Bab 33 | Awal Baru yang Buruk

49 18 0
                                    

Selama di perjalanan, hatiku terus merasa tak tenang. Padahal sebelumnya aku sudah yakin sekali kalau ayah tidak mungkin terlibat dalam kasus ini. Namun, entah mengapa tiba-tiba hatiku meragu.

Sebuah tepukan pelan mendarat di bahuku. Segera aku tersadar dari lamunan panjang. Kini kepalaku spontan menoleh kepadanya, rupanya Dion baru saja memberikan isyarat agar diriku segera turun sekarang juga.

Hari ini aku berencana mengunjungi ayah yang telah ditahan dibalik jeruji besi. Beliau dituduh telah menerima suap dari dana pembangunan bersama dengan kawan-kawannya yang lain. Sebenarnya aku ingin berangkat sendiri, tapi Dion memaksa ingin ikut. Sekaligus dia ingin memastikan kalau diriku tetap dalam keadaan baik-baik saja.

Bagiku lelaki itu sedikit berlebihan, tapi aku tak bisa menolaknya. Hingga berakhirlah kami di depan gedung yang tingginya menjulang ke atas. Sebuah gedung yang tampak tertutup dari luar. Bahkan tak ada akses keluar-masuk selain pagar besi.

"Lo gak mau turun, Bang?" tanya Dion saat melihatku yang tak kunjung beranjak dari tempat duduk.

"Yon, bukan dia 'kan orangnya?" ucapku yang malah bertanya balik padanya. Pandangan mataku saat ini tampak kosong. Seakan aku tak memiliki semangat untuk melanjutkan hidupku kembali.

Dion menghela napas panjang sebelum akhirnya ia menjawab, "Lo gak percaya sama Om Jono, Bang?"

Aku terdiam membisu. Jujur aku juga tak yakin dengan diriku sendiri.

"Oke, kita pulang sekarang," ucapnya cepat sembari menyalakan mobil.

"NGGAK!" balasku segera mencegahnya.

"Ya udah, sana turun! Gue tunggu di sini."

Dion, tetaplah Dion. Lelaki itu memang tak pandai berkata manis di depan semua orang. Dengan berat hati aku pun turun dari mobil. Lalu segera berjalan melewati gerbang besi tersebut.

***

Saat di dalam, aku sedang duduk sembari menunggu kehadiran ayah. Hatiku sangat gelisah sekarang, hingga orang yang kutunggu akhirnya datang juga. Ayah berjalan pelan ke arahku, dengan dikawal seorang polisi di sisi kirinya.

Saat kedua mata kami saling beradu, beliau langsung tersenyum padaku. Sebuah senyuman yang kuketahui tampak palsu. Mungkin pria itu hanya ingin menyembunyikan rasa sakitnya dariku.

Apalagi saat melihatnya mengenakan baju khas seorang tahanan, membuatku seketika itu meringis. Ayah yang biasanya terlihat sumringah, kini entah mengapa di mataku tampak sangat layu.

Saat ini ayah telah duduk di hadapanku. Waktuku memang terbatas, tapi aku masih belum ada niat untuk memulai obrolan. Hingga pada akhirnya dirinyalah yang mengalah.

"Jevan, kamu sehat, Nak?" ucapnya lirih disertai dengan senyuman tipis yang kembali ia perlihatkan.

Aku rasa, diriku harus membalas senyuman itu. Mau bagaimanapun keadaannya, aku harus memberikan dukungan padanya. Jadi, alangkah baiknya kalau aku tak menuruti egoku.

"Jevan sehat kok, Yah. Ayah gimana?" balasku sembari tersenyum tipis padanya. Meskipun sebenarnya nada suaraku terdengar sedikit kaku.

"Syukurlah."

Aku kembali menunduk menatap ujung sepatuku. Keheningan kembali menyelimuti kami. Aneh rasanya kalau kami hanya menghabiskan waktu dengan berdiam diri seperti ini. Padahal jika dalam situasi biasa, selalu saja ada bahan obrolan menarik yang kami bahas bersama-sama.

"Kamu dan Rara.."

Mendengar ada nama lain yang ia sebut, dengan cepat aku kembali mengangkat kepala, lalu menatapnya secara langsung.

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang