Bab 14 | She is..

68 18 0
                                    

Malam ini pikiranku benar-benar kalut. Entah mengapa aku terus dirundung perasaan tak rela, setelah menyerah atas rasa cintaku pada Rara. Sudah seminggu lebih aku terus dibayang-bayangi oleh perasaan itu.

Padahal aku sudah memantapkan diri dengan pilihan yang kuambil. Sebisa mungkin aku menekan dalam-dalam perasaan tersebut. Jangan sampai aku mengacaukan semuanya dan berakhir dengan membuat ayah kecewa.

Tak hanya itu, pikiranku juga dipenuhi dengan gambaran mengenai sosok perempuan yang akan dijodohkan denganku nanti. Aku terus menerka-nerka seperti apa wujud dan rupanya. Sebab hingga sampai saat ini, aku belum mengetahuinya sama sekali. Ayah bilang kalau perempuan itu masih mempertimbangkan perjodohan ini.

Sejak awal aku tak berharap banyak kalau perempuan itu akan menerimaku. Secara aku sendiri juga masih menata hati agar terlihat baik-baik saja saat bertemu dengannya nanti.

"Hah.."

Helaan nafasku terdengar sangat berat. Aku baru saja merampungkan revisian proposal pasca sidang kemarin. Tubuhku terasa lelah, tetapi hatiku lebih lelah lagi. Sejenak kuregangkan otot-otot tangan yang terasa kaku. Lalu bersender malas pada kursi.

Kepalaku menengadah ke atas, lamunanku kembali melayang entah ke mana. Hingga seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Secara otomatis kupalingkan wajah ini menghadap pintu. Ternyata ayah sedang berdiri di sana sambil tersenyum padaku.

"Belum tidur, Jev?" sapa ayah, lalu menutup pintu itu kembali. Beliau berjalan menghampiriku. Segera kubenahi posisi dudukku. Saat ini ia telah duduk di atas kasur, tepatnya di samping kursiku.

"Belum, Yah," balasku hendak berdiri dan ikut bergabung bersamanya. Namun, beliau segera mencegahku supaya tetap berada di tempat. Akhirnya aku pun menurutinya.

Kuputuskan memutar kursi menghadap padanya agar terkesan lebih sopan. Sepertinya ayah sedang ingin bicara serius padaku. Biasanya kalau beliau menghampiriku langsung ke kamar seperti ini, pasti ada hal penting yang hendak ia disampaikan.

"Ada apa, Yah?" tanyaku tak sabar ingin mendengarkan ceritanya.

"Jev, mengenai perjodohan kemarin.."

Baik, aku paham ke mana arah pembicaraan kami sekarang. Rupanya ayah ingin membahas masalah perjodohan kemarin. Mungkin ini saatnya untukku bertemu dengan perempuan itu.

"Ayah udah diskusikan dengan teman lama ayah. Anak perempuannya juga setuju. Jadi, sabtu besok kita adakan pertemuan keluarga dulu. Kamu bisa 'kan?" jelas ayah panjang lebar.

"Iya bisa, Yah."

Jawaban singkat yang kuberikan sepertinya belum memuaskan harapannya. Aku tak tahu mengapa ayah tiba-tiba murung saat membahas kembali tentang perjodohan ini.

Padahal saat aku mengutarakan kesediaanku atas permintaannya, beliau tampak sangat bahagia sekali. Bahkan setelah makan malam kemarin, beliau tak henti-hentinya bercerita tentang kedekatannya dengan teman lamanya itu. Hingga akhirnya mereka berdua kembali bertemu dan sepakat mengadakan perjodohan ini.

Mungkin ayah khawatir kalau aku tak akan bahagia dengan perjodohan ini. Entahlah, ini hanya tebakanku semata. Namun, sebisa mungkin aku memasang wajah meyakinkan agar ayah tak lagi mengkhawatirkanku lagi.

"Jevan, jangan pura-pura lagi, Nak. Ayah tahu kalo kamu terpaksa melakukan semuanya."

"Tidak, Yah. Jevan ikhlas kok. Jevan beneran mau," jawabku dengan pasti.

"Hah.. baiklah jika itu keputusanmu. Apapun akhirnya nanti, ayah tak akan menuntutmu untuk jadi dengan perempuan itu."

"Iya, Yah. Ayah gak perlu khawatir lagi, Jevan bakal bahagia kok," balasku disertai dengan senyuman lebar.

Look At Me | EajTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang