Bab 12 | Permintaan Ayah

65 18 17
                                    

Berakhirnya acara liburan kemarin, menandakan bahwa aku harus kembali berjuang mendapatkan acc dari dosen pembimbing. Untung saja hilal sidang proposal mulai tampak jelas. Dalam minggu ini, aku dijanjikan akan mendapatkan tanda tangan yang sudah kuidam-idamkan sejak dulu.

Senang sekali akhirnya aku bisa berangkat sidang. Walaupun aku sudah terbilang sangat telat dan kemungkinan untuk lulus tahun ini peluangnya sangat kecil. Tak apalah, setidaknya satu langkah besar sudah kulalui.

"Bu, jadikan acc sekarang?" tanyaku memastikan pada wanita yang sedang duduk di depanku. Bukannya menjawab, beliau malah menunjukkan smirk andalannya. Tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak. Mungkinkah aku bakal balik lagi besok?

"Kata siapa?!"

'Kan, bener! Aku bilang juga apa?!

"Kamu tambahin satu poin di bab tiga, ya. Memang gak penting sih, tapi saya pengennya tiap anak bimbingan saya harus nulis poin ini. Udah catat dulu, saya jelaskan sekarang."

Asyem!

Alhasil aku pasrah dan bersiap mencatat semua penjelasan beliau dengan perasaan jengkel. Sebenarnya beliau ini naksir aku atau gimana sih?! Kok dari kemarin sukanya mengulur-ngulur waktu. Seakan gak rela kalau aku cepat-cepat lulus.

***


Setelah selesai dengan urusanku, aku langsung balik ke rumah karena hari sudah sore. Inti dari bimbingan tadi itu hanya satu, fix! Beliau naksir aku! Aku sangat yakin sekali, karena aku masih heran dengan poin yang beliau maksud.

Katanya poin yang ia maksud gak wajib ada, tapi malah memaksakan diri untuk mencantumkan poin itu. Belum lagi beliau mengiming-imingku tanda tangan acc besok.

Iya besok! Aku diberi waktu sampai besok!

"Pokoknya awas aja kalau besok beneran gak dapet acc, gue simpahin kita berjodoh, Bu. Biar mampus!" omelku selama perjalanan menuju parkiran sepeda.

"Berjodoh sama siapa, Bang? Sama Rara, ya?"

Deg!

Sepertinya itu suara cewek yang sudah sangat kukenal. Entah dari mana munculnya, tiba-tiba dia sudah berdiri di sampingku. Otomatis aku sedikit terlonjak kaget ketika menyadari kehadiran Rara di sampingku.

"Ra–Rara?"

"Hehe.. sore, Bang Jevan. Berasa jomblo beneran nih kalo jalan sandirian mulu," balasnya disertai dengan cengiran lebar.

"Oh, itu gue cuman lagi capek aja sama tugas akhir," balasku sebisa mungkin mengontrol ekspresiku agar tetap terlihat biasa saja.

Jujur saja, sampai sekarang aku masih berusaha melupakan perasaanku kepadanya. Cukup berat memang, tapi syukurlah aku sudah tak sakit hati seperti dulu lagi ketika melihatnya jalan bareng sama Wisnu di sekitar area kampus.

"Semangat, Bang Jev! Bentar lagi wisuda kok."

"Amin, makasih ya."

Rara menganggukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian, kami sudah tiba di parkiran sepeda di lantai dua. Sepedaku terparkir di pojok sana. Jadi, aku tak perlu naik lagi ke lantai tiga dan seterusnya.

"Sepeda lo parkir di lantai berapa, Ra?" tanyaku ketika melihat Rara yang sudah bersiap naik tangga lagi.

Perlu kalian tandai, semenjak pulang dari liburan kemarin. Aku memutuskan memanggil dia lebih santai dari yang sebelumnya, karena aku sudah menganggap dia seperti teman perempuanku yang lain.

"Lantai lima, Bang. Tadi gue telat berangkatnya. Jadi, yang tersisa cuman di lantai paling atas."

"Haha.. kasihan deh! Semangat ya, Ra," balasku memberikan semangat balik padanya.

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang