Bab 24 | Goyah

71 15 0
                                    

Keesokan harinya, semua rencanaku tak berjalan dengan lancar. Setelah mendapati diriku bangun kesiangan, aku lantas berlari tunggang langgang menuju kamar mandi. Aku tak berani mandi dan hanya membasuh muka dengan asal-asalan. Takut kalau aku terlalu lama membuang waktu, nanti yang ada Rara marah padaku.

Kemarin gadis itu sempat mengatakan kalau dirinya sudah memiliki janji dengan dosen pembimbing pada jam tujuh pagi. Jadi, aku harus mengembalikan sepedanya pagi ini juga. Setelah memakai kaos, aku langsung menyambar kunci motor yang sengaja kusimpan di atas meja belajar.

Saat keluar dari kamar, kudapati suasana rumah yang masih tampak sepi. Mungkin ayah baru kembali esok hari. Tanpa membuang waktu lagi, aku lantas mengunci pintu dan bergegas mengeluarkan sepeda dari garasi.

Selama di perjalanan, tak henti-hentinya aku melirik jam yang menempel di tanganku. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit lagi, ucapku dalam hati ketika membelokan sepeda memasuki sebuah gang yang sudah tak familiar lagi bagiku. Namun belum sempat aku sampai di tempat tujuan, dari jarak seratus meter di depan sana aku malah berpapasan dengan orang yang sangat kukenali.

Itu Rara, tapi dia tak sendiri. Melainkan sedang bersama dengan Wisnu. Mereka melewatiku tanpa menoleh ataupun menyapaku. Kulirik sekilas dari kaca spion, ternyata mereka benar-benar tak menyadari keberadaanku karena terlalu asyik berbagi cerita di atas motor berdua.

Sakit yang dulu pernah kurasakan dulu, kini kembali menyeruak ke permukaan. Perasaan kecewa sudah tak dapat kusembunyikan lagi. Terutama ketika diriku tak sengaja bertemu dengan Ona, sahabat satu-satunya yang dekat dengan Rara itu, mengetahui kehadiranku saat memarkirkan sepeda di pelataran kosan.

Dari ekspresinya, dia tampak bingung bercampur kaget karena secara tiba-tiba aku datang dengan mengendarai sepeda milik Rara. Aku baru ingat kalau kami sudah lama tak bertegur sapa. Apalagi ditambah kondisiku yang kini telah merantau ke kota lain.

"Loh? Bang Jevan?"

Aku tersenyum simpul padanya. Sepertinya ia hendak membuang sampah, karena di tangannya terdapat kantong plastik berukuran cukup besar. Mungkin hari ini dia tak ada jadwal bimbingan seperti Rara, makanya ia tampak santai di hari senin. Aku pun turun dari sepeda dan berjalan menghampirinya.

"Lah, Rara baru aja–"

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, aku langsung memotongnya lebih dulu.

"Nitip ini ke Rara ya, Na!" kataku sambil menyerahkan sebuah kunci sepeda padanya.

"O–oh, iya Bang.."

Ona segera meletakkan kantong sampah itu dan buru-buru meraih kunci tersebut dari tanganku.

"Oke, makasih. Gue balik dulu," pamitku dan langsung pergi begitu saja.

Kiranya aku agak kurang sopan karena langsung berpamitan tanpa basa-basi menanyakan kabarnya terlebih dahulu. Namun, mau bagaimana lagi? Aku sudah sangat kecewa pada sahabatnya itu. Aku pun tak mau kalau dia juga ikut terkena imbasnya dari kemarahanku, padahal dia tak salah sama sekali.

"Bang Jevan!"

Aku berhenti sejenak saat Ona kembali memanggilku. Ketika aku menoleh ke belakang, dia lantas tersenyum sembari mengepalkan tangannya menyemangatiku.

"Semangat, ya!"

"Iya, kamu juga, Na!"

Aku pun membalas senyuman itu. Meskipun aku merasa kalau senyumanku terlihat aneh, karena terlalu memaksakan diri.

Setelah berucap demikian, aku langsung berjalan menjauh. Saat sampai di depan gang, aku lantas memesan gocek.

***

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang