Bab 26 | Ayah

62 14 0
                                    

Hari ini aku akhirnya pergi memancing bersama dengan ayah. Rencana ini seharusnya terealisasikan beberapa hari yang lalu. Namun karena ayah baru saja pulang, jadi kami baru bisa berangkat sekarang. Untung saja masih ada sisa dua hari sebelum aku kembali ke rutinitas kerja seperti biasanya.

Aku dan ayah memang memiliki hobi yang sama yakni memancing. Awalnya aku tidak terlalu menyukai kegiatan ini. Bagiku, memancing merupakan kegiatan yang paling membosankan. Tak jarang aku sering menguap lebar sembari menunggu umpanku dimakan. Namun karena seringnya diriku menemani ayah memancing, aku malah terbiasa dan menemukan hal yang menarik dari kegiatan ini.

Sekarang kami berdua sama-sama sibuk. Jadi, sudah jarang sekali meluangkan waktu untuk melakukan hobi ini. Bahkan aku sampai lupa terakhir kali datang ke kolam pancing langganan kami.

Tak seperti biasanya yang hanya ada kami berdua. Kini suasana bertambah ramai karena kehadiran seseorang di antara kami. Dia sengaja kuajak–ah, bukan! Maksudku dia yang memaksa ikut setelah tahu kalau agendaku hari ini adalah pergi memancing bersama dengan ayah.

Kebetulan tadi ayah sempat mendengar percakapan kami di telepon. Sehingga mau tak mau, aku pun harus mengalah darinya. Hingga akhirnya orang tersebut ikut duduk di antara. Dialah orangnya, Rara yang saat ini tengah bercengkrama dengan ayah.

Banyak hal yang mereka bahas sedari tadi, mulai dari ceritaku yang awalnya tak menyukai hobi ini. Hingga ayah mengakui kehebatanku dalam menangkap ikan yang ia anggap lebih bagus darinya. Sedangkan diriku hanya sesekali menanggapi karena harus tetap fokus menyetir.

Saat ini kami masih dalam perjalanan menuju kolam pancing. Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai di tempat. Namun, perjalanan ini terasa ramai karena kehadiran gadis itu yang secara tak langsung membawa energi yang positif di sekitar kami.

Bahkan Rara tak malu-malu mengajak serta ayah berkaraoke ria di dalam mobil. Mereka dengan serasinya berduet lagu kenangan tahun delapan puluhan. Aku sempat kaget ketika gadis itu menghafal semua lirik lagu tanpa salah sedikitpun. Bahkan aku saja tak tahu lagu ini.

Aku menggelengkan kepala saat meliriknya sekilas melalui kaca spion tengah. Kelakuan mereka sudah tidak ada bedanya lagi. Gadis itu seakan tak pernah kehabisan tenaga. Berkali-kali aku harus menahan rasa pengang di telingaku, lantaran suara cempreng miliknya beradu dengan suara ayah yang terdengar fals khas bapak-bapak.

Beberapa menit kemudian, suasana kembali kondusif. Tampaknya mereka sudah kehabisan tenaga untuk meneruskan ke lagu berikutnya. Kini ayah memulai kembali obrolan santai di dalam mobil.

"Rara jago juga ya nyanyinya," puji ayah dengan tulus. Namun, pujian itu membuatku seketika melototkan mata karena tak terima. Bagaimana tidak, suara seperti tikus kejepit di loteng tapi ayah bilang jago?

"Hehe.. iya, Om. Gimana? Udah cocok belum gantiin Kak Jevan sebagai vocalist Fivetune selama dia kerja?" balas Rara dengan nada bangga.

Aku lantas mendengus sebal. Tak habis pikir dengan isi otaknya yang terlampau random. Mana mungkin ia dengan modal suara seperti itu bisa menggantikanku sebagai salah satu vocalist terbaik di Fivetune? Yang ada nanti malah fans-fans setiaku bisa kabur semua.

Namun, pada dasarnya ayah dan Rara sudah sangat akrab sejak kami berangkat tadi. Dengan percaya dirinya beliau menimpali omongan gadis itu. "Oh, ya jelas dong! Tenang aja, Ra! Nanti Om coba kontak Dion, deh. Kali aja kamu bisa masuk lewat jalur dalem."

Suara tawa mereka pecah menghiasi seisi mobil. Hingga membuatku hanya bisa menggelengkan kepala sekali lagi.

"Kenapa, Jev? Merasa tersaingi sama tunangan sendiri, ya?" tanya ayah saat sadar akan perubahan ekspresiku.

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang