Bab 13 | Ungkapan Rasa

68 17 17
                                    

Senang sekali rasanya karena aku akhirnya bisa melalui satu langkah besar dengan baik. Hari ini sidang proposalku diadakan. Walaupun kemarin aku sempat melalui berbagai macam drama, tapi sekarang aku berhasil sampai pada titik ini.

Ini memang bukanlah langkah akhir dari perjalanan tugas akhirku. Namun, aku tetap saja merasa gugup sekali. Bahkan aku sempat gelisah saat sedang menunggu giliranku tiba tadi.

Untung saja semuanya berjalan dengan lancar. Walaupun kata pengujiku, ada beberapa bagian yang harus direvisi lagi. Tak apalah! Yang terpenting sekarang aku sudah merasa sedikit lega.

"Selamat ya, Bang!"

Aku terlonjak kaget ketika Wisnu, Brian, dan Dion langsung menyambutku heboh saat keluar dari ruang sidang. Bahkan mereka sampai berbaris demi bisa menyalamiku secara bergantian. Seakan kita sedang melakukan halal bihalal dadakan di lorong lantai dasar. Sontak hal tersebut berhasil membuatku tertawa geli mengingat kelakuan mereka yang terlampau ajaib ini.

"Loh, Sigit mana? Kok gak kelihatan? Wah, dia gak setia kawan lagi!" ucapku saat sadar kalau satu orang lagi tak hadir di antara mereka.

"Dia lagi ada kelas, Bang. Jadi cuman nitip ucapan selamat aja," jelas Brian.

"Oh, gue pikir dia udah lupa sama sahabat satunya ini."

***


Setelah melepas rasa tegang, aku memutuskan beristirahat sejenak sambil duduk di taman depan gedung Fakultas Teknik. Hari sebentar lagi menjelang sore, tetapi aku masih betah berada di sini.

Anak-anak sudah pulang semua. Kebetulan tadi setelah Sigit selesai menghadiri kelasnya, dia menyusul kami yang sedang bersantai di sini. Namun, sekarang yang tersisa hanya aku seorang.

"Males pulang..," ucapku lirih.

Selain persiapan sidang, akhir-akhir ini pikiranku dipenuhi oleh permintaan ayah beberapa minggu yang lalu. Sampai sekarang aku belum memberikan jawaban apapun padanya.

Kuakui kalau aku membutuhkan waktu lama untuk menjawab permintaan tersebut, karena ini menyangkut tentang hati dan perasaan. Walaupun jawabannya sudah kupersiapkan dengan matang. Namun, tetap saja hatiku masih ragu untuk menjawabnya.

"Hah.."

Helaan nafas panjang terdengar sangat berat. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku.

"Bang Jevan, kok lesu? Sidangnya gak lancar ya?"

"Rara?"

Orang itu adalah Rara. Akhir-akhir ini, dia sering tiba-tiba muncul di sekitarku. Padahal dulu saat aku berniat mendekatinya, dia malah jarang sekali muncul di hadapanku. Bahkan kami sangat jarang memulai obrolan santai seperti ini.

Rara akhirnya berjalan pelan menghampiriku. Lalu tanpa permisi ia duduk di sampingku. Tanpa kusadari, sedari tadi aku tak bisa berpaling darinya. Bahkan hingga sekarang mataku seakan terkunci pada setiap gerak-gerik yang ia ciptakan. Dari jarak sedekat ini, dapat kujumpai wajahnya yang semakin indah ketika diterpa sinar matahari sore.

"Bang!" tegurnya sekali lagi. Hingga berhasil membangunkanku dari lamunan panjang.

"Ya?" lirihku.

"Menurut Bang Jevan, Kak Wisnu itu.. udah punya gandengan apa belum ya?" tanya Rara sedikit ragu-ragu.

Mendengar pertanyaan tersebut, aku baru sadar tentang satu hal yang kudapatkan saat liburan kemarin. Aku sempat mengira kalau Wisnu sudah mempunyai gandengan dan itu bukan Rara. Namun melihat intensitas kedekatan mereka, seketika semua pemikiran itu sirna.

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang