Bab 07 | Asumsi

86 19 9
                                    

Hari ini kebetulan aku ada jadwal bimbingan jam tujuh pagi. Akhirnya diriku bisa menemui Ibu Dosen tercinta setelah hampir tiga minggu beliau tak pulang-pulang. Iya benar, kali ini tiga minggu pemirsa! Sudah sangat cocok kalau beliau disuruh cosplay jadi Bang Toyib.

Bayangkan saja, aku harus menahan rasa rindu bimbingan dengan beliau selama itu. Bukan rindu pada orangnya, tetapi rindu akan tanda tangan acc darinya. Sorry-sorry aja, aku bukan laki-laki murahan yang mengharapkan bini orang.

Cuih!

"Gimana? Mau saya tanda tangani atau gak nih, Jev?" tanya beliau setelah selesai membaca draf proposal yang sudah kurevisi sebelumnya.

"Ya maulah, Bu!" seruku terdengar antusias.

"Sayangnya jari tangan saya ini lagi sakit buat digerakin," ucap beliau beralasan. Entah mengapa, firasatku merasa tak enak.

"Yah, Bu. Kali ini aja, ya? Saya udah siapin lembar persetujuannya loh dari kemarin," bujukku sekali lagi sambil menunjukkan secarik kertas yang hampir lusuh karena sudah lama berdebu dan tak kunjung beliau sentuh.

"Niat banget sih, kamu!"

Yah, mau gimana lagi, Bu. Saya 'kan juga pengen cepat lulus, batinku meraung.

"Udah sini buruan catet yang perlu kamu revisi lagi!" lanjut beliau. Sayang sekali bujuk rayuku lagi-lagi tak mampu menembus relung hatinya. Beliau tetap ngotot menyuruhku kembali merevisi proposal untuk kesekian kali.

Asyem!

Akhirnya aku hanya bisa menghela napas pasrah.

"Inggih, Bu."

Cepat-cepat kusiapkan alat tempur mulai dari buku note kecil, bulpen, hingga handpone untuk merekam isi penjelasan dari beliau. Sekalian untuk berjaga-jaga barang kali aku melewatkan poin penting yang belum kucatat.

Sorry, ya! Walaupun begini, aku merupakan anak cowok paling rajin sebimbingannya. Buktinya saja aku tak pernah meminjam bulpen atau kertas pada temanku yang lain. Heh, gak level!

***


Setelah hampir tiga puluh menit berlalu, aku akhirnya keluar dari ruang dosen. Cepet, ya? Memang! Rugi banget, tidak sebanding dengan penantianku selama tiga minggu ini. Ternyata pas bertemu hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit saja. Selebihnya aku tetap tak mendapatkan acc.

"Bang! Dari mana?"

Baru saja aku hendak naik ke lantai atas, ternyata tiba-tiba ada sebuah suara yang memanggilku. Aku tahu kalau keadaan lobby saat ini sedang sepi. Saat menoleh ke belakang, di sana aku bisa mendapati Wisnu tengah berjalan santai menghampiriku.

"Dari neraka," jawabku malas ketika dia sampai di depanku. Maklum mungkin ini efek dari gagalnya mendapatkan acc tadi.

"Wah, asyik dong! Gak kayak gue dari surga," balasnya girang.

Aku hanya mendesis sembari menatapnya sinis. Sedangkan dia masih menyengir lebar. Kami pun akhirnya melangkah beriringan menaiki tangga.

"Masuk pagi?" tanyaku yang merasa aneh lantaran dia jarang masuk pagi. Biasanya dia lebih senang join di kelas siang.

"Nggak, tadi kebetulan lagi nebengin temen. Dia yang masuk pagi."

Lah, tumben? Wah, gak beres, ucapku dalam hati. Sepertinya hal ini patut untuk dicurigai.

"Halah! Palingan ya, soal cewek," tebakku to the point.

"Nah, itu lo tau!"

Eh, tebakanku benar ternyata! Aku pikir, dia akan mengelak lagi sama seperti yang sebelumnya. Jadi begini, di antara kami berlima cuman Wisnu saja yang tak suka kalau segala urusannya dikaitkan dengan yang namanya perempuan. Jika sudah begitu, dia langsung marah dan tidak mau bicara seharian penuh pada kami.

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang