ya. Aku dipaksa masuk ke sana karena aku merepotkan saja. Katanya, aku akan bahagia kalau tinggal di dalam utopia ... di sini?"

"Apa mungkin ini sebuah kesalahan?" Aku bertopang dagu. "Hayalan memang dunia imajiner–meski bukan utopia seperti yang kamu kira. Alat itu membawamu ke salah satu dari sekian banyak dunia yang ada, dan karena Hayalan sudah hancur saat kamu hidup ... kamu jadi dibawa ke masa lalu."

"Tapi, di sini terlihat jauh lebih baik." Anak itu merangkak ke pinggir dan melihat pemandangan yang ada. "Lihat, itu awan, bukan? Di tempatku, awan enggak ada lagi. Hujan enggak pernah turun. Dan pepohonan ... uh! Aku hanya pernah melihat ini di foto atau buku!"

"Namamu siapa?" tanya Tora.

Anak laki-laki itu menoleh. "Panggil aja aku ... Alba."

"Alba? Aku Tora." Tora mengulurkan tangannya. "Semoga, kalau kamu nanti kembali ke waktu dan tempat asalmu, kamu bisa merasa lebih baik."

"Em ... ya ...." Anak itu tampak ragu saat menyambut uluran tangan Tora. "Aku jadi sehat sungguhan di sini. Pemandangannya pun asri. Mungkin kata Ven memang benar. Aku bisa bahagia di sini."

"Kamu mau ikut?" tawar Tora. "Gimana, Tare?"

Aku mengangguk saja.

"Ya ... tapi, apa kalian tahu cara aku kembali?" Alba menunduk. "Mungkin, Ven bisa melihatku berwajah bahagia sekarang, tetapi aku masih mau menemuinya ... yang kubilang itu aku mau mati, biar aku enggak berharap hal-hal muluk seperti sekarang ini."

"Hei, berpikir positif aja." Tora menepuk bahu Alba. "Kamu masih bisa berharap, kamu masih hidup, kamu bisa menjadi bahagia seperti yang diinginkan Ven-mu itu. Nanti kami akan mencari cara supaya kamu bisa kembali. Siapa tahu, ketika kamu bangun nanti, di tempatmu sedang hujan lebat? Atau sudah berubah menjadi hutan rindang?"

Alba menggigit bibirnya. "Terima kasih."

"Misi kita bertambah," ucap Deha. "Don't worry, Alba. Aku ruler di sini. Aku akan membantumu keluar kalau kamu mau."

"Terima kasih!" Wajah Alba berubah lebih cerah.

"Baik, kita sudah hampir sampai di perbatasan," ucap Deha. "Persiapan menembus sekat. Pegangan yang kuat, semuanya!"

Sulur bunga raksasa itu memanjang, melilit kami semua, melindungi dari guncangan apa pun yang akan terjadi. Sekat semesta itu memisahkan antara kisah yang tak sejalan, hanya bisa ditembus oleh segelintir orang.

"Terra," gumamku, "tahun 2301 nanti, aku pasti sudah tiada. Hayalan juga pasti udah hancur. Itu berarti, kamu ... melaksanakan amanahku, bukan?"

Ya.

Aku menghela napas, teringat Haiku yang kubuat tahun lalu.

Kelak saatnya
Hayalan jadi rata
Aku tiada

****

Day 6 - done

Jkt, 6/2/22
zzztare

Character unlocked: Alba!

Trapped in Hayalan (Again)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang