Bab 32 | Kabar Buruk

52 17 0
                                    

Pasca pertengkaranku dengan Rara di basement kemarin, kini hubungan kami semakin renggang. Aku sudah mencoba beberapa kali menghubunginya untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya dengan jujur tanpa ada yang ditutup-tutupi. Namun, dia tetap tak mau mendengarkanku.

Semua pesanku tak pernah ia balas. Jangankan hanya membalas, untuk sekedar ia baca saja tidak sama sekali. Ditambah lagi ribuan panggilan dariku juga selalu ia tolak.

Aku tak bisa menemuinya secara langsung saat ini. Sulit bagiku meluangkan waktu untuk pulang di akhir pekan. Semua ini bermula dari gagalnya proyek yang kupegang kemarin. Hingga setiap harinya diriku harus bekerja lebih ekstra lagi dan memulai semuanya dari awal.

Akhir-akhir ini aku merasa takut. Bagaimana kalau nantinya keadaan tidak pernah memihak padaku. Hingga aku harus melewatkan kesempatan untuk berbaikan dengannya. Namun, aku juga tak bisa melepaskan tanggung jawabku begitu saja.

Dibalik itu semua ada satu hal yang membuatku lega. Persahabatku dengan Wisnu kini mulai membaik. Lelaki itu sempat mengabariku kalau dirinya telah meminta maaf kepada Rara.

Aku pun juga sama dengannya. Aku mengakui sikapku yang telah kelewat batas hingga membuatnya babak belur kemarin. Wisnu dengan lapang dada mau menerima permintaan maafku.

Selain itu aku juga sempat memberitahunya bahwa hubunganku dengan Rara saat ini sedang tidak baik-baik saja. Aku bercerita padanya tentang pertengkaran kami.

Dia sempat menawarkan bantuan padaku. Katanya, dia ingin mencoba berbicara kembali dengan Rara. Dia berjanji akan membujuk Rara supaya mau mendengarkan penjelasanku. Namun, aku segera menolaknya.

Aku tak ingin merepotkan lelaki itu lagi. Biarkan saja masalah ini kuselesaikan langsung dengan gadis itu. Beruntung dia mau mengerti. Hingga akhirnya dia hanya bisa memberikanku kalimat penyemangat.

***


Hari ini sama melelahkannya seperti yang kemarin. Namun, setidaknya aku bisa menghela napas dengan lega karena sedikit demi sedikit masalah tentang proyekku mulai terselesaikan. Walaupun tetap saja masih ada beberapa yang harus kuurus kembali.

"Yuk, Jev. Kita balik sekarang!" ajak Shela setelah kami selesai survei di lapangan.

Sekarang aku dan dia memang tak terlalu dekat seperti dulu. Namun, kami masih tetap bersikap profesional dalam bekerja. Jadi, tak heran kalau sesekali kami masih berangkat survei bersama-sama.

Belum sempat diriku menjawab, tiba-tiba aku merasakan getaran dari ponsel yang kusimpan di dalam saku celana. Segera kuangkat telepon tersebut sembari memberikan kode pada Shela, agar dia lebih dulu masuk ke dalam mobil tanpa menungguku. Gadis itu langsung melangkahkan kaki meninggalkanku.

"Hal.. llo, Jev!"

Alisku mengerut lantaran suara parau milik bunda langsung menyapa indra pendengaranku. Dari nada bicaranya aku langsung bisa menebak, kalau saat ini dia sedang menahan isak tangis. Seketika itu aku langsung berubah panik, ada apakah gerangan?

Tiba-tiba perasaanku mulai tak enak. Benar saja, kalimat selanjutnya yang kudengar seketika berhasil membuatku membeku di tempat. Berkali-kali kugelengkan kepala merasa tak percaya dengan semua ucapannya. Namun, kurasa bunda tak mungkin bercanda sampai sejauh ini.

"Kamu cepat pulang, ya, Jev! Bisa 'kan, Nak?" lanjutnya. Hingga ketika sambungan telepon itu terputus, aku masih tetap bergeming di tempat.

Sedetik kemudian diriku baru bisa membaca situasi ini. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berlari masuk ke mobil. Di sana Shela terlihat sedang menungguku untuk membukakan pintu.

"Shel," panggilku ketika berhenti tepat di sampingnya.

Dia menoleh padaku. "Apa? Masalah cewek lo lagi?" jawabnya sewot.

Aku tak mengiyakan ataupun mengelak perkataannya. "Sorry, gue ada perlu. Lo bisa pulang sendiri 'kan?"

Dia lantas berdecak sebal. Mungkin Shela tak suka jika kutinggalkan begitu saja di sini.

"Ck! Terus gue baliknya naik apa dong?!" balasnya sambil melipatkan kedua tangan di depan dada.

"Gue orderin gocek. Nanti gue juga yang bayar," balasku cepat sembari mengotak-atik ponsel.

"Gak! Gue gak mau!"

Seakan tuli, diriku tetap menekan tombol order pada aplikasi ojek online tersebut. Sekalipun dia terus bersikeras menolaknya.

"Udah. Gue balik duluan, ya. Sorry, Shel."

"JEV! JEVAN!" teriaknya kencang. Namun, aku sama sekali tak mempedulikannya. Dengan cepat, aku langsung menyalakan mobil dan meninggalkannya.

***


Kini aku bergegas turun ketika mobil yang kukemudikan sampai di tempat tujuan. Tanpa bertele-tele lagi, aku segera berjalan cepat memasuki rumah. Setelah diriku mendapat telpon dari bunda, tanpa pikir panjang aku pun memutuskan untuk pulang ke Malang.

Di ruang tengah sudah ada bunda yang duduk sambil menangis dengan ditenangkan oleh Om Widodo, ayah dari Dion. Sedangkan Dion sendiri berjalan menghampiriku. Ekspresi wajahnya tak bisa kuartikan lagi. Sedetik kemudian kucengkram pundaknya kuat-kuat.

"Ayah mana?!" desakku cepat, tapi lelaki itu malah menggeleng lemah, lalu menundukan kepalanya.

Seketika tanganku langsung merosot ke bawah. Dalam sekejap duniaku tiba-tiba berhenti berputar. Kakiku kini melemas serta napasku terasa sesak. Begitupun juga dengan mataku yang mulai berkaca-kaca.


Aku telat..

Ayah sudah pergi.

"Kamu yang kuat ya, Jev," ucap Om Widodo sembari menepuk pelan pundakku.

"Om.. ayah di mana?! Kenapa tiba-tiba ayah bisa ditangkap, Om?!" balasku sembari menitihkan air mata.

"Udah, Bang. Tenangin diri lo! Om Jono udah dibawa polisi," ujar Dion menenangkanku.

Namun, aku masih bersikeras tak bisa mempercayainya. Tidak! Aku mengenalnya dengan baik. Beliau bukanlah orang yang seperti itu.

"Gak, Yon! Gue yakin dia gak kayak gitu."

"Udah, Jevan. Sekarang tenangin diri kamu dulu. Besok kamu bisa jenguk dia. Oke?"

Kali ini Om Widodo yang menyuruhku untuk tetap tenang. Walaupun jauh di dalam lubuk hatiku, aku yakin kalau bukan ayah pelakunya. Namun, tetap saja aku tak bisa berbuat banyak sekarang.

Dion menuntunku memasuki sebuah kamar. Sebelum itu aku berhadapan dengan bunda.

"Bunda..," lirihku.

Bunda memelukku erat sembari membisikan sesuatu, "Kamu harus percaya sama dia ya, Jev."

Aku lantas menganggukan kepala seraya menangis di pelukannya.

=TBC=

Author's Note :

Hayo, tebak! Kira-kira ada apa dengan ayahnya si Jevan?

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang