Bab 15 | Sebuah Alasan

58 17 0
                                    

Selama hampir satu jam kami menghabiskan waktu dengan mengobrol sembari menikmati beberapa hidangan yang menggugah selera. Sayangnya nafsu makanku tiba-tiba menghilang entah ke mana. Mungkin karena seseorang yang duduk di hadapanku saat ini. Tak jauh berbeda, gadis itu pun sama gelisahnya denganku.

Tampak sekali kalau ia merasa tak nyaman dengan topik obrolan para orang tua yang sedang membahas tentang pertunangan kami. Ya, entah mengapa setelah mereka tahu kalau aku dan Rara sudah saling kenal, kini mereka malah lebih gencar lagi untuk segera mempersatukan kami.

Berhubung aku dan gadis itu masih menempuh pendidikan. Jadi mereka tak memaksa kami untuk langsung menikah, melainkan hanya bertunangan saja. Selain itu juga sembari menunggu kami siap menjalankan amanah di bawah ikatan suci penikahan.

"Kalau begitu, bagaimana kalau acaranya diadakan bulan depan saja?" usul Tante Wibowo.

"Bagus itu, aku setuju!" seru ayahku. Sejenak pandangan matanya beralih padaku. "Gimana, Jev? Kamu bisa 'kan?" tanya lelaki itu kemudian.

"Hah?! Ehm..," ucapku ragu.

Jujur saja, aku tak bisa memutuskannya sekarang. Pikiranku masih kalut. Sejenak kulirik gadis itu, dia juga tak jauh berbeda denganku. Kami sama-sama masih shock, karena acara tersebut akan berjalan lebih cepat dari yang kami kira.

"Gimana, Ra? Kamu nggak keberatan 'kan?" timpal Om Wibowo pada anaknya.

Rara tampak bingung harus menjawab seperti apa. "Pah.. Rara-"

Belum sempat gadis itu menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba aku langsung memotongnya begitu saja.

"Om, maaf kalau Jevan menyela, tapi boleh Jevan bawa Rara sebentar? Ada yang mau Jevan bicarakan berdua saja dengannya."

"Haha.. ya boleh dong! Kalian tampaknya perlu waktu berdiskusi terlebih dahulu ya. Maaf kalau gitu, sepertinya kami terlalu antusias," balas Om Wibowo disertai dengan tawa kecilnya.

Lalu dilanjutkan oleh ayah, "Iya benar. Kalian ngobrol-ngobrol dulu. Nanti kalau udah saling nyaman satu sama lain, kita bahas lagi. Gimana?"

"Iya benar itu," ucap Tante Wibowo menyetujui.

Rara tampaknya masih bingung. Namun, aku segera bangkit dari tempat duduk. Lalu mengajaknya keluar dari ruangan ini. Sebelum itu, kami sama-sama berpamitan pada para orang tua. Bahkan Om Wibowo juga sempat menitipkan anak gadisnya padaku.

***


Sepanjang perjalanan, aku dan juga Rara, sama-sama larut dalam pikirannya masing-masing. Tak ada satupun dari kami yang berniat memulai obrolan. Hingga mobilku berhasil terparkir sempurna di depan salah satu restoran fastfood yang tak jauh dari tempat pertemuan kami tadi.

"Turun dulu, Ra," ucapku singkat tanpa melihatnya dan langsung membuka pintu mobil.

Aku berjalan selangkah di depannya. Sedangkan dia hanya diam seraya mengekoriku dari belakang. Ketika sampai di dalam restoran, aku langsung menyuruhnya untuk memilih tempat duduk. Namun, sebelum itu aku sempat bertanya padanya soal menu yang ingin ia pesan.

Selama aku sibuk mengantri, dapat kuperhatikan dari sini, ternyata dia memilih duduk di dekat jendela. Sejauh mataku memandang, tampaknya gadis itu sudah lebih tenang dari yang sebelumnya.

Sampai sekarang aku masih tak habis pikir dengan konspirasi macam apa yang telah alam semesta berikan padaku. Sebelumnya aku telah memantapkan diri untuk melupakan gadis itu, tapi mengapa Tuhan malah menarikku untuk selalu terlibat lagi dengannya.

"Silahkan, Kak. Mau pesan paket berapa?"

Sapaan si penjaga kasir itu seketika membuyarkan lamunanku. Segera aku maju satu langkah lebih dekat padanya. Tanpa pikir panjang aku langsung menyebutkan beberapa menu yang ingin kupesan.

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang