Bab 19 | Hangatnya Malam

70 17 0
                                    

Pada malam di hari kelulusanku, keluargaku dan keluarganya Rara sepakat merayakan keberhasilanku bersama-sama. Seperti biasa akan ada makan malam yang menjadi agenda wajib bagi kami ketika berkumpul. Tak lupa juga dengan diselingi obrolan santai.

"Jevan, habis lulus kamu mau kerja di mana?" tanya Om Wibowo sembari memotong dagingnya.

"Kebetulan Om, Jevan udah diterima kerja di Gresik," balasku dengan bangga.

Memang setelah yudisium satu bulan yang lalu, SKL-ku sudah berada di tangan. Jadi aku bisa langsung melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan, salah satunya perusahaan kontruksi yang akhirnya mau menerimaku.

"Wah, bagus itu! Bisalah habis kerja kamu langsung ngajak Rara nikah," sela Tante Wibowo yang sukses membuat anak gadisnya tersedak kuah sop buntut. Segera kuraih selembar tisu, lalu memberikannya pada Rara.

Rara langsung menerima tisu tersebut tanpa mengeluarkan suara apapun. Saat kualihkan pandangan darinya, semua pasang mata di meja ini malah tertuju pada kami. Tatapan mereka menyisyaratkan kekaguman atas perilakuku. Seakan mereka merasa lega karena pada akhirnya perjodohan ini tak berakhir sia-sia.

"Bener 'kan, Mas Jono? Lihat! Mereka saja sudah cocok begini. Jadi mau nunggu apalagi?" kata Om Wibowo ikut memberikan komentar.

Kemudian langsung disetujui oleh ayah. "Iya, betul! Jadi kapan nih, Jev, Raranya mau diresmikan?"

Duh, salah lagi gue, gerutuku dalam hati.

Dari sudut mata, kurasa Rara mulai tak nyaman dalam duduknya. Berkali-kali ia menggigit bibirnya karena cemas. Sepertinya gadis itu masih belum terbiasa dengan obrolan mengusung tema pernikahan dan tetek bengeknya.

"Ehm.. maaf Om, Tante. Apa gak sebaiknya nunggu Rara lulus saja? Jevan juga belum nabung apa-apa buat masa depan kami," jawabku realistis.

Ya, memang sejak awal antara aku dan Rara sepakat kalau ingin fokus pada studi masing-masing. Setelah itu barulah kami memikirkan masa depan, seperti pernikahan mungkin?

"Iya juga, ya. Kalau gitu  sambil nunggu Rara wisuda, kamu harus rajin-rajin menabung mulai dari sekarang," ucap ayah memberikan nasehat.

Lantas aku pun mengangguk.


***


Selepas acara makan malam bersama, Om Wibowo berserta istrinya langsung pulang ke Surabaya. Namun sebelum itu, mereka sempat menitipkan anak gadisnya padaku. Di sinilah kami sekarang. Saat ini aku dan Rara berada dalam satu mobil. Sedangkan ayah pulang sendiri menggunakan mobil yang dikendarai oleh supir pribadinya.

Selama dalam perjalanan, tidak ada percakapan sama sekali antara kami berdua. Hanya ada suara radio yang mengalunkan lagu-lagu lawas era sembilan puluhan. Serta sesekali suara klakson kendaraan di luar sana sengaja dibunyikan karena padatnya jalanan Kota Malang. Hingga tepat pukul setengah sepuluh, mobilku berhasil terparkir di depan gerbang kosannya.

Tak seperti biasa, kali ini Rara memintaku mengantarnya sampai depan gerbang. Sebab ia sudah memberitahu hubungan kami pada Ona. Aku tak akan marah padanya. Wajar kalau dalam hubungan persahabatan sangat mustahil menyembunyikan sebuah rahasia.

Yah, anggap saja kami sama-sama impas sekarang. Dia berbagi rahasia ini dengan Ona, sedangkan aku berbagi rahasia dengan Dion.

"Ra, gak mau masuk?" tanyaku sembari mencolek lengannya. Sedari tadi tampaknya dia sedang banyak pikiran. Terlihat jelas dari gerak-geriknya yang tengah asyik melamunkan sesuatu.

"Hah?! Oh... iya," balasnya singkat. Buru-buru gadis itu membuka pintu. Namun, sedetik kemudian dia malah mengurungkan niatnya.

Aku lantas menaikkan sebelah alisku, merasa aneh dengannya. "Kenapa? Ada yang ketinggalan?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan berusaha mencari sesuatu. Mungkin saja memang benar ada barang miliknya yang ketinggalan di dalam mobil.

Rara lantas berbalik dan langsung menghadapku. Raut wajahku semakin bingung saat melihatnya tengah gelisah. Apa dia ingin membahas ketidaksiapannya atas permintaan orang tuanya tadi?

"Kak Jevan?"

"Hm?" gumamku.

"Kakak... beneran mau kerja di luar kota?" tanya dia lirih. Ah, rupanya gadis ini ingin membahas soal pekerjaanku.

"Iya," jawabku singkat. Kini raut wajahnya tiba-tiba berubah murung.

Rara kembali berkata sambil menundukan kepalanya, tak berniat menatap mataku langsung, "Yah, Rara sendirian dong di sini?"

Hah?! Gimana? Gimana?

"Hah? Maksud kamu, Ra?"

"Yah, itu! Sepi 'kan kalo gak ada Kak Jevan di sini."

Aku hampir saja menjerit senang setelah mendengar ungkapan jujur darinya itu. Namun, segera mungkin aku menahan senyumanku supaya tak meledak saat ini juga. Baik mari kita simpulkan bersama-sama. Jadi, Rara saat ini sedangkan berusaha menahanku agar tidak jadi pergi jauh darinya, benar 'kan?

"Kan masih ada Ona sama Dion, Ra. Kalian jadi sering kumpul bareng 'kan setelah selesai KKN," balasku meminta pengertian darinya. Aku tak mau terlalu percaya diri kali ini.

Tanganku kini bergerak mengusap ujung kepalanya. Dia masih menunduk dalam. Malah sekarang gadis itu sibuk memilin ujung dress selututnya. Melihatnya seperti itu, aku jadi tak bisa menahan diri lagi untuk tidak tersenyum lebar padanya.

"Kamu juga bisa panggil Wisnu kalau mau. Kebetulan dia keterima kerja di Malang 'kan? Jadi, dia gak ada alasan balik lagi ke Solo," kataku tanpa berpikir terlebih dahulu.

Ah, sial! Mengapa di saat seperti ini aku malah menyebut nama laki-laki itu?!

"Iya... tapi 'kan–" ucapannya terputus saat mata bulat itu bersibobok denganku. Spontan usapanku di kepalanya terhenti saat itu juga.

"Hah... udah lupain aja. Rara gak mood bahasnya lagi," lanjut gadis itu kembali. Kini ia berpaling memandang ke depan dengan wajah khas orang yang sedang cemberut.

Sejenak kuhela napas berat, berusaha untuk bersabar lagi dalam menghadapi perubahan sikapnya ini. Rara boleh saja menunjukkan peningkatan dalam hubungan kami. Namun, bukan karena alasan ini yang kuinginkan.

Kedua tanganku memegang kedua sisi pundaknya. Perlahan kuputar posisinya agar menghadapku kembali. "Ra, dengerin aku dulu. Aku usahain pulang tiap minggu deh, tapi aku gak janji sama kamu. Kamu ngerti 'kan?"

"Tapi, Kak...," rengeknya sekali lagi.

"Ssst! Aku pasti selalu ngasih kabar ke kamu kok. Hm?"

Dia masih diam seraya menatapku dalam. Sedangkan aku tersenyum menyakinkannya sekali lagi. Hingga pada akhirnya ia mau dan menganggukkan kepalanya. Meskipun aku tahu kalau gadis itu masih terkesan agak berat melakukannya.

"Kak..."

"Ya?"

"Boleh peluk?"

Aku bergeming sesaat ketika mendengar lontaran kalimat yang tak pernah kuduga sebelumnya. Rasanya seperti mimpi melihat dia berubah dalam waktu sekejap mata. Padahal masih tergambar jelas di memoriku saat pagi tadi dia datang bukan untukku, melainkan untuk lelaki lain yang hingga detik ini masih mengisi hatinya.

Rara masih menunggu jawaban dariku. Hingga satu detik kemudian, aku pun mengangguk secara perlahan. Segera mungkin dia menghambur ke pelukanku. Kubalas juga pelukannya tak kalah erat.

"Pokoknya Kak Jevan di sana gak boleh nakal, ya!" ancamnya dengan nada dibuat serius.

"Iya," bisikku singkat sembari mengeratkan pelukan kami.

=TBC=

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang