Bab 08 | Hancurnya Ekspektasi

77 18 6
                                    

Fakta yang paling tidak kusuka adalah ketika pergi ke kampus dengan membawa mobil. Ini lebih merepotkan daripada membawa sepeda. Bukan karena jalanan di sekitaran kampusku selalu macet, tapi lahan parkir mobil terbilang terbatas.

Biasanya rata-rata yang menempati parkiran mobil itu hanya orang-orang penting saja. Seperti Pak Rektor, Pak Warek, atau beberapa dosen maupun staff kampus. Jadi, kami sebagai mahasiswa yang baik hati harus rela mengalah dari mereka.

Iyalah harus! Kalau tidak kami siap-siap menerima surat DO, alias diusir dari kampus ini. Hehe.. bercanda!

Makanya jangan heran kalau banyak mahasiswa kampus ini yang tajir melintir, tapi tetap ke kampus hanya membawa sepeda motor saja.

Hari ini aku terpaksa membawa mobil, karena Fivetune akan tampil di acara festival musik. Kebetulan acaranya diadakan di kampusku sendiri. Jadi aku diberi tugas mengangkut alat-alat musik, seperti gitar, keyboard, hingga bass. Secara studio kami juga letaknya di dalam rumahku.

Seharusnya ini menjadi tanggung jawab manajer kami. Sayangnya Sigit sedikit membuat kesalahan. Dia malah merekrut manajer yang ternyata adalah seorang cewek, bukan cowok.

Aku mana tega menyuruhnya membawa alat musik seberat ini. Belum lagi ada beberapa koper yang isinya kabel dan tetek bengeknya.

Mengenai acara festival musik kali ini, aku mau cerita sedikit. Akhirnya Fivetune bisa juga tampil di kandang sendiri. Jujur saja, sekeren apapun acara yang diadakan di luar kampus. Kami lebih bangga tampil di kampus kami sendiri.

Apalagi acara ini adalah acara yang paling besar setelah Ospek Kampus. Sebab anak FEB di kampusku sudah tidak diragukan lagi kasta kesultanannya. Jadi bisa kalian bayangkan bakal semegah apa nanti acara ini.

Setelah lelah dioper sana-sini layaknya bola sepak. Akhirnya aku bisa mendapatkan tempat parkir yang strategis. Gila ya, itu satpam! Aku kok mau-maunya dikibulin.

Lihat! Aku berakhir parkir di samping pintu masuk. Lalu buat apa tadi aku muter-muter selama hampir setengah jam.

Setelah mematikan mesin, aku bergegas meraih tas punggung berwarna hitam yang isinya barang berharga. Lalu keluar dari mobil. Sembari menyambungkan telepon pada seseorang, aku membuka bagasi untuk mengeluarkan satu per satu barang yang ada di sana.

"Halo, Git. Gue udah di parkiran nih," ucapku tanpa basa-basi di telpon.

"Iya, dekat gerbang pintu masuk."

"Oke."

Setelah mematikan telpon, kusimpan kembali handphone itu ke dalam tas. Lalu mengeluarkan barang-barang satu per satu. Aku sengaja menelpon Sigit, agar dia cepat datang ke sini sambil bawa bala bantuan. Ya bagaimanapun, tak mungkin kalau aku membawa barang sebanyak ini dalam satu kali angkut.

"Bang, sini gue bantuin."

Tak begitu lama setelah aku berhasil mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Brian tiba-tiba muncul dan berdiri di belakangku. Otomatis aku menoleh seraya bersusah payah menutup pintu bagasi.

"Nih, lo bawa bass-nya sama beberapa koper itu," perintahku padanya.

Dia mengangguk dan langsung mengambil barang yang kumaksud.

"Oke!"

Lah tumben dia jawabnya girang begitu? tanyaku dalam hati.

"Lo kenapa? Kok kayak lagi seneng gitu," tanyaku sambil meraih tas gitar.

"Hehe.. Ona akhirnya mau nonton gue manggung, Bang!" balasnya sambil senyam-senyum gak jelas. Kami akhirnya melangkah beriringan menuju backstage.

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang