Yang Lama dan Yang Baru

2.5K 168 18
                                    

Rasa nyeri itu masih saja terasa meskipun sudah beberapa hari. Meskipun Alana yakin ia sudah tak punya perasaan pada Dean namun persahabatan mereka sudah berlangsung lebih lama. Waktu sepertinya sudah mengubah mereka berdua. Dean dan Alana sama-sama berproses. Semuanya normal, namun sepertinya mereka berproses menjadi orang yang sama sekali berbeda untuk satu sama lain. Menjadikan mereka begitu berbeda dan akhirnya harus memilih jalan masing-masing. Alana percaya takdir, tapi ini semua lebih kepada pilihan mereka berdua. Mereka berdua memilih untuk berkembang dan berproses hingga melupakan tumbuhan hati yang mereka rawat bersama. Dan kini Alana memberanikan diri membiarkan tumbuhan itu mati, setelah jatuh dan bangun membuatnya tetap hidup. Meskipun ini pilihannya, ternyata rasa sakit itu tetap ada.

Mungkin hanya Kristof yang melihat kalau Alana akhir-akhir ini begitu kuyu. Kinerjanya tidak seaktif biasanya meskipun semua tugas tetap diselesaikan dengan baik. Kristof tak suka suasana kantornya menjadi begitu kelam. 

"Al, makan yuk," ajak Kristof tiba-tiba suatu siang. 

"Saya makan di kantin aja, Pak, biar cepet balik ke sini," jawab Alana enggan.

"Sudah lama kan kita nggak makan siang bareng, kamu malah lebih sering makan sama Airlangga," ujar Kristof pura-pura kekanak-kanakan. Mau tidak mau Alana tersenyum. Mereka lalu pergi makan. 

"Kamu kenapa?" tanya Kristof langsung saat mereka mulai makan. Alana hanya tersenyum. "Kangen sama orang Hukum itu?" tanya Kristof agak sinis. Untung saja Alana tidak menyadarinya. 

"Pak Kristof bisa aja, El cuma ke Amerika tiga minggu, sepi sih.. tapi nggak segitunya kaliii..." kata Alana santai. "Lagian setiap dia punya foto baru, main ke tempat baru, dia selalu kirim fotonya sampai bosan, ya gimana mau kangen..." canda Alana. 

"Jadi kalau dia nggak pernah kirim foto, kamu bakal kangen?" tanya Kristof hati-hati, menyembunyikan rasa khawatir di dalam hatinya kalau Alana akan tahu apa maksud di balik pertanyaannya. 

"Entahlah, yang jelas beda aja makan siang tanpa El," jawab Alana sambil sedikit menerawang. Ia seperti membayangkan jam-jam makan siang bersama El yang meskipun tanpa banyak kata, terasa menyenangkan.

"Kamu sepertinya makin dekat sama orang Hukum itu," kata Kristof semakin cemburu. 

"Pak Kristof ini aneh deh, kan Pak Kristof yang kenalkan aku sama El. Kalau kami dekat, ya itu andil Bapak juga." jawab Alana cuek. Kristof tersenyum kecut. Ia jadi menyesal sering bertemu El di ruangan mereka, bukan dia yang mendatangi bagian Hukum atau mengajak El bertemu di luar kantor. 

"Oh ya, kabar Grady gimana pak?" kata Alana tiba-tiba. 

"Baik, dia naik kelas dan ingin menunjukkan rapornya padamu. Berkali-kali berharap bisa liburan bersamaku agar bisa bertemu denganmu."

"Nah, kapan dia akan datang? Saya bisa mengajaknya jalan dan membeli hadiah kenaikan kelas," kata Alana antusias. Kristof mulai terbang hatinya. Tapi begitu teringat dengan Granada, Kristof seolah surut semangatnya. 

"Akan kukabari kalau Grady sudah pulang dari Yunani, ibunya mengajaknya liburan."

"Wow Yunani!" mata Alana membesar. "Sepertinya menyenangkan. Ibunya Grady pasti memanjakannya dengan liburan mewah," ujar Alana polos. Ia hanya pernah mengenyam perjalanan ke luar negeri ketika studi doktoral, itu pun harus super-irit kalau ingin menabung demi sebuah perjalanan piknik. 

"Ah itu cuma bayanganmu saja, Grady paling-paling juga jalan-jalan sama Neneknya. Ibunya sibuk pacaran," celetuk Kristof pelan. Alana jadi merasa tidak enak. Ia tak seharusnya mendengar hal seperti ini dari mulut Kristof. Mereka jadi terdiam sejenak.

"Saya dan Dean benar-benar berakhir sekarang," ucap Alana tiba-tiba. Lirih tapi cukup jelas. Kristof merasa kalau diam adalah yang terbaik. "Sebenarnya dia datang untuk mengajak saya menikah, tapi saya sudah terlanjur jengah."

"Hal itu memang harus dipikirkan, jangan sampai kau anggap tak ada masalah namun justru seperti menghidupkan bom waktu." Kristof terdengar bijak ketika melontarkan kalimat itu. Dan mungkin karena kondisinya yang rapuh, seketika itu Alana merasa Kristof memang ada di sana untuknya. 

Hari-hari selanjutnya terasa lebih menyenangkan untuk Alana. Ia bisa lebih fokus dengan pekerjaannya, menikmati tugas-tugas menulisnya, bahkan mendapatkan kesempatan untuk mengajar di sebuah universitas swasta tidak jauh dari lembaga. Dengan prosedur administrasi yang tidak berbelit-belit, ia mendapatkan lisensi dan kartu pegawai sebagai dosen. Impiannya untuk berbagi ilmu menjadi kenyataan. 

Hari ini adalah kali pertamanya mengisi kuliah di universitas. Sangat menyenangkan sampai saat ini, meskipun tidak sedikit mahasiswa yang sibuk bergosip di dalam kelas, memejamkan mata, atau mengerjakan tugas mata kuliah lain, tapi Alana sangat menikmatinya. Kesibukan baru ini juga membuatnya lupa kalau sudah hampir seminggu El tidak mengirimkan foto atau sekedar pesan singkat ke ponselnya. Alana sangat fokus pada tugas-tugas barunya, membuatnya sejenak lena dan melupakan sahabatnya. 

Tepat ketika jam mengajar berakhir, hampir semua mahasiswa bergegas keluar dari ruang kelas. Membuat suasana jadi riuh rendah dan udara terasa sesak. Tiba-tiba ada suara jeritan tertahan seorang mahasiswi yang diikuti jeritan lain, dan suara-suara bising yang sulit didefinisikan. Dan suara-suara itu semakin lama semakin jelas, seolah bergerak menuju ruang kelas tempat Alana mengajar. Lalu, Alana dikejutkan dengan langkah seorang pria yang menuju ke arahnya. Berkaca mata hitam, menyeret koper sedang, berpakaian jas dan rambut agak berantakan, serta berlesung pipit samar. Alana terdiam. Seolah teringat ada anak kucing yang belum ia beri makan. Tapi kemudian terbit senyum di wajah Alana. Sahabatnya pulang. 

Dengan percaya diri El menyeberangi ruang kelas menuju Alana, serta merta memeluknya ketika ia tiba di depan sahabatnya. Alana pun tak keberatan. Melingkarkan kedua lengannya di leher Airlangga, memeluknya erat seiring membuncah rindunya. Dan pemandangan ini diikuti jerit histeris mahasiswi-mahasiswi yang ternyata mengikuti El masuk ke ruang kelas. 

"Aku sekarang percaya kalau kau ternyata masih punya penggemar," bisik Alana di telinga El. 

"Aku sekarang percaya kalau kau memang sibuk mengajar dan tidak lagi merindukanku," balas El yang ditimpali Alana dengan tawa ringan. Ya, Alana memang sangat fokus dalam seminggu terakhir ini mempersiapkan bahan kuliah, sampai ia tak ingat kalau El sama sekali tidak menghubunginya atau sekedar mengirimkan foto. "Padahal semula kupikir minggu ini kamu menerima lamaran," tambah El. Alana masih tersenyum, tapi ia berjanji untuk menceritakan perihal Dean pada El.  

"So, what's the story?" tanya El segera setelah mereka memesan jus di kios langganan mereka. 

"The End. Sudah. Biasa saja."

"Sekarang mungkin biasa saja, tapi aku yakin beberapa hari kemarin sempat nangis bombay ga karuan," ejek El. "Apalagi aku nggak ada," lanjutnya penuh percaya diri. Alana tersenyum. 

"Tapi aku lega sih, apalagi kemudian aku tahu dari salah satu teman kami kalau Dean sempat dekat juga dengan perempuan lain. Perempuan yang sama yang pernah meneleponku dengan ancaman," ujar Alana pelan. 

"Kamu bisa bilang itu menyakitkan kalau memang sakit," kata El menenangkan. Ia berusaha meyakinkan Alana bahwa tidak apa-apa menjadi rapuh sejenak. Alana hanya tersenyum, memastikan kalau El tahu bahwa dirinya kini baik-baik saja. "Lalu, apa kabar Pak Kristof?" tanya El setelah sebentar terdiam. 

"Kalian itu kompak ya," balas Alana spontan.  El justru tampak bingung. Kenapa?, pikirnya. "Pak Kristof juga menanyakan kabarmu waktu kami makan siang." 

"Kamu keluar makan siang berdua sama Pak Kristof?" rupanya El menangkap fokus yang salah dari kalimat Alana. 

"Kok malah itu yang kamu tanya?!" Alana tertawa geli. "Pak Kristof waktu itu tanya, apa aku kangen makan sama kamu, makanya dia temani aku makan. Mungkin dia nggak tega lihat aku makan di kantin sendirian. Padahal kan biasanya sudah begitu," lanjut Alana lengkap. 

El terdiam. Ia menemukan sesuatu yang bisa ia konfirmasi. Kristof memang memperhatikan Alana. Bahkan repot-repot menanyakan hal tidak penting pada Alana. "Lalu apa jawabmu?"

"Aku ketawa," timpal Alana. "Gimana mau kangen, tiap hari kamu kirim foto dan pesan singkat kaya minum obat, persis hampir tiap 8 jam." 

"Berarti sekarang kamu kangen aku dong, kan seminggu ini kita nggak kontak," balas El tiba-tiba. Dan entah mengapa tiba-tiba Alana bingung, hingga hanya senyum tak sengaja yang bisa ia berikan. 

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang