Perbincangan dengan Topik yang Baru

674 73 2
                                    

Alana, El, dan Mama El siang ini beraktivitas bersama. Mereka memasak agak banyak karena siang ini Ayah El pulang dari perjalanan bisnis ke beberapa negara. Mereka merencanakan late lunch yang ringan pada jam minum teh agar ayah El masih sempat beristirahat. Alana yang tidak terbiasa memasak jadinya hanya membantu hal-hal sepele seperti mengupas dan mencuci bahan, mengelap piring saji, dan membuatkan teh hangat untuk Mama El. 

"Maaf ya Tante, aku ga bantu apa-apa nih.." kata Alana malu. Mama El cuma tersenyum, lalu menyesap teh panas buatan Alana.

"Hmm... tapi teh buatanmu enak, kok beda ya sama yang Mama biasa buat.. padahal pakai teh Mama kan?" Alana tersenyum, lalu menjelaskan bagaimana ia meracik dan menyeduh teh milik keluarga El. "Oh, pantas.. Mama belum pernah coba cara begitu. Hasilnya enak banget ini..."

Alana melihat El dari sisi yang berbeda. El yang selama ini dingin dan pendiam di kantor, tampak seperti kucing yang manis di hadapan Mamanya, dan berubah menjadi laki-laki muda bertanggung jawab di hadapan Ayahnya. Ayah El seorang pengusaha yang tidak seperti orang kaya di sinetron televisi, berharap anaknya menjadi pewaris dan sudah dipersiapkan bahkan sebelum si anak lahir. Ayah El tampak lebih menghormati pilihan El untuk bekerja mandiri, lepas dari bayang-bayang nama Ayahnya. Sementara Alana, merasa sangat terhormat diperlakukan begitu baik oleh keluarga itu. Mungkin itu karena El jarang membawa teman-temannya main ke rumah, sehingga setiap kawan El diperlakukan istimewa. 

"Jadi kamu juga mengajar di universitas, selain meneliti di lembaga?" tanya Ayah El pada Alana. 

"Iya Om."

"Kenapa ingin jadi peneliti? Sangat jarang perempuan yang ingin jadi ilmuwan," kata Ayah El tampaknya begitu penasaran.

"Sejak kecil saya punya rasa ingin tahu yang cukup besar, dan ada hal-hal yang terus menerus menimbulkan pertanyaan. Dan proses menemukan jawabannya jauh lebih exciting dibandingkan jawaban itu sendiri, Om," jawab Alana riang. Dia selalu bersemangat jika menceritakan cita-citanya. 

"Padahal latar belakangmu dokter kan? Nggak sayang meninggalkan pasien?"

"Sejak awal saya senang dengan proses keilmuan-nya Om, meskipun menangani pasien juga menyenangkan. Tapi orang selalu harus membuat pilihan kan.. " jawab Alana tidak langsung. Ayah El mengangguk-angguk. Baru kali ini ia menemukan teman anaknya seorang perempuan cerdas. Biasanya El dikelilingi perempuan-perempuan cantik dan dangkal, untungnya tak satu pun dari mereka terlibat dengan El. Tapi Ayah El sangat paham kalau itu adalah salah satu konsekuensi El bekerja di dunia hiburan. 

"Kapan-kapan masih bisa periksa Om dan Tante?" 

"Bisa Om, bilang saja sama El, saya akan kunjungi Om dan Tante. Nanti kalau Om dan Tante membutuhkan konsultan profesional, banyak teman yang bisa bantu Om dan Tante," dan Ayah El mengangguk-angguk berwibawa. Alana jadi teringat dengan almarhum ayahnya. Ternyata sudah cukup lama beliau meninggal, dan Alana masih terus mewujudkan cita-cita beliau.

El mengantarkan Alana pulang ketika hari menjelang gelap. Alana merasa senang mendapatkan keluarga baru, Ayah dan Mama El. Sepertinya mereka keluarga bahagia meskipun hanya sebuah keluarga kecil saja. 

"Keluargamu menyenangkan," kata Alana di depan rumah. 

"Hmm.. mereka memang menyenangkan, sayang aku jarang menjumpai mereka. Mereka jadi sering bepergian sendiri."

"Mamamu sayang sekali denganmu, mungkin karena kau anak satu-satunya."

El tersenyum. "Dia Mama tiriku, ibu kandungku meninggal saat aku berumur 7 tahun, tapi aku bersyukur dia ada. Aku tahu dia sangat sayang padaku dan tanpa pamrih, tapi kurasa Ayahku kurang memperhatikannya," El menunduk. Dia tampak seperti kucing yang kesepian. Alana tiba-tiba merasa kasihan padanya. "Kau lihat sendiri bagaimana Ayahku, begitu bangga dengan dirinya sendiri dan agak kurang perhatian pada orang-orang yang menyayanginya," kata El pelan. Alana tidak menyangka El akan bercerita begitu. Mungkin saja dulu ia merasa kehilangan kedua orang tuanya, meskipun sebenarnya ayahnya masih hidup. Kehadiran Mama El mengisi kekosongan hatinya. Alana bersyukur ia pernah memiliki keluarga lengkap yang begitu dekat dan bahagia meskipun tidak sekaya keluarga El. 

Hari-hari berikutnya sama saja dengan sebelumnya untuk Alana, tapi tidak demikian dengan El. El seperti menemukan teman yang tidak memandangnya karena wajahnya, kekayaannya, atau kepopulerannya. Alana memandangnya sebagai seorang teman, sebagai El saja, bukan El yang ini dan El yang itu. Satu hal yang El sangat menghargai Alana adalah sikap jujurnya. Alana selalu berlaku apa adanya. Suka dia bilang suka, enggan dia katakan enggan. Semuanya seperti apa yang sebenarnya ada. Bahkan ketika Alana ingin menonton pertunjukan jazz, ia memintanya sendiri pada El. El jadi merasa memiliki seorang teman sejati. Namun sayang, hal itu hanya berlangsung beberapa bulan. Sampai Alana mengajaknya makan dan mengajaknya bicara. 

"El, menurutmu nih... kalau Pak Kristof bilang suka padaku, aku harus percaya nggak?"

"Memangnya dia bilang suka padamu?" tanya El balik. 

"Kok jawabnya gitu sih?! Aku tanya malah kamu tanya balik," kata Alana keki. 

"Percaya atau tidak itu terserah kamu, kan kamu yang dengar kata-katanya," ujar El setengah hati. 

"Maksudku, menurutmu Pak Kristof bisa dipercaya nggak?" lalu Alana menyuap makanannya, mengunyah dan menelannya, "menurut kamu sebagai laki-laki."

"Aku berinteraksi dengannya soal pekerjaan, dan dia tidak pernah menipuku. Itu saja informasiku. Kalau soal lain, aku nggak tahu," kata El lugas. Entah kenapa ia tak suka topik pembicaraan ini. Mana dia tahu Kristof bisa dipercaya atau tidak. Sebenarnya dia bisa saja bicara soal kepergiannya ke Amerika yang diatur Kristof, tapi itu bukan langkah seorang laki-laki. 

"Memangnya Pak Kristof bilang suka padamu?" tanya El lagi. 

"Iya," jawab Alana tak kalah lugas. 

"Kapan?" 

"Mungkin beberapa hari yang lalu," jawab Alana seolah pengungkapan Kristof bukan sesuatu yang spesial. "Waktu kami pulang bareng, tiba-tiba dia bilang kalau dia pikir dia menyukaiku."

"Lalu kamu bilang apa?"

"Aku bingung jadi aku senyum aja, trus pamit masuk rumah," jawab Alana polos. El bingung harus merasa lega atau kecewa. 

"Kamu tidak bisa bersikap begitu selamanya," ujar El setelah bergelut dengan pemikirannya sendiri. "Kasihan Pak Kristof digantung begitu, menunggu jawabanmu."

"Tapi aku bingung menjawabnya," kata Alana setengah merengek.

"Dia juga bingung dengan apa sebenarnya yang akan kau katakan padanya."

"Sebaiknya aku jawab apa?" tanya Alana polos. El kaget dengan pertanyaan itu. Baru kali ini ia melihat sisi polos Alana yang begitu bertolak belakang dengan keseharian profesionalnya. 

"Dengarkan hatimu bilang apa, lalu kau pikirkan baik-baik." Dan El beranjak meninggalkan Alana dengan pikirannya sendiri. 

El membawa kopinya ke atap. Biasanya ia paling benci ke atap karena beberapa orang merokok di atap, tapi kali ini hanya tempat ini yang mampu menyembunyikan dirinya. Lalu ia berpikir tentang dirinya sendiri, bertanya "Sejak kapan aku jadi begini?". Sebenarnya El sudah tahu kalau cepat atau lambat Kristof akan mengatakan hal itu pada Alana, gelagat itu sudah tampak sejak kepergiannya ke Amerika yang diatur Kristof. 

Waktu itu El sedang mulai dekat dengan Alana, apalagi dengan berbagai proses pengajuan paten dan hak cipta beberapa temuan sub-divisi Kristof dan Alana, mereka hampir setiap hari bertemu dan bekerja bersama. Kebetulan saat itu Kristof sedang ada urusan di kantor pusat dan jarang datang ke kantor lembaga. Jadilah El yang sering menemani Alana makan dan berbincang. Kemudian Kristof pulang dan 'mengirimnya' ke Amerika selama 3 minggu. Itu langkah Kristof menyamakan start. Dan El tiba-tiba tersenyum sendiri. Lucu melihat duda itu takut ketinggalan start. Kini El yang jadi bertanya-tanya, kira-kira apa jawaban Alana untuk pertanyaan Kristof. 

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang