Bab 06 | Korban Anime

73 21 17
                                    

Aku melangkah tergesa-gesa setelah memarkirkan sepeda di garasi. Lalu dengan rusuh aku masuk ke dalam rumah yang besarnya tiga kali lipat dari rumahku. Saat ini aku sudah ada janji kumpul bersama Fivetune di rumahnya Brian.

Brak!

"DION!" teriakku sembari membanting pintu rumah. Masa bodoh kalau pintu itu sampai rusak. Lagi pula sang pemilik rumah mampu membeli pintu yang baru. Bahkan seribu pintu pun bisa ia mendapatkannya.

"AYAAAAAM! AYAM! AYAM! EH, AYAM! BUSET! Bang, udah gue bilang jangan ngagetin dong! Sengaja banget, sih!" sahut Wisnu memprotesku. Maklum saja dia ini perawakannya emang kalem, tapi aslinya jangan ditanya! Kalian akan kaget kalau mengenalnya lebih dalam lagi.

Aku berani jamin jika sifatnya itu tidak gampang ditebak. Seperti saat pertama kali bertemu dengannya. Dulu aku menganggap dia sebagai manusia paling anteng di antara kami berlima. Namun nyatanya semakin aku mengenal dia, maka aku semakin menyesal karena telah menilai dia demikian.

"Salah sendiri, latah gak selesai-selesai," sindirku sambil berjalan masuk.

"Awas lo ya!" balasnya yang sudah memberi ancang-acang mau mengajakku baku hantam. Tidak, aku tahu kalau itu hanyalah bagian dari skenario bercandanya.

"Kenapa lo berani sama yang tua? Oke, besok-besok gak usah nginep di rumah gue lagi," ancamku kepadanya. Mungkin sebentar lagi dia akan memohon ampun padaku. Satu.. du–

"Yah, jangan dong, Bang. Lo gak kasihan apa sama anak rantau kayak gue," rengeknya yang pada akhirnya mengalah juga.

Benarkan yang baru saja kukatakan tadi? Memang di antara kami berempat, hanya aku seorang yang mau menampung dia ketika sedang sendirian di kosan. Sedangkan yang lain sudah angkat tangan kayaknya, termasuk Brian yang statusnya sama denganku yakni sama-sama anak tunggal.

Aku dan Brian sama-sama kesepian di rumah, tetapi dia tidak ingin repot-repot menampung Wisnu yang banyak omong itu. Katanya, ia selalu dibuat pusing ketika dirinya mendengar dongeng dari lelaki tersebut.

"Bodo! Mana Dion?" tanyaku entah pada siapa. Mataku mengabsen satu per satu manusia yang sedang berada di ruang tengah ini. Ternyata cuman ada aku, Wisnu, dan Sigit saja di sini. Aku masih belum menemukan sang pemilik rumah dan si bungsu yang kucari.

Hening, tak ada yang mau merespon pertanyaanku. Sudah biasa aku dikacangi seperti ini. Maka jalan terbaiknya adalah bertanya pada seseorang yang terlihat lebih normal daripada Wisnu.

"Git, mana Dion?"

"Ada, di dapur lagi bikin mie," jawab Sigit yang masih serius mengotak-atik DVD player milik Brian. Memang niat awal kami berkumpul di sini adalah menonton film bareng-bareng.

Halah paling ujung-ujungnya nobar bola, ucapku dalam hati.

"YON, NAMBAH MIE SOTO SATU BUAT GUE YA!" teriakku lantang agar Dion bisa mendengarnya. Kebetulan posisi dapur letaknya agak jauh dari ruang tengah.

"MALES! BUAT SENDIRI SONO!" jawab Dion songong. Ternyata dia sudah selesai dengan segala urusannya di dapur. Saat ini lelaki itu berjalan kemari sambil membawa semangkuk mie di tangannya.

Sepertinya dia hendak duduk, maka secepat mungkin kusambar mangkuk itu tanpa permisi.

"Gak usah medit! Kuburan lo sempit!"

"Ck! Bang Jevan, itu 'kan mie soto punya gue!" protes Dion setelah tahu mangkuk mie miliknya telah berpindah tangan.

"Bagi dikit!" ucapku cuek sambil melahap mie soto ini secepat kilat.

Mie ini masih terbilang panas, hingga berhasil membuat lidahku terbakar. Namun kalau aku tidak bergerak cepat, pasti mangkuk mie tersebut langsung direbut olehnya. Setelah puas menyantap mie dengan gratis, kukembalikan mangkuk itu.

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang