Bab 23 | Unreal

57 17 0
                                    

Pasca "kegiatan kami" di dapur tadi, kini aku dan Rara sedang duduk berdampingan menikmati acara televisi bersama-sama. Entah siapa yang lebih dulu memulai, saat ini dia sudah berada dalam dekapanku. Bahkan kepalanya tengah asyik bersandar nyaman di pundakku.

Sesekali gadis itu tertawa karena mendengar lelucon yang disajikan oleh pelawak yang tampil di layar kaca. Bahkan kini mulutnya tak berhenti menguyah keripik kentang.

Tak kusangka sikap gadis ini berubah setelah sekian lama kami tak berjumpa. Seakan semuanya terasa tak nyata di mataku. Bahkan sedari tadi diriku mulai terbuai akan senyumannya yang menawan itu.

Padahal beberapa jam yang lalu, suasana hatiku sedang kacau. Sempat aku mengira kalau dia hanya datang sampai rela menerjang hujan demi bisa bertemu dengan seseorang dan itu bukanlah aku. Namun, semua itu sirna setelah aku mendengarkan seluruh isi hatinya.

Ah, aku sampai lupa! Tolong ingatkan aku kembali jika bertemu dengan Dion nanti. Sebab aku harus berterima kasih padanya. Jika bukan karena dia, aku tak mungkin bisa menikmati momen langka seperti saat ini.

"Kak!"

"Hm?"

Sontak lamunanku buyar begitu saja saat tiba-tiba Rara memanggilku. Posisi duduknya kini telah berubah, ia sudah menegapkan badannya sambil duduk bersila menghadapku. Toples keripik yang ia pangku sedari tadi telah ditutup rapat, lalu disimpan di atas meja.

"Kanapa liatin aku terus? Emang yang tadi masih kurang?"

Kalau iya, emang aku boleh minta lagi?

Aku tak langsung menjawab, tapi malah membetulkan posisi dudukku. Namun, Rara tampaknya masih penasaran dan menunggu jawaban dariku.

"Ehem!" Aku berdeham sejenak sebelum berkata, "Ck! Nggak, tuh!"

Dia tersenyum misterius setelah mendengar penuturanku. "Halah! Bilangnya nggak, tapi kok salting?"

Aku mulai gelagapan, tapi buru-buru kualihkan arah pembicaraan kami. "Tadi kamu habis dari mana? Jangan bilang dari kosan?"

"Hehe.."

Spontan aku memutar bola mataku. Melihat responnya sudah dipastikan kalau dia terburu-buru datang kemari tanpa persiapan apapun. Ada perasaan senang sekaligus khawatir.

Aku senang karena dia tanpa pikir panjang langsung menemuiku setelah tahu bahwa aku pulang ke rumah. Namun, aku juga merasa khawatir lantaran ia nekat menerjang hujan deras tanpa persiapan jas hujan terlebih dahulu.

Kuraih pucuk kepalanya dan mengusapnya pelan. Tampaknya dia masih belum terbiasa dengan kontak fisik yang kulakukan terhadapnya. Aneh, padahal beberapa menit yang lalu kami bahkan saling berbagi kehangatan dalam setiap decapan bibir.

Untungnya dia tak pernah menolakku atau sampai membuatku kecewa. Mata kami saling beradu satu sama lain. Kedua sudut bibirku mulai tertarik ke atas membentuk sebuah lengkungan yang manis.

"Lain kali jangan gini lagi, ya? Aku 'kan bisa nyamperin kamu."

Rara memutuskan kontak mata lebih dulu. Dia menunduk dan lebih memilih menatap jemarinya yang sedang bermain-main di ujung hoodie yang ia kenakan.

"Tapi aku 'kan beneran kang–udahlah! Gak perlu dibahas!" balasnya sambil mengibas-ngibaskan tangan.

Sebelah alisku tertarik ke atas. Belum sempat aku bertanya mengapa, dia langsung mengganti topik pembicaraan. "Rumah kok sepi, Kak? Emang weekend gini Om Jono masih tetep kerja?"

"Oh, nggak. Ayah ke luar kota, pulangnya besok," balasku sambil mengedikan bahu.

"Ke mana?"

"Lawang," jawabku singkat. Namun, dia malah menertawaiku.

"Kenapa ketawa?" tanyaku heran.

"Ya ampun, Kak! Lawang masih bagian dari Malang kali! Deket itu."

Oh, iya! Benar juga, batinku sembari menertawai kebodohanku. "Ya, pokoknya gitulah!"

"Sayang banget, ya. Kak Jevan gak pernah pulang, tapi sekalinya pulang malah ditinggal sendirian di rumah," celetuknya diakhiri dengan tawa kecil.

"Ya udah, kamu aja yang temenin aku kalo gitu," candaku disertai dengan senyuman jahil.

"Ye, maunya!" balasnya sambil mengusap pelan wajahku.

Kami lantas tertawa bersama. Bahkan tayangan di televisi sedari tadi sudah tak kami hiraukan lagi. Sejenak kulirik jam yang ada di dinding. Tampaknya hari sudah larut malam, aku jadi merasa tak enak kalau Rara masih berada di sini. Namun, mana mungkin aku mengusirnya sekarang?

"Ra?" panggilku pelan.

"Hm?"

Dia kembali menoleh padaku.

"Gak mau pulang?"

"Oh, ngusir?" ucapnya sambil hendak bangkit. Namun, segera kutahan.

"Hah?! Enggak! Enggak gitu.. maksud aku–"

Aku menggaruk kepala yang sama sekali tidak terasa gatal. Aku jadi tak enak karena telah membuatnya tersinggung.

"Santai aja napa, Kak?! Aku juga mau balik sekarang. Udah malem 'kan."

"Eh?"

Aku hanya bisa memperhatikannya saat ia kembali bangkit, lalu membereskan barang-barangnya. Ketika ia hendak meraih kunci motor, aku segera merebut benda itu dengan cepat. Dia lantas berdecak kecil padaku.

"Kenapa lagi? Iya, ini aku pulang. Siniin kuncinya!"

Bukannya memberikan benda yang ia mau, aku malah ikut bangkit dan berjalan menjauh.

"Kak–"

"Aku antar, udah malam."

Selanjutnya dia mengikutiku dari belakang, hingga aku masuk ke dalam kamar. Namun ia tak berani melanjutkan langkahnya dan hanya berhenti di ambang pintu.

"Terus besok aku ke kampusnya gimana?"

Aku berbalik menghadapnya setelah berhasil meraih kunci mobil dan menyimpan kunci motornya di tempat yang lebih aman. Aku berjalan mendekat padanya. Saat diriku berada tepat di depannya, aku baru menjawab pertanyaan itu.

"Gampang, besok aku antar ke kosanmu," jawabku enteng. Lalu merangkul pundaknya dan membawanya melangkah keluar.

"Tapi nanti malah ngerepotin."

"Nggak, Ra. Sudah cukup tadi kamu repot-repot datang sampai nerjang hujan. Mana enak aku nyuruh kamu pulang malem-malem naik motor sendirian."

Akhirnya ia tak mampu menjawab perkataanku. Gadis itu memilih patuh dan langsung masuk ke dalam mobil.

=TBC=

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang