Bab 27 | Sepucuk Undangan Berwarna Pastel

51 14 0
                                    

Setelah dua hari kami pergi memancing, kini aku kembali disibukkan dengan rutinitas kerja. Bangun pagi, lalu pulang tengah malam. Selalu begitu dan terus terulang tanpa henti.

Namun, aku sama sekali tak merasakan penat apapun karena hari-hariku semakin berwarna dengan hadirnya Rara di sisiku. Semenjak aku kembali bekerja, komunikasi kami tak pernah putus lagi. Kini aku lebih sering membalas semua pesan darinya ketika disela-sela waktu istirahatku.

Bahkan setiap malamnya, sebelum aku pergi tidur, kami selalu menyempatkan diri untuk berbagi cerita tentang keseharian masing-masing melalui panggilan suara maupun video. Tidak ada lagi rasa cemas dan tak ada lagi rasa tak percaya diri. Aku semakin yakin bahwa dirinya sedikit demi sedikit mau membuka hati untukku.

Benar apa kata ayah saat di pinggir kolam kemarin, cinta itu tak selamanya diungkapkan dengan kata-kata. Namun selagi dia merasa nyaman berada di dekat kita, maka hal itu sudah cukup membuktikan bahwa cinta itu memang ada. Dan aku percaya, hal ini juga bisa terjadi pada Rara.

Honey 🐰
Kak..
Udah pulang??

Me
Belum ☹
Lembur lagi 😔

Honey 🐰
Haduuuh!
Kayak gak ada karyawan lain aja 😒
Kenapa kamu disuruh lembur mulu sih?!

Me
Kamu udah ngantuk ya?
Tidur duluan aja gak papa!

Honey 🐰
Gak mauuuu ☹
Kangeeeennn
Pengen vc 👉👈

Hampir saja aku melompat kegirangan karena saking kagetnya. Namun, buru-buru kuurungkan mengingat saat ini aku masih berada dalam ruangan yang juga ada karyawan lain bernasib sama denganku. Namun, tetap saja raut kebahagiaanku tak dapat kusembunyikan lagi. Sejenak kunetralkan kembali ekspresiku, lalu kembali mengetikan balasan untuknya.

Me
Maaf ya..
Aku gak bisa kalo sekarang
Di sini lagi banyak karyawan
Nanti aja gimana??
Aku janji habis ini selesai kok

Honey 🐰
Oke deh..
Rara tunggu
Met lembur, sayangku
Muah~ 😘

Kali ini hampir saja aku membanting ponselku. Rara memang sangat sulit ditebak. Selalu saja ia berhasil mengejutkanku. Atau memang aku saja yang sudah lama tak merasakan indahnya kebucinan ini.

Setelah mengunci layar ponselku, aku segera meletakkan benda tersebut di atas meja. Kuputuskan tak membalas pesannya lagi. Bisa bahaya nanti kalau pada akhirnya dia merengek meminta hal yang macam-macam padaku.

Sejujurnya sedari tadi aku merasa semua gerak-gerikku selalu diperhatikan oleh seseorang yang ada di ujung sana. Namun, aku sama sekali tak menggubrisnya dan kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda.

Aku tahu kalau sampai saat ini dia masih sakit hati melihatku. Lantaran diriku telah menolaknya secara mentah-mentah. Namun, aku juga tak terlalu merasa bersalah karena posisiku bisa dibilang sebagai korban di sini.

Yup! Korban dari pelecehan yang hampir dilakukan oleh Shela tempo hari yang lalu.

Di tengah-tengah kegiatan mengetik, dia tiba-tiba bangkit dan berjalan padaku. Kupikir dia akan memulai 'peperangan' lagi di sini. Namun aku salah, dia hanya melewatiku dengan raut muka yang terlihat dongkol.

Ada kepuasan batin tersendiri bagiku saat aku telah berhasil menunjukkan padanya bahwa aku tak akan mudah goyah. Katakan saja caraku ini terlalu norak atau semacamnya. Namun yang jelas, sampai kapanpun aku akan terus menjaga perasaan ini seutuhnya hanya untuk Rara seorang. Bukan untuk gadis lain, termasuk dirinya.

***


Pada weekend kali ini, aku lebih memilih menghabiskan waktu dengan berbaring malas di atas sofa. Tangan kiriku menekan-nekan remot TV. Sedangkan tanganku yang lain terus sibuk menyuapi keripik kentang ke dalam mulut.

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang