Bab 10 | Berproses

67 20 2
                                    

Hari ini rencana liburan yang dirancang secara dadakan kemarin akhirnya terealisasikan juga. Aku sudah menyiapkan sebuah vila yang letaknya tak jauh dari Kota Malang. Vila ini adalah vila pribadi milik ayah, biasanya memang sering digunakan kami berdua untuk pergi berlibur. Dengan catatan kalau kami sedang ada waktu senggang atau hanya ingin sekedar melepas penat.

Kemarin aku sempat bercerita pada ayah. Begitu dia tahu kami akan pergi berlibur, dia langsung menawarkan untuk memakai vila ini saja. Hitung-hitung kami bisa menghemat biaya supaya tak perlu menyewa tempat untuk menginap.

Apalagi vila ini memiliki dua kamar besar yang cukup untuk semua orang. Jadi aku tak perlu khawatir lagi memikirkan pembagian tempat tidur.

Saat ini kebetulan aku sedang dalam perjalanan menuju rumahnya Dion. Kami semua sepakat berkumpul di sana. Sebab rumah itu adalah satu-satunya tempat yang paling dekat dengan akses jalan alternatif menuju Kota Batu.

Aku sedang fokus menyetir. Di sampingku ada Wisnu yang tengah duduk anteng menikmati perjalanan. Kemarin lelaki itu memang sengaja menginap di rumahku. Katanya, dia takut ditinggal secara yang membawa mobil hanya aku dan Brian saja.

Kebetulan mobilnya Brian sudah penuh dengan barang-barang bawaan. Jadi aku sekali lagi harus mengikhlaskan si Portuner kesayangan ini untuk mengangkut para penumpang.

"Bang, yang lain udah pada kumpul di rumahnya Dion nih," lapor Wisnu padaku. Sedari tadi dia sibuk membaca isi pesan di grup Wassup.

"Ya udah, bilang aja kalau kita lagi di jalan," balasku sambil memasukkan gigi persneling.

Cekrek!

Aku lantas melotot lebar lantaran mendengar suara kamera handphone-nya. Ketika aku menoleh ke samping, benar saja si pelaku memang sengaja mengambil foto selfie-nya dengan background diriku yang sedang menyetir.

"Woi! Jeprat-jepret gak ijin dulu. Ilegal tau! Hapus gak!" protesku padanya, tapi dia sama sekali tak menanggapinya. Malah lelaki itu kembali asyik mengotak-atik handphone-nya .

Kucoba merebut benda itu dari tangannya. Namun, sayangnya tak berhasil lantaran dia terus saja menghindar. Akhirnya aku pun menyerah karena masih sayang nyawa.

"Gak papa, Bang. Masih keliatan cakep kok!" ujar Wisnu sambil menunjukkan isi layar handphone-nya padaku.

"Oke, awas aja kalau muka gue keliatan lagi gak selow! Siap-siap lo!" peringatku.

Cuman namanya Wisnu, tetap saja tak ada rasa takut-takutnya.

"Uh, atuuuuut,"ejeknya dengan nada mengesalkan.

Beberapa detik telah berlalu, hanya ada suara playlist lagu yang sengaja diputar melalui tape mobil. Wisnu sudah menaruh handphone-nya di atas dashboard. Kulirik dia sejenak, lalu mendumel tanpa mengeluarkan suara. Kebiasaan menaruh barang di sana saat berkendara seperti ini!

Aku tak masalah kalau jarak pandangku sedikit terganggu. Hanya saja kalau aku tiba-tiba mengerem mendadak. Bisa-bisa handphone itu terjatuh dan berakhir rusak saat itu juga.

Sudahlah! Si pemilik handphone saja tak mempermasalahkannya. Jadi kuabaikan saja, toh dia sendiri yang menaruh barang itu di sana. Kalau semisal hal itu benar terjadi, maka gak usah protes. Resiko ditanggung penumpang, Bos!

Drrrt.. drrrt..

Ting!

Atensi kami secara bersamaan terpaku pada benda pipih milik masing-masing. Wisnu kembali meraih handphone-nya, sedangkan aku masih fokus pada jalanan di depan sana. Kebetulan kondisi Jalan Seokarno Hatta pagi ini terpantau padat merayap. Tak heran kalau jalan ini hampir tak pernah sepi di setiap saat.

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang