Bab 05 | Suntikan Semangat

96 24 24
                                    

Pertemuanku dengan Rara kemarin, membuatku baru menyadari kalau gadis itu memang tercatat sebagai mahasiswa di kampus ini. Bahkan dia sering wara-wiri di depan sekret UKM Musik. Namun, mengapa diriku sama sekali tak pernah melihatnya?!

Ke mana saja aku selama ini? Kenapa baru menyadarinya sekarang? Untung saja aku belum kehilangan start lebih dulu dari laki-laki lain. Jika tidak, aku mungkin akan berakhir menyesal seperti yang sebelum-sebelumnya.

Sejak saat itu, aku jadi semakin rajin main ke sekret. Setiap kali aku berada di sana, aku selalu duduk di depan. Entah itu sekedar mencari angin, atau hanya berpura-pura mengotak-atik gitarku. Padahal semua itu hanya alasan semata, karena aku hanya ingin mencari-cari perhatiannya.

Sebelumnya aku sering menggodai pacar Brian dengan menjodoh-jodohkan dia sama Doni. Namun, kali ini aku sudah berniat pindah haluan. Lebih baik aku memperjuangkan cintaku sendiri, daripada mengurusi orang lain.

Apalagi aku masih kapok karena sempat mendapatkan imbasnya. Kemarin Brian tiba-tiba datang ke studioku dan melabrak kami. Iya kami, aku dan Dion saat itu hanya berdua saja di dalam studio yang kebetulan tidak sedang ada jadwal apapun. Sehingga secara kebetulan kami sama-sama merasa bosan. Akhirnya kami memutuskan bermain game di komputer yang letaknya di dalam studio.

Meskipun Brian hanya berlagak sok garang. Tetap saja hal itu membuat Dion hampir kencing di celana. Hingga akhirnya aku pun turun tangan dan mengaku bersalah.

Kembali pada gadis itu, Rara saat ini tampaknya hendak lewat di depan sekret lagi. Langkah kakinya terlihat ceria seperti biasanya. Sedangkan diriku tak mau melewatkan momen ini. Maka langsung saja kusapa dirinya sembari menunjukkan senyuman terbaikku.

"Siang, Rara!"

"Siang, Bang Jev!" balasnya dengan senyuman lebar.

Respon yang kudapat sungguh memuaskan. Hanya dengan tiga kata saja, sudah mampu menerbangkanku sampai ke langit yang ketujuh.

Benar apa kata pepatah, kalau bahagia itu memang sederhana. Hanya dengan melihat senyumannya saja, suasana hatiku langsung berbunga-bunga. Sepertinya aku harus rutin memeriksakan diri ke dokter mulai sekarang, karena setiap kali aku melihat senyumannya. Aku seakan takut kalau diriku telalu cepat mengidap penyakit diabetes di usia muda.

Selain itu ada satu lagi fakta yang baru aku tahu. Ternyata dirinya adalah calon guru di masa depan. Beberapa waktu lalu, aku tak sengaja melihatnya keluar dari gedung FKIP.

Mantap sekali calon jodohku yang satu ini! Aku sudah bisa membayangkan kalau suatu saat nanti ketika kami berhasil membina rumah tangga bersama, aku tak perlu khawatir tentang pendidikan anak-anakku. Sebab bundanya saja sudah bisa menjadi pendidik yang baik untuk mereka.

***


Sore hari setelah kelas berakhir biasanya lebih enak kalau mengisi perut dengan jajanan yang tak memberatkan. Apalagi otakku berhasil mengebul setelah kelas siang yang baru saja aku ikuti. Jadilah sekarang diriku berakhir di sini, di salah satu rombong pedagang cilok tepatnya di depan kampus.

Biasanya aku ke sini tak sendirian, melainkan dengan Brian. Namun, teman jajanku itu entah mengapa tiba-tiba beralasan tak bisa ikut karena harus menghadiri kelas.

Oh, ayolah! Aku bahkan tak percaya dengan alasannya yang terdengar tak masuk akal itu. Mana ada kelas di jam empat sore seperti ini? Bilang saja dia lagi bokek atau lagi sibuk kencan. Cuih, Penghianat!

"Paklik, endhi sunduke?" kataku ketika baru tiba di depan rombong cilok.

"Teko-teko, golek sunduk! Bayar disek utangmu sing wingi," omel Paklik William, si penjual cilok legend depan kampus. Mau tau perawakannya seperti apa?

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang