Sang mentari telah kembali ke peraduannya. Kini sinarnya sudah tak tampak lagi dan tergantikan oleh kegelapan malam. Maka saat itulah diriku membelokan mobil memasuki sebuah gang di mana tempat kosan Rara berada.
Gadis itu tampaknya sudah tenang kembali. Tak ada lagi air mata di pipinya. Meskipun guratan kesedihan masih tergambar jelas di wajahnya.
Setelah berpamitan padaku, ia segera turun dari mobil. Niat awalku ingin mengantarnya sampai di depan pintu. Namun, ia malah menolakku dan menyuruhku untuk segera pulang karena esok hari aku harus bekerja kembali.
Kini aku hanya bisa memandanginya dari dalam mobil. Tampak sekali saat ini dia sedang berjalan lesu memasuki pelataran kosan. Hingga dirinya tak sengaja bertemu dengan sahabatnya.
Kulihat mereka akhirnya memasuki kamar yang kuyakini adalah milik Rara. Mungkin malam ini ada banyak cerita yang akan mereka bagi bersama. Tak masalah, perasaanku kini menjadi lega. Setidaknya gadis itu tak marasa sendirian lagi.
Sekarang sudah waktunya bagiku untuk pergi. Bukan kembali ke apartemen, melainkan ke tempat yang memang sedari tadi ingin kukunjungi. Dalam pikiranku sekarang, aku ingin segera sampai di tempat itu, lalu memperjelas semuanya.
***
Mobilku baru saja terparkir sempurna di depan rumah berukuran besar serta bertingkat. Tepat ketika aku membuka pintu, orang yang ingin kutemui tiba-tiba keluar dari dalam dengan menenteng sekantong plastik berisikan sampah. Tanpa banyak kata lagi, aku segera melangkahkan kaki lebar-lebar untuk menghampirinya."Oh? Bang Jevan! Lo pulang, Bang? Yah, undangannya udah gu–akh!"
Ucapan Wisnu terpotong begitu saja karena aku langsung menghujam wajahnya dengan bogeman keras. Seketika lelaki itu langsung jatuh terduduk di atas tanah beraspal karena memang posisinya tak siap menerima serangan tiba-tiba dariku. Hingga akhirnya kantong sampah yang ia pegang tadi, kini ikut terjatuh sampai isinya berceceran ke mana-mana.
"LO APA-APAAN SIH, BANG?!" sentaknya tak terima atas perlakuanku.
Aku yang tengah diselimuti amarah ini, semakin terpancing untuk mengajaknya bergulat. Tanpa banyak kata kutarik kerah bajunya, hingga ia ikut bangkit dan langsung berhadapan denganku.
"LO YANG APA-APAAN, NU?! KENAPA LO BUAT RARA NANGIS, TERUS LO TINGGALIN GITU AJA, HAH?!" jawabku dengan nada tinggi.
"GUE GAK TAU MAKSUD LO YA, BANGSAT!"
"LO YANG BANGSAT! KENAPA LO TIBA-TIBA NGASIH UNDANGAN KE DIA, BEGO!"
"TERUS, APA GUE SALAH NGUNDANG DIA? LAGIAN GUE KENAL BAIK SAMA DIA!"
"ASU!"
Satu pukulan kembali kulayangkan padanya. Wisnu terpental ke belakang sembari memegang perutnya. Belum sempat ia berdiri tegak, aku kembali menariknya.
"KENAL BAIK DARI MANA?! LO AJA GAK SADAR KALO DIA UDAH LAMA SUKA SAMA LO!"
"JUSTRU ITU, BANG! APA SIKAP GUE SELAMA INI MASIH GAK KEBACA SAMA DIA?!"
Bruk!
Aku kembali menyerangnya. Persetan dengan semua omong kosong yang ia ucapkan. Aku sudah tak mempedulikan statusnya sebagai sahabat dekatku.
Aku terus menghujaminya dengan pukulan bertubi-tubi. Begitu juga dengan dirinya yang tak mau kalah denganku. Adu jotos pun terjadi, walaupun kali ini aku yang lebih mendominasi.
Tak ada yang melerai kami, karena suasana di sekitar kami memang sedang sepi. Bahkan penghuni kosan, tempat Wisnu tinggal pun tak ada yang menyadari.
Setelah beberapa menit kami habiskan untuk saling menyiksa diri. Kini aku sudah merasa puas karena memukulinya. Wajahnya tampak babak belur di segala sisi. Bahkan sudut bibirnya sedikit robek, hingga mengeluarkan darah.
Kaos rumahan yang kukenakan, sudah tak berbentuk lagi karena ia tarik ke mana-mana. Begitupun juga penampilannya yang tak jauh berbeda denganku. Satu kancing kemejanya yang paling atas tampak terlepas dan tak tahu jatuh di mana.
Dengan sisa kekuatan yang kupunya, aku kembali melontarkan sebuah kalimat ancaman untuknya.
"Lo!" tunjukku tepat pada kedua bola matanya secara langsung. "Jangan harap hubungan kita masih sama kayak dulu lagi! Mulai saat ini, gue gak sudi punya sahabat kayak lo lagi!"
Barulah setelah itu aku berbalik, lalu berjalan menjauh darinya.
"Cuih! Emang dia siapanya lo? Sampai-sampai lo lebih belain dia daripada gue sahabat lo sendiri!" ucapnya dengan sinis.
Aku lantas tak terima dan langsung berbalik lagi menghadapnya. Dengan sengit aku pun berkata, "Dia tunangan gue! Kenapa? Lo mau nyakitin dia lagi?!"
Wisnu terdiam mematung saat diriku dengan sengaja membongkar rahasia pertunangan ini di hadapannya secara langsung. Mungkin dirinya sedang shock sekaligus merasa bersalah, karena telah menyakiti orang yang kuanggap paling berharga itu.
"Lo–"
Kalimatnya tercekat, sampai tak dapat ia lanjutkan kambali.
"Iya, gue lakuin ini karena gue sayang sama dia. Asal lo tau, Nu! Gue hampir ninggalin dia demi lo, tapi lo ternyata yang malah nyakitin dia kayak gini."
"Kalo gitu, yang salah di sini bukan gue dong! Tapi dia!" ucapnya egois.
Aku maju satu langkah lebih dekat lagi padanya. Namun, bukan untuk memulai perkelahian kembali. Melainkan hanya ingin mengintimidasinya.
"Jangan mancing gue lagi, Nu! Segera minta maaf ke dia, atau persahabatan kita selamanya akan berakhir."
Setelah mengatakan hal itu, aku langsung masuk ke dalam mobil lalu meninggalkannya. Diriku kembali membelah jalanan kota dengan kecepatan di atas rata-rata. Hingga aku merasa sesak dan tak sanggup lagi. Kuputuskan untuk menepi sejenak, karena saat ini aku merasa hanya ingin sendiri.
Seharian ini emosiku dibuat naik turun terus-menerus. Tak ada barang sejenak untukku beristirahat. Permasalahan antara diriku, Rara, dan juga Wisnu kini bertambah pelik.
Hancur sudah persahabatan yang kubangun dengan lelaki itu selama lima tahun ini. Aku tak menyangka bahwa semua berakhir karena masalah perempuan.
Air mataku turun tanpa dipandu lagi. Kini aku menangis sendirian di tengah-tengah ramainya kendaraan yang berlalu lalang di jalan tol. Seketika aku menyesali keputusanku yang memilih untuk membantu gadis itu. Seharusnya sejak awal kutolak saja dia, tapi kenapa dengan bodohnya aku malah mengikuti alur permainannya?
=TBC=
KAMU SEDANG MEMBACA
Look At Me | Eaj
Фанфик[WattpadRomanceID's Reading List - September 2022 - Cerita Bangku Kampus] Jevan Aldebaran Sujono adalah seorang laki-laki yang dikenal selalu memiliki kisah cinta berakhir pahit. Hal inilah yang mendorong ia untuk menyerah dan lebih memilih menikmat...