Bab 28 | She is Hurt

55 14 0
                                    

Jarak dari kota Gresik ke kota Malang sangat mustahil kalau ditempuh dalam waktu satu jam. Namun, itu tak berlaku bagiku. Aku berhasil sampai di tempat tujuan dalam waktu yang lebih singkat dari yang seharusnya.

Meskipun selama dalam perjalanan, diriku banyak sekali melanggar rambu lalu lintas. Dimulai dari mengebut di jalan tol. Hingga kendaraan lain sampai membunyikan klaksonnya ketika aku sengaja memotong jalan mereka.

Saat aku berhasil memarkirkan mobil di depan kafe yang disebutkan oleh Rara tadi. Aku segera turun dan berlarian masuk ke sana. Setelah membuka pintu, kuedarkan sejenak pandanganku ke segala penjuru kafe. Tak perlu waktu lama, netraku langsung menangkap pemandangan seseorang yang tengah duduk sendirian di sudut kafe ini.

Dia tampak menundukkan kepalanya demi menyembunyikan sepasang mata yang sudah sangat sembab. Bahkan secangkir coffee latte di hadapannya sengaja ia diamkan hingga uapnya tak lagi mengepul. Aku yakin sekali kalau saat ini dirinya sedang menahan isak tangis agar tak pecah kembali.

Semakin lama langkahku mendekat, maka hatiku semakin sakit saat melihatnya dalam keadaan seperti itu. Ketika aku telah sampai di dekatnya, dengan perlahan ia menoleh padaku. Sedetik kemudian hatiku teriris melihat penampilannya yang tampak sangat kacau sekali.

"Kak..," lirihnya.

Air mata gadis itu tak dapat ia bendung lagi. Dia lantas bangkit dan langsung berlari memelukku. Tubuhku sedikit terhuyung ke belakang. Namun, dengan cepat dapat kuimbangi.

Kubalas pelukannya tanpa banyak bersuara sedikitpun. Tangisannya langsung pecah dalam pelukanku. Hingga hal tersebut sukses menarik perhatian beberapa pasang mata di sekitar kami. Dari tatapan tersebut, aku bisa mengartikannya.

Kuusap punggung kecilnya sembari membisikan sebuah kalimat, "Kita keluar dulu, ya."

Dia masih bergeming dan tak mau menjawabku. Akhirnya kuputuskan untuk tetap mempertahankan posisi ini sembari membawanya berjalan perlahan keluar dari kafe. Ketika kami telah sampai di dalam mobil, dia masih menangis tersedu-sedu.

Kulirik sekilas tangannya, dalam genggaman itu tedapat sebuah benda yang tampak sangat lusuh. Tebakanku ternyata benar, benda yang kudapat dari Brian tadi pagi adalah benda yang sama dengan apa yang ia pegang sekarang. Seketika itu rasanya aku ingin marah saja. Namun, aku tak mungkin meluapkannya sekarang juga.

Kuraih sabuk pengaman untuk kupasangkan padanya. Tak lupa juga kuraih selembar tisu, lalu kuberikan padanya. Barulah setelah itu diriku bersiap mengemudikan mobil.

Sembari menunggunya puas menangis, aku terus membawa mobil ini tak tentu arah. Kuakui bahwa menghibur seseorang bukanlah keahlianku. Jadi, kuputuskan untuk tetap berada di sampingnya sampai ia tenang kembali.

Dari jarak dua ratus meter di depan sana, aku bisa melihat plakat berlogokan supermarket. Setelah sedikit menimang-nimang, aku pun memutuskan untuk menepi sejenak. Selanjutnya aku lantas turun dari mobil dan meninggalkannya sendirian.

Beberapa menit kemudian, aku kembali ke mobil lagi dengan membawa sekantong plastik. Kini Rara sudah kembali tenang. Namun, ia tampaknya tengah asyik melamun.

Kuputuskan untuk mengambil sekotak susu dari dalam kantong tersebut, lalu membukanya. Barulah kusodorkan benda itu ke hadapannya.

"Minum dulu, Ra."

Ia meraihnya tanpa membalas ucapanku. Aku tak langsung melajukan mobil ini, tapi aku lebih memilih memandanginya dari tempat dudukku. Di tengah-tengah ia menikmati minuman manis berkalsium itu, tiba-tiba sebuah senyuman manis tercetak di wajahnya. Sejenak aku merasa lega karena pada akhirnya usahaku tak berakhir sia-sia.

"Kak!" panggilnya memulai percakapan di antara kami.

"Ya?! Kamu butuh sesuatu?" tanyaku cepat.

Dia lantas menggeleng pelan. "Nggak, cuman aku ngerasa lucu aja."

Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan kembali ucapannya. "Rara sepertinya merasa de javu, deh."

Seketika kunaikan sebelah alisku. Sepertinya ia sadar kalau saat ini aku tampak bingung dengan maksud dari ucapannya.

"Inget enggak? Dulu Kak Jevan ngasih susu kotak waktu aku nangis habis putus dari mantan."

Ah, benar saja! Aku baru mengingatnya sekarang. Momen itu adalah saat pertama kalinya aku melihat dia menangis di depanku. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat.

"Kak Jevan!" panggilnya sekali lagi.

"Ya?"

"Maafin Rara, ya," ucapnya dengan penuh penyesalan sembari menundukkan kepala.

"Kenapa kamu minta maaf?"

Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menatapku lurus. "Harusnya Rara gak pantes nangisin cowok lain di depan tunangan sendiri."

Aku terdiam. Namun, sedetik kemudian tanganku meraih puncak kepalanya. Kubelai pelan, lalu tak lupa juga kutunjukkan senyuman terbaikku yang khusus untuknya.

"Kamu gak perlu minta maaf, Ra. Aku tahu kamu selama ini masih mengharapkannya 'kan?"

"Kak–"

"Ssst! Aku gak papa, Ra. Jangan khawatirin aku! Aku selalu percaya kok sama kamu."

Usapan lembutku telah berhenti. Kini yang dapat kulihat, dia menahan air matanya kembali. Namun, yang kutangkap bukanlah air mata kesakitan seperti di awal tadi. Melainkan sebuah air mata haru.

"Kak, boleh peluk nggak?"

Kusambut pelukannya dengan senang hati. Tubuhnya lantas bergerak ke depan. Dalam sekejap ia telah menyembunyikan wajahnya di dadaku. Sampai kapanpun memang sangat sulit bagiku untuk bisa membencinya ataupun marah padanya. Sebab sejatinya aku takut kalau hal itu dapat membuatnya terluka dan menangis kembali.

Sebenarnya jauh di dalam lubuk hatiku, aku lebih menyimpan kemarahan itu pada Wisnu. Aku yakin sekali kalau selama ini antara hubungan keduanya telah terjadi sesuatu. Jika tidak, mana mungkin Rara sampai dibuat menangis setelah mendapatkan kabar kalau laki-laki itu akan menikah dalam waktu dekat ini.

Lebih baik aku bicarakan hal ini dengannya secara langsung. Aku rasa sudah saatnya ia tahu dan memperjelas semuanya. Sudah cukup bagiku saat melihat Rara kesakitan seperti tadi dan aku tak ingin semuanya terulang kembali.

=TBC=

Author Note :

"Aku ra popo.." –Jevan, 2k21

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang